Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Dalam tulisan terbarunya, Lora Ismail tidak menyinggung lagi hal-hal elementer tentang metode penetapan nasab. Setelah membaca tulisan saya, mungkin sekarang ia sudah memahami bahwa nasab Ubed yang katanya anak Ahmad, tidak bisa diitsbat dengan iqrar; tidak bisa diitsbat dengan syahadah dua orang saksi; tidak bisa diitsbat dengan Al-Syuhrah wa Al Istifadlah, dan tidak bisa diitsbat dengan kitab Al-Burqat al Musyiqat.
Tidak bisa diitsbat dengan iqrar, karena iqrar adalah metode penetapan nasab untuk seorang anak yang ayahnya masih hidup; tidak bisa diitsbat dengan syahadat dua orang saksi, karena ia digunakan untuk orang yang sekarang masih hidup pula; tidak bisa diitsbat dengan Al-Syuhrah wa al Istifadlah, karena Ubed tidak pernah syuhrah di masa lalu sebagai anak Ahmad. Tidak ada kitab-kitab nasab yang menyatakan ia sebagai anak Ahmad sebelum abad sembilan, dan tidak ada kitab-kitab sejarah yang mencatat namanya sebagai apapun. Ia fiktif. Para ahli fikih dan ahli nasab menyatakan: metode Al Syuhrah bisa dilakukan selama tidak ada dalil yang membatalkan. Sedangkan Ubed sebagai anak Ahmad telah dibatalkan kitab Al-Syajarah al Mubarakah di abad ke-6 H. yaitu ketika kitab itu menyatakan bahwa anak Ahmad hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak Ahmad bernama Ubed.
Nasab ubed juga batal ketika diitsbat dengan kitab-kitab yang jumlahnya ratusan hari ini. karena referensi kitab-kitab yang menyebut Ubed sebagai anak Ahmad itu mentok pada abad ke 9 H. kitab yang pertama menyebut Ubed sebagai anak Ahmad adalah kitab tasawuf yang bernama Al Burqah al Musyiqah (895 H.); sedangkan kitab nasab yang paling dekat mengitsbat Ubed sebagai anak Ahmad adalah kitab Tuhfat al Thalib pada tahun 996 H. Dua kitab ini bertentangan dengan kitab yang lebih tua yaitu kitab Al-Syajarah al-Mubarakah yang ditulis tahun 597 H. yang tidak menyebut Ubed sebagai anak Ahmad. Sedangkan dalam kaidah ilmu nasab, sebuah kitab nasab bisa dijadikan rujukan jika mempunyai syarat tertentu. Salah satu syaratnya adalah: An la takuna mukhalifatan lil ushul (tidak boleh bertentangan dengan kitab-kitab asal).
Rupanya sekarang Ra Ismail sudah faham semua itu. teori dan metode penetapan nasab tidak bisa mengitsbat nasab Ba’alwi. Secara ilmu nasab, benar-benar Ba’alwi bukan cucu Nabi; secara DNA juga telah keluar hasilnya G, bukan J1. Gurunya kini benar-benar bukan cucu Nabi. Apakah setelah Ra Ismail memahami itu ia taslim? Belum. Innaka La tahdi man ahbabta. Ia kini kembali ke awal: mempermasalahkan kitab Al Syajarah al-Mubarakah lagi. Kata Ra ismail, kitab syajarah al Mubarakah tidak membatasi anak Ahmad hanya tiga, maka masih ada kesempatan Ubed masuk sebagai anak Ahmad. He he he, ternyata masih sekelas Ustad Idrus Ramli dan Dek Wafi.
Ilmu nasab itu punyai kaidah, Ra. Salah satu kaidahnya: jika menggunakan jumlah ismiyah maka itu artinya “hasr” (mem-ba-ta-si). Kaidah itu salah satunya disebutkan oleh Syekh Mahdi Roja’I dalam kitabnya: Al Mu’qibun. Itu bukan ucapan Syekh Mahdi Roja’I, loh. Ia hanya mengutip ulama-ulama nasab sebelumnya. Hanya saja ia tidak mengatakan mengutip dari mana. Jadi jangan ditanya kepada Syekh Mahdi Roja’I lagi: apakah ia setuju atau tidak dengan kaidah itu. ia hanya mengutip. itu kaidah ahli nasab yang masyhur. Umur kaidah itu minimal sudah 600 tahun. Kalau pengen tahu, benarkah ada ulama masa lalu yang mengatakan kaidah seperti itu, saya akan tunjukan, Ra. Silahkan buka kitab Umdat al Talib al Kubra karya Ibnu Inabah (w. 828 H.) halam 340. Ibnu Inabah mengatakan:
ومن ذالك اذا قالوا عقبه من فلان او العقب من فلان فانه يدل على ان عقبه منحصر فيه وقولهم اعقب من فلان فان عقبه ليس بمنحصرفيه لجواز ان يكون له عقب من غيره
“Sebagian dari istilah para ahli nasab adalah ketika mereka mengatakan: عقبه من فلان (aqibuhu min fulan: keturunannya dari si fulan, dengan jumlah ismiyah) atau العقب من فلان (al ‘aqbu min fulan: keturunannya dari si fulan, dengan jumlah ismiyah pula), maka itu menunjukan bahwa keturunannya hanya terbatas pada anak yang disebutkan itu. dan ucapan ahli nasab: اعقب من فلان (a’qoba min fulanin: ia berketurunan dari si fulan, dengan menggunakan jumlah fi’liyah), maka keturunannya tidak terbatas dari anak yang disebutkan, karena boleh jadi ia mempunyai keturunan dari anak lainnya”
Kitab Al Syajarah al Mubarakah kan pakai jumlah ismiyah: “ fa ‘aqibuhu min tsalatsati banin” (keturunannya dari tiga anak laki-laki). Ahmad bin Isa punya keturunan hanya dari tiga anak laki-laki: Muhammad, Ali dan Husain. Kalau hari ini ada yang mengaku keturunan Ahmad bin Isa selain dari tiga anak itu maka tertolak, Lora. Okay. Mudah-mudahan Lora sekarang sudah faham. Tidak usah pula Lora mengirim pesan melalui WA kepada Ibnu Inabah dan menanyakan apakah yang dimaksud dalam kitabnya sama seperti pemahaman saya, tidak usah, kenapa? Karena di alam barzakh sepertinya sekarang sedang tidak ada sinyal.
Kebiasaan Lora ismail itu, sering menanyakan langsung sebuah teks ilmiyah yang telah dilepas oleh seorang penulis di hadapan public secara merdeka, yang telah dikaji dalam keheningan secara universal dan objektif berdasarkan dalil dan keilmuan, lalu ditarik ke dalam kasus parsial yang subjektif berdasarkan permainan perasaan, persahabatan dan kekerabatan yang kadang feodalistik. Itu namanya “nodong.” Kelemahan orang baik itu “gak enakan” kepada orang dalam suasana persahabatan. Coba tanyakan padanya dalam forum ilmiyah atau dalam suasana permusuhan, maka “jalu”-nya baru keluar semua. Khalil Ibrahim di Tanya tentang “an la takuna mukhalifatan lil ushul” (kitab nasab itu tidak boleh menyalahi kitab asal). Kalimat itu bukan murni kalimat Khalil Ibrahim, ia pun mengutip ulama sebelumnya.
Sebuah teks ilmiyah dari seorang cendikiawan, ketika sudah di lepas ke publik, maka ia telah menjadi milik publik. bebas bagi publik untuk menginterpretasikan setiap premis-premis sesuai keilmuan dan pemahamannya. penulis telah dianggap mati: The author is dead. ia sudah tidak bisa menarik lagi apa yang telah ia tulis, kecuali ia buat tulisan baru yang menganulir proposisinya. itupun, bebas bagi pembaca untuk apakah mengikuti tulisan baru atau tetap berpegang teguh tulisan lamanya. Tentu, ketika sang penulis itu telah menganulir tulisannya yang lama dengan tulisan baru, maka tidak boleh lagi menisbahkan tulisan lama itu dengan tanggung jawab penulisnya. Para pengikut tulisan lamanya harus bisa mempertahankan dengan dalilnya sendiri. Itulah studi teks dan co-teks.
Kalimat “ushul” dimaknai pembela Ba’alwi dengan ushul nasab jelas tidak faham tata Bahasa Arab. Coba perhatikan kalimat: An la takuna, kemana domir dalam lafadz takuna itu? tentu kepada lafadz “riq’ah” (kitab). Lalu ketika objeknya domirnya sudah diketahui adalah riq’ah, maka kita mengatakan: sarat riq’ah itu tidak boleh bertentangan dengan “asalnya”. Apa asalnya riq’ah. Ya tentu riq’ah lagi. Yaitu riq’ah yang menjadi asal (induk/pokok).
Jumlah huraf jar dan majrur dari kalimat Lil ushul itu ta’alluq kepada Mukhalifatan, Mukhalifatan menjadi khobar takuna, ia sangat terkait dengan takuna. khobar hukumnya harus sama dengan amilul khobar dalam hal ini lafadz takuna. Berarti riq’ah pertama adalah “far’un” (cabang) dan lafadz ushul berarti asal riq’ah. Kalau cabangnya riq’ah, masa iya asalnya bukan riq’ah. Jadi kemudian kita katakan kitab cabang tidak boleh bertentangan dengan kitab asal. Kan begitu. Masa kita katakan: kitab cabang tidak boleh berbeda dengan asalnya yaitu susunan nasab. gak nyambung. Yang benar adalah: kitab cabang tidak boleh bertentangan dengan asalnya yaitu kitab asal. Contoh sederhana: cangkokan pohon jambu ini buahnya sama manisnya dengan asalnya. Apa asal dari pohon jambu? Ya pohon jambu lagi, dong, masa pohon duren.
Kita sudah memahami, para pendukung nasab palsu Ba’alwi hanya muter-muter, gocak gocek ke sana ke mari, namun tak tentu arah. Mereka tidak tahu gawang ada di mana. Kadang mengumpan bola ke gawang sendiri, seperti seorang youtuber yang menyalahkan saya karena saya hanya menyebut Muhammad sebagai anak Ahmad bin Isa dalam kitab Muntaqilah, kata Youtuber itu, Kiai Imad salah ketika menyebut bahwa kitab Al Muntaqilah hanya menyebut Muhammad sebagai anak Ahmad bin Isa, padahal dalam kitab itu disebut dua, selain Muhammad di sana disebut satu lagi, dan yang satu lagi itu sesuai dengan Al Syajarah al Mubarakah. itu kan, membantu saya dalam menguatkan bahwa berita kitab Al Syajarah al Mubarakah itu benar terkonfirmasi kitab lainnya.
Ada lagi yang membuat narasi “Pendukung Kiai Imad Salah” ketika mengatakan makam Ahmad bin Isa ada di Najaf, yang di Najaf itu bukan makam Ahmad bin Isa bin Muhammad al naqib, tetapi Ahmad bin Isa bin Zaid. Ya, saya kan gak pernah ngomong makam Ahmad bin Isa ada di Najaf, yang ngomong itu orang lain. walau yang mengatakan adalah sahabat-sahabat saya, Jangan mengatakan itu pendapat saya, lalu menyalahkan saya.
Walau kami sama-sama membatalkan nasab Ba’alwi, tetapi sudut kajian kami berbeda, kami saling mandiri, tidak ada koordinasi pendapat. Tidak ada dirigennya. Tidak ada bossnya. Tidak ada. semua murni mengkaji karena hati nurani dan ditenagai ilham rabbani yang suci. Mereka, para pejuang-pejuang Nusantara itu, dan saya, setiap hari menemukan pengetahuan baru tentang batalnya nasab Ba’alwi. semakin dikaji, nasab Ba’alwi semakin terang benderang kepalsuannya, batalnya dan sama sekali mereka memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Nabi Muhammad SAW.
Haram Hukumnya Mengakui Mereka, Kaum Ba’alwi, Sebagai Keturunan Nabi Muhammad Saw.
KH. Imaduddin Utsman Al Bantani, Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Kampung Cempaka, Desa Kresek, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.