Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Suatu ketika saya duduk merenung di lantai atas sebuah gedung perkantoran di kawasan Kebon Sirih, Jakarta, seusai bekerja (lebih tepatnya menjalankan tugas sebagai satu-satunya peserta magang) kepada seorang jurnalis senior yang saat itu redaktur Majalah TRUST dan AND Magazine, dan lalu saya menulis puisi:
Di Sebuah Sore
Lewat sebuah kaca,
senja kulihat duduk menatapmu.
Orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka,
sebagian telah beranjak pulang
dengan keresahan yang tak mereka ungkapkan.
Sayangku, katakan apa yang ingin kaukatakan
sebelum malam datang
dan kau jadi lupa
pada semua yang kelak tinggal.
Kota masih menyisakan sudut-sudut yang sama,
dan tepikir sejenak
kulangkahkan kakiku ke tempat
di mana kau pernah teramat jatuh cinta
pada selembar garis cahaya
antara langit sore hari
dan atap gedung-gedung bertingkat.
Seakan aku membayangkan
ingatan menuju menuju rumahmu dipenuhi burung-burung senja
dengan keheningan yang menggoda
seperti sebelum-sebelumnya.
Terduduk sendiri di ruang ini
di antara kertas-kertas
dan sebaris detak jam dinding,
aku memikirkan sebuah kalimat puisi
seperti sepasukan gerimisku tadi malam.
(Jakarta 2011)
Sumber: Tuah Tara No Ate: Bunga Rampai Cerpen dan Puisi Temu Sastrawan Indonesia Ke-4 di Ternate 25-29 Ontober 2011, Ummu Press h. 458.
Tak berapa lama setelah puisi itu kutulis, ada undangan untuk mengikuti sebuah hajatan Temu Sastrawan Indonesia di Ternate Maluku Utara di tahun itu juga. Tanpa ragu, bersama beberapa puisi lainnya, saya kirimkan puisi itu sebagai persyaratan untuk bisa mengikuti hajatan kebudayaan tersebut.
Sebuah puisi, yang memang sesungguhnya, sangat bernada otobiografis, bertutur tentang pengalaman bathin dan pengalaman jasadi (tubuh) penyairnya. Sesuatu yang manusiawi.
Sebuah ekspresi sekaligus cerminan betapa setiap orang memang memiliki pengalaman eksistensial hidup masing-masing, yang hanya dirasakan dan dimengerti secara akrab oleh yang bersangkutan masing-masing, meski tidak semua orang mau mengekspresikannya menjadi karya seni.
Jika misalnya saya ditanya: Apakah saya bahagia? Tentu akan saya jawab: Ya, tentu saja! Karena bagi saya kebahagiaan tak semata ketika seseorang selalu hidup dalam kemelimpahan material. Sebaliknya, keberhasilan seseorang untuk bangkit dari kesulitan dan kesempitan dan berjuang dalam kesukaran hidup itulah yang membuatnya bahagia.
Apa yang saya sebut karena ia telah berhasil dan sanggup melakukan tindakan bermakna yang membuatnya merasa menjadi manusia yang bebas dan merdeka.
Sempat terpikir juga oleh saya mungkin saja orang-orang yang selama ini menjalani kehidupan bersahaja sebagai para petani lebih merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka ketimbang orang-orang kota yang dalam keseharian mereka diatur oleh jadwal, sehingga mereka seperti mesin yang tak bebas: menjadi manusia birokratis yang gerak tubuh, hati dan pikirannya dikendalikan oleh aturan dan jadwal. Hidup dalam mekanisme masyarakat budak kapitalisme yang telah menjadi bagian-bagian dari mesin itu sendiri.
Orang-orang bersahaja seperti para petani itu menurut saya lebih terlihat tulus ketika mereka bekerja di sawah-sawah. Sikap dan tindakan orang-orang desa juga lebih menunjukkan solidaritas ketimbang orang-orang kota yang sangat individualis, justru karena rasionalisme instrumental atau rasionalitas pragmatis mereka yang mereka dapatkan dari pendidikan dan kehidupan modern mereka.
Barangkali, kebahagiaan yang saya pahami itu mendapatkan pembelaannya ketika membaca satu di antara puisi-puisinya Rabindranath Tagore:
“Kau kira aku anak kecil, Ibu, tapi kau keliru, sebab aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiga puluh tahun.
Tiap pagi kunaiki kereta dan pergi ke kota dan kususun batu demi batu dengan semen dan kapur dan kugambar dinding layaknya gambar menangkapku.
Kau kira aku bermain rumah-rumahan dengan kerikil dan batu-batu, tetapi kukatakan padamu aku membangun rumah sungguh-sungguh.
Ini bukanlah rumah-rumah kecil sebab kudirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuat.
Tetapi bila kau tanyakan padaku kenapa aku berhenti di sana dan kenapa aku tak meneruskan membangun tingkat demi tingkat hingga atapnya mencapai bintang-bintang, kuyakin aku tak dapat mengatakannya padamu dan kuherani diriku sendiri kenapa aku berhenti di mana saja pada segala.
Kunaiki perancah saatku suka dan ini adalah kegembiraan yang lebih besar ketimbang sekedar bermain-main. Kudengar pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan meratakan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik jalan dari pedagang-pedagang dan para penjual barang logam dan buah-buahan; pada petang hari bocah-bocah lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang berkoak-koak ke sarang mereka.
Kau tahu, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di tepi telaga.
Tetapi bila kau tanyakan padaku mengapa kutinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami meski kubisa mendirikan rumah-rumah besar dari batu dan mengapa rumahku tidak akan yang terbesar dari semuanya, kuyakin aku tiada dapat mengatakan padamu…”
Puisi Tagore itu berbicara tentang panggilan hati seorang seniman (penyair) yang menulis dan bekerja dengan keikhlasan karena didasari oleh cinta, yang karenanya memberikan kebahagiaan dan ‘ketercukupan’ bathin bagi si penyair. Ia tak dapat diukur dengan kemewahan yang didapatkan dari korupsi dan politik kezaliman, misalnya. Jalan kepenyairan adalah jalan memperjuangkan kejujuran dalam hidup yang dipenuhi kemunafikan dan banalitas. Para psikolog menyebutnya sebagai melakukan tindakan bermakna. Menjadi manusia yang manusiawi.
Sulaiman Djaya, Esais dan penyair