Banten, LIPUTAN 9 NEWS
“Tidak ada kondisi untuk hidup dan suburnya kebebasan berpikir dalam kondisi dan situasi yang demikian, sebab siapa saja yang berani berseberangan dan berbeda pandangan dengan yang mapan tersebut, maka akan dicap sebagai yang heretik dan pelaku bid’ah. Tidak ada ruang bagi lahir dan berkembangnya kebebasan berpikir secara individual dalam masyarakat Islam dan Arab. Adonis mencontohkan At-Thabari yang memandang pengetahuan harus berdasarkan teks Quran dan Hadits (Sunnah), bukan nalar. Sebuah pandangan yang sudah tentu ditentang dan ditolak kaum mu’tazilah.” (Sulaiman Djaya)
Kajian sejarah, sosiologi dan disiplin lainnya untuk memahami dan meneliti peristiwa sosial, politik, dan budaya dan ‘sejarah’ itu sendiri merupakan upaya untuk memahami ‘eksistensi’ manusia, untuk memahami diri dalam keberadaannya bersama hidup. Kita berusaha untuk mengetahui apa yang menyebabkan sebuah bangsa atau peradaban menjadi digdaya lalu kemudian runtuh, dan begitu juga sebaliknya. Kenapa sebuah imperium yang begitu perkasa, kemudian tumbang. Tentu ada banyak teori dan pendekatan yang digunakan, dari sejak ribuan tahun sebelum masehi hingga saat ini. Artinya, manusia sesungguhnya selalu tertarik untuk mengetahui dan memahami dirinya sekaligus berusaha menebak dan memahami serta mengetahui nasibnya dalam kehidupan dan sejarah. Begitu pun manusia acapkali tergoda pula oleh nostalgia dan romansa, sebagaimana tercermin dalam puisinya Abu Tammam dari Suriah di era Abbasiyah:
كَم مَنزِلٍ في الأَرضِ يَألَفُهُ الفَتى
وَحَنينُهُ أَبَداً لِأَوَّلِ مَنزِلِ
Berapa banyak rumah di bumi
yang disinggahi anak muda
Tetap saja rindunya
kepada rumah pertama.
نَقِّل فُؤادَكَ حَيثُ شِئتَ مِنَ الهَوى
ما الحُبُّ إِلّا لِلحَبيبِ الأَوَّلِ
Pergilah ke mana pun
yang kau suka
Tetapi ingatlah kau pasti kembali
kepada kekasih pertama.
(Abu Tammam dalam Diwan Al-Hamasah)
Dalam kajian ilmu sejarah dan disiplin sosiologi, salah-satu teori yang digunakan untuk membaca dan memahami peristiwa adalah ‘teori kausalitas’, peristiwa dan sejarah terjadi karena ada pemicu dan penyebabnya. Berkenaan dengan masa kelahiran, masa keemasan dan kejatuhan sebuah imperium atau peradaban, sebagai contoh, penyebab itu bisa bersifat eksternal atau pun internal peradaban. Dalam hal ini, cukup menarik membaca dan mengkaji apa sesungguhnya faktor-faktor, atau katakanlah sebab-sebab peradaban Islam yang lahir dari Jazirah Arabia sana dan kemudian menjadi ‘imperium’ yang sempat melahirkan para ilmuwan-ilmuwan dunia dan para penemu sains modern itu jatuh dan terpuruk? Adakah sebab politik seperti dihantam oleh kekuatan lain ataukah sebab internal dalam peradaban Islam itu sendiri?
Ali Ahmad Said atau yang populer dengan nama Adonis, sebagai penyair besar dan budayawan Arab yang hidup di Paris, Perancis, memandang kemunduran dan kejumudan Arab dan Islam diantaranya adalah karena ‘status quo’ penafsiran keagamaan tertentu yang menolak ‘kebaruan’ dan memenjarakan kebebasan berpikir. Adonis menyebut figur-figur seperti Ibn Taimiyyah dan As-Syafii hingga Ibn Hazm dan At-Thabari sebagai beberapa contoh yang ‘mematenkan’ pemikiran dan pandangan Islam dan kebudayaan Arab pada stagnasi-kemapanan, sehingga yang berada di luar pemahaman dan pandangan mapan tersebut akan ‘dinilai’ sebagai bid’ah dan heretik. Penafsiran dan ‘pandangan’ keagamaan yang mapan dan ‘status quo’ tersebut pada akhirnya turut pula membentuk ‘kemandegan’ berpikir itu sendiri dalam dunia Islam dan Arab. Ibn Taimiyah adalah yang paling ekstrim dengan menyatakan bahwa bid’ah lahir dari kekafiran.
Berbeda dengan Ali Shariati yang menganjurkan kaum muslim untuk kembali ke identitas Islam untuk meraih kekuatan dan kemajuan, Adonis justru menganjurkan untuk ‘menerima’ spirit modernitas Barat. Adonis bahkan menganggap identitas Islam hanyalah ilusi, sebab ‘identitas Islam’ dalam kenyataannya tidak lebih representasi status quo kekuasaan ‘tirani’ yang mengatasnamakan agama demi mendapatkan legimitasi tiraninya. Bila Ali Shariati memandang kemajuan dan kekuatan Islam diraih dengan cara mengenal Islam dan figur-figur Islam yang benar dan tepat, seperti mengenal figur Ali dan Abu Dzar, dan bukannya Al-Hallaj yang asyik dalam ekstasi individual tapi ‘mengabaikan’ peran konstitutif bagi masyarakat Islam, Adonis memahami kemajuan Arab dan Islam akan terjadi dalam jalan kebebasan manusia versi Hegel dan Nietzsche di mana ‘agama’ sekalipun harus ditolak bila representasi dan praktik keagamaan justru ‘memenjara’ kebebasan berpikir para penganutnya:
“Akar problematika epistemologi Arab adalah kecenderungan yang memegang kemapanan teks pada aras keagamaan. Kecenderungan ini menganalogkan sastra, puisi, dan pemikiran secara umum pada agama. Oleh karena aliran ini, lantaran alasan-alasan historis, merupakan representasi dari pendapat kekuasaan maka kebudayaan Arab yang hegemonik adalah kebudayaan kekuasaan.” (Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam Volume 1, LKiS 2007, h. xxxviii). Dalam sejumlah halaman bukunya yang legendaris, yang mulanya merupakan disertasi doktoral Sastra Timur itu, Adonis memuji Mu’tazilah sebagai kaum rasionalis yang mengenalkan agama dan politik (kekuasaan) secara rasional dan menempatkan posisi akal (nalar) di atas naql. Namun demikian, Mu’tazilah memang pada kenyataannya hanya kaum dan gerakan marjinal (pinggiran) yang hanya sempat ‘dominan’ sebentar, sebelum akhirnya tergusur dan ‘ditumpas’ oleh kekuatan mapan ortodoks-konservatif, sehingga turut pula memadamkan ‘rasionalitas’ dan ‘pencerahan nalar’ sejarah dan kebudayaan Arab dan Islam.
Kejumudan dan kemandegan Islam dan Arab menurut Adonis karena masyarakat muslim dan Arab terpaku pada teks (wahyu) dan masa silam sebagai landasan segalanya. Yang bertentangan dan tidak sesuai dengan teks dan atsar Nabi saw dan para sahabat dianggap sebagai heretisme dan penyimpangan. Kaum ortodoks pendukung yang mapan dan status quo inilah yang kerapkali ‘memburu’ orang-orang yang ‘dinilai’ oleh mereka sebagai kaum yang keluar dari agama dan dianggap sebagai ‘kaum pembuat bid’ah’ dan pencipta heretisme, semisal persekusi yang dialami kaum mu’tazilah yang rasionalis dan sebagian dari kaum mu’tazilah itu memang meremehkan posisi ‘wahyu’ sebagai pedoman hidup. Status quo keagamaan itu juga kerapkali berkolaborasi dengan ‘kekuasaan’ untuk ‘memapankan’ pandangan keagamaan mereka atas dan dalam masyarakat muslim dan Arab. Bahkan adakalanya mereka sendiri yang memegang pos-pos penting kekuasaan.
Tidak ada kondisi untuk hidup dan suburnya kebebasan berpikir dalam kondisi dan situasi yang demikian, sebab siapa saja yang berani berseberangan dan berbeda pandangan dengan yang mapan tersebut, maka akan dicap sebagai yang heretik dan pelaku bid’ah. Tidak ada ruang bagi lahir dan berkembangnya kebebasan berpikir secara individual dalam masyarakat Islam dan Arab. Adonis mencontohkan At-Thabari yang memandang pengetahuan harus berdasarkan teks Quran dan Hadits (Sunnah), bukan nalar. Sebuah pandangan yang sudah tentu ditentang dan ditolak kaum mu’tazilah.
Struktur pengetahuan dalam Islam bagi At-Thabari, demikian menurut telaah Adonis, adalah struktur naqliyah (kenabian/pewahyuan), bukan struktur pengkajian dan kritik yang logis. Dan karenanya, pengetahuan di luar naql bagi kaum ortodoks seperti At-Thabari, Ibn Hazm dan Ibn Taimiyyah adalah bid’ah dan sesat. Secara simplisistis, Adonis menyatakan diantara faktor penyebab kemunduran Arab adalah pandangan dan kepercayaan keagamaan yang ‘membunuh’ nalar dan mematikan kebebasan berpikir. Pandangan Adonis tersebut lebih menyoroti aspek kebudayaan dan kreativitas.
Perspektif dan paradigma berpikir Adonis memang ‘western’ ketika secara implisit ia menganjurkan bahwa jika Arab ingin maju, maka masyarakat Arab harus menjauh dari otoritas para ulama yang senantiasa terpaku pada yang naqliyah dan masa silam. Para ulama yang terlampau terpaku pada otoritas naqliyah masa silam dan membid’ahkan banyak hal yang kontemporer merupakan diantara penghambat kemajuan masyarakat Arab, selain praktik dan perilaku keagamaan yang ‘melecehkan’ dan ‘meremehkan’ dunia hanya semata-mata demi akhirat, yang pada akhirnya masyarakat menjadi tidak peduli pada pemikiran dan upaya untuk meraih kemajuan material dunia dan kehidupan mereka. Pandangan Adonis yang acapkali keras terhadap warisan para ulama dan teks-teks keagamaan yang menurutnya menyumbang pada kemandegan dan kejumudan berpikir masyarakat Arab dan ummat Islam itu membuatnya mendapatkan sejumlah julukan buruk dari para pengkritik kerasnya, seperti ‘Setan Arab’ dan ‘berhala sekuler’. Wawasan filosofis Adonis sepenuhnya terpengaruh khazanah pemikiran Barat, seperti pandangan-pandangannya Nietzsche, Sartre, Hegel, Marx dan lainnya dan dibimbing oleh eksponen Barat pula ketika menyelesaikan disertasi doktoral-nya, yang ketika dibukukan menjadi publikasi yang kontroversial sekaligus melambungkan namanya.
Bagi Adonis, bila Arab dan Islam ingin maju, maka harus mengafirmasi ‘kekontemporeran’ yang berkelanjutan. Kepercayaan Adonis tersebut sejalan dengan visi dan pandangan modernitasnya, yang sudah tentu diadopsi dari para pemikir Barat (Eropa) yang digandrunginya. Modernitas menurut Adonis mengandung tiga aspek. Pertama, aspek saintifik: upaya untuk terus mereview pengetahuan secara berkelanjutan. Kedua, aspek revolusi: terus berusaha memunculkan gerakan dan pemikiran yang baru demi menghilangkan taklid yang melahirkan kejumudan, dan ketiga aspek kebudayaan, terus melakukan penyelidikan, pengkajian, bertanya dan berpikir radikal berkelanjutan.
Catatan atas Adonis
Semangat individualisme dan liberalisme Barat sangat terasa dalam pandangan Adonis terkait agama dan pemahamannya atas sejarah. Anjurannya untuk menolak otoritas ulama yang menurutnya menciptakan kejumudan dan kekangan bagi kebebasan berpikir mendatangkan tuduhan terhadap dirinya sebagai penganjur sekulerisme hingga mendatangkan julukan sebagai ateis Arab. Begitupun pandangannya tentang manusia sangat terpengaruh antroposentrisme Barat: manusia sebagai pusat segalanya, yang justru belakangan ini mendapatkan kritikan bahkan kecaman sebagai sumber paradigma berpikir yang melahirkan tirani, kekerasan hingga kerusakan ekologis. Pun kebebasan ala liberalisme dan sekulerisme justru malah membuat manusia terjerembab pada tirani komoditas dan pemberhalaan lainnya. Pandangan dan anjuran Adonis justru mencerminkan dilemma odisian: manusia ingin bebas mutlak dari satu hal tapi malah terbelenggu hal lainnya. Manusia berusaha membunuh Tuhan tapi malah menghamba hal lainnya. Berusaha terbebas dari tirani tapi malah menciptakan tirani baru: tirani waham dan keterasingan.
Adonis Memandang Revolusi Islam Iran
Sebagai pengkritik ‘masyarakat Arab’ yang terbilang cukup keras, pandangan Adonis tentang Revolusi Islam Iran cukup unik dan menarik. Revolusi Islam Iran menurutnya adalah bukti paling nyata kembalinya kesadaran subjek kepada Islam. Ketika dimintai pendapatnya terkait Revolusi Islam Iran, Adonis menjawab: “……Ruang menjadi luas, besar dan kompleks. Saya pribadi tidak memiliki jawaban atau solusi apa pun yang final. Saya sendiri sampai sekarang masih bertanya-tanya dan mencari.” (Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam Volume 3, h. 139). Sebuah jawaban yang sesungguhnya terdengar polos, dan sangat mungkin merupakan kejujuran yang gamblang. Menurutnya Revolusi Islam Iran tak semata fenomena Islam dalam tataran politik an sich:
“Ia merupakan fenomena Islam pada tataran eksistensi, sebagaimana dipraktikkan dan dipandang. Oleh karena itu, akan menjadi salah apabila Revolusi Iran dipandang pada tataran politik semata. Demikian juga adalah salah apabila dikatakan bahwa keislaman Revolusi Iran hanya sekedar Islam politik…..Revolusi Iran bersifat eksistensial, komprehensif dengan segala pengertiannya. (Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam Volume 3 h. 139-140). Meskipun pandangannya terkait Revolusi Iran terhindar dari tendensi sepihak, tak berarti Adonis merupakan pengadopsi spirit dan nilai-nilai Revolusi Islam Iran. Dengan jujur dan terus-terang Adonis menyatakan: “Saya memiliki catatan-catatan dan banyak kritik terhadap beberapa praktik yang terjadi atas nama revolusi itu….Akan tetapi dalam situasi seperti Revolusi Iran, di mana yang dihadapi adalah masalah nasib, hal-hal yang detil menjadi masalah yang sekunder. Sebab tidak mungkin mencari air, sementara kita berada di dasar lautan.” (Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam Volume 3, h. 140).
Sebelumnya Adonis cukup panjang-lebar menyinggung persoalan khilafah dan imamah sebagai pusat konsentrasi sejarah dan kebudayaan Arab yang juga turut membentuk paradigma berpikir dan praktik politik masyarakat Arab dan Islam. Ia misalnya mengutip pernyataan Ibn Khaldun bahwa masyarakat Arab hanya bisa meraih kekuasaan melalui klaim dan warisan kenabian, seperti yang dilakukan para khalifah. Kekhalifahan dalam sejarah Arab dan Islam menurut Adonis dipahami oleh masyarakat (bangsa) Arab dan Islam sebagai manifestasi estapet kenabian, dan karenanya menjadi khalifah sama dengan menjadi pewaris dan pengganti nabi secara keagamaan dan secara politik dan kekuasaan pada saat bersamaan. Karena itulah, demikian menurut Adonis, selama berabad-abad, politik dan kekuasaan tiranik masyarakat (bangsa) Arab selalu saja mengatasnamakan (membajak) agama, semisal para penguasa setelah wafatnya Rasulullah. Sementara itu, dalam hal kepenulisan dan kebudayaan, Adonis memuji Abu Tammam dan Abu Nuwas sebagai pembaharu sastra Arab.
Sulaiman Djaya, LSB Muhammadiyah Banten