Depok, LIPUTAN 9 NEWS
Wawancara yang dilakukan Mas Akhmad Sahal dengan Mas Ulil Abshar Abdalla dan dengan Mas Ulil dan Bang Jeffrie Geovanie di kanal Cokro TV beberapa hari ini menarik. Berangkat dari pidato presiden terpilih, Prabowo Subianto, di Rapimnas Gerindra dan Kongres PAN 2024, kedua aktivis dan pemikir yang saya hormati itu bicara tentang narasi besar Indonesia di masa dan paska Presiden Joko Widodo. Narasi tentang maslahat akbar.
Berbeda dengan banyak aktivis dan pemikir lain yang kritis melihat kondisi Indonesia sekarang, keduanya justru melihat Indonesia secara lebih optimistik. Kondisi politik Indonesia sekarang, menurut mereka, cukup ideal untuk mencapai cita-cita Indonesia menuju negara besar dan maju. Kondisi ideal itu terjadi karena bersatunya Jokowi dan Prabowo. Bersatunya Jokowi dan Prabowo, menurut JG, adalah modal politik penting untuk mencapai cita-cita keagungan Indonesia. Penyatuan itu adalah maslahat terbesar untuk Indonesia. Kira-kira begitu.
Pandangan Ulil dan JG selintas terlihat valid dari aspek bahwa pembangunan ekonomi memang membutuhkan stabilitas sosial dan politik. Pertanyaan pertama, apakah stabilitas sosial dan politik hanya bisa dicapai dengan mengabaikan kualitas demokrasi? Atau apakah yakin stabilitas akan muncul dari rekayasa politik menghilangkan oposisi? Apakah dengan hilangnya oposisi Indonesia menjadi stabil secara sosial dan politik? Jelas tidak.
Sepanjang pemerintahan Jokowi, terutama di periode kedua, hampir semua partai bersatu dalam pemerintahannya. Namun di periode inilah pembangkangan sipil terjadi berkali-kali. Pembangkangan itu muncul melalui aksi massa besar dalam banyak isu: pelemahan KPK, KUHP tentang kebebasan sipil, UU Omnibus, dan RUU Pilkada. Aksi-aksi massa ini melibatkan begitu banyak orang, kekuatannya setara dengan aksi-aksi massa 1998 untuk menurunkan Soeharto. Kita belum menghitung gejolak warga di media sosial, misalnya tentang isu Mahkamah Konstitusi, pelibatan aparat desa dan polisi, serta penyaluran bantuan sosial dengan tendensi politis menjelang Pemilu 2024.
Rekayasa stabilitas politik melalui pelemahan kekuatan oposisi sama sekali tidak berhasil menciptakan stabilitas sosial dan politik. Yang terjadi hanya stabilitas di tingkat elit. Di level masyarakat, pergolakan terus terjadi dan semakin membesar. Ini wajar karena penyatuan elit membuat kanal aspirasi publik menyepit. Dan kalau itu terus terjadi, bukan tidak mungkin aspirasi ini akan membuncah dalam bentuk revolusi. Suara-suara ke arah sana mulai terdengar, terutama dalam aksi massa akbar terakhir di depan gedung MK, DPR, dan KPU.
Saya percaya Ulil dan JG memiliki komitmen pada demokrasi. Justru mereka menganggap demokrasi sudah terjadi di Indonesia dan tidak mungkin runtuh. Mengutip frase Juan Linz dan Alfred Stepan, Ulil dan diamini Sahal menyatakan demokrasi di Indonesia sudah menjadi the only game in town. Ulil bahkan menyatakan tidak mungkin ada kudeta militer di Indonesia. Pada pokoknya, demokrasi Indonesia ini sudah mantap.
Hal yang mirip dikemukakan oleh Jeffrie. Menurut dia, perubahan dan kondisi politik sekarang justru sedang bagus-bagusnya. Dia bahkan memuji Jokowi sebagai satu-satunya presiden yang menyiapkan dengan baik penggantinya. Pada saat yang sama, dia juga memuji Prabowo yang dianggap memperlihatkan komitmen dan sikap yang sangat rendah hati terhadap mantan lawan politiknya, yakni Joko Widodo.
Keduanya cenderung menganggap demokrasi Indonesia sedang baik-baik saja. Kalau pun mengalami kemunduran, hal itu bukan persoalan besar karena ada capaian lain yang perlu diapresiasi. Inilah yang Ulil sebut sebagai multiple-maslahat.
Keduanya memang tidak menaruh perhatian pada kualitas demokrasi yang mundur dan kemungkinan implikasi yang mengikutinya. Namun mari kita lihat implikasi dari demokrasi yang mundur itu. Dalam catatan V-Dem, lima tahun terakhir, kualitas demokrasi Indonesia mengalami erosi akibat melemahnya kekuatan oposisi. Masuknya Prabowo ke kabinet Jokowi lima tahun lalu membuat kekuatan oposisi di parlemen hanya menyisakan PKS dan Demokrat (sekitar 15 persen kursi parlemen). Belakangan, Demokrat juga ditarik ke kabinet. Tersisa hanya PKS dengan kekuatan kursi hanya sekitar 7 persen. Sekarang, PKS pun sudah bergabung dengan KIM plus. Habis sudah kekuatan penyeimbang itu.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah cita-cita negara maju bisa tercapai tanpa perimbangan kekuasaan, tanpa checks and balances? Seberapa bisa negara diandalkan bekerja maksimal tanpa kontrol dari kekuatan partai penyeimbang?
Dua pemerintahan terakhir bisa dijadikan contoh. Para pengamat dan lembaga pemeringkat demokrasi menyimpulkan kualitas demokrasi di sepuluh tahun pemerintahan SBY lebih baik dibanding masa Jokowi. Ini misalnya bisa kita baca dalam status kebebasan Indonesia menurut Freedom House di mana pada masa SBY (2005-2014) Indonesia lebih banyak berada dalam situasi fully free (bebas penuh), sementara dalam masa Jokowi (2014-2024), Indonesia berada dalam kondisi partly free (bebas sebagian).
Apakah dalam kondisi demokrasi yang lebih baik, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih terhambat di era SBY dibanding Jokowi? Tidak juga. Pertumbuhan ekonomi di periode pertama SBY sebesar 5,64 persen dan periode kedua 5,80 persen. Bandingkan dengan era-Jokowi yang tumbuh 5,03 persen di periode pertama dan 5,18 di periode kedua (CNBCIndonesia, 5 Februari 2024). Dengan mengorbankan kualitas demokrasi, pemerintahan Jokowi tidak lebih baik dalam pembangunan ekonomi dibanding SBY yang relatif menjaga kualitas demokrasi.
Apakah pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di era demokrasi yang juga baik ini adalah anomali? Tentu juga tidak. Hampir semua negara maju sekarang ini justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang dahsyat di era kebebasan. Studi yang dilakukan Daron Acemoglu dan James Robinson (Why Nations Fail, 2012) secara gamblang melihat kebebasan sebagai faktor maju tidaknya sebuah negara. Negara dengan sistem politik dan ekonomi yang lebih inklusif cenderung lebih maju dibanding negara yang tertutup. Bahkan Cina sekali pun yang sering dirujuk oleh penganut dikotomi demokrasi dan pembangunan ekonomi mengalami perkembangan ekonomi terjadi ketika pemimpin Cina, Deng Xiaoping, mulai membuka kebebasan ekonominya.
Kebebasan dan pertumbuhan ekonomi bukan dua hal yang harus saling meniadakan, melainkan justru saling mengandaikan. Kemajuan bukan terjadi karena adanya orang super pintar yang bisa merencanakan masa depan, kata Friedrich Hayek, melainkan karena pengakuan pada ketidak-tahuan. Karena itu, dibutuhkan demokrasi dan kebebasan yang baik agar segala ide bisa dikontestasikan.
Ulil dan JG kurang menaruh perhatian pada aspek ini. Tidak ada yang menolak the greatest nation yang ingin dicapai Jokowi atau Prabowo. Itu adalah cita-cita bersama yang memang harus dicapai. Namun Ulil dan JG terlihat hanya fokus pada cita-cita akhir itu tanpa terlalu peduli pada bagaimana cita-cita itu bisa dicapai.
Dalam pidato penutupan Kongres PAN, Prabowo mengambil analogi pembangunan jembatan desa di mana semua warga diharapkan terlibat. Analogi itu, menurut saya, kurang tepat. Penyelenggaraan negara tidak sesederhana pembangunan jembatan atau rumah di mana semua warga diharapkan terlibat secara fisik. Dalam pembangunan jembatan, setiap orang bisa ambil andil berbeda-beda secara langsung. Namun dalam politik bernegara, ada elemen eksekutif yang bekerja membangun, dan perlu ada kekuatan pengontrol. Tidak semua harus terlibat langsung. Perlu ada yang mengontrol dan memberi informasi jika terjadi kekeliruan. Bahkan pada tingkat tertentu, perlu ada kekuatan politik yang sewaktu-waktu bisa menggalang people power untuk mengoreksi kekuasaan yang semena-mena. Perlu ada kekuatan pengontrol agar pelaksanaan pemerintahan tidak hanya menguntungkan segelintir orang. Jika kekuatan pengontrol lemah apalagi tidak ada, bagaimana memastikan pembangunan itu berjalan efektif tanpa korupsi? Bukankah power tends to corrupt?
Tanpa kekuatan penyeimbang yang kokoh, saya ragu cita-cita Indonesia maju yang besar itu bisa tercapai. Ada banyak studi yang menemukan bahwa korupsi mengurangi kelancaran pembangunan secara signifikan. Di Indonesia, daerah dengan tingkat korupsi yang tinggi juga mengalami kemandegan pembangunan. Dan korupsi cenderung tumbuh subur pada kekuasaan yang tak terkontrol.
Para diktator menjadi diktator bukan karena mereka tidak memiliki cita-cita besar untuk bangsanya. Mereka menjadi diktator karena hilangnya kekuatan pengontrol. Tanpa kekuatan pengontrol yang memadai, narasi besar tentang kemajuan bisa jatuh menjadi sekadar dalih untuk mempertahankan kuasa. Narasi maslahat akbar saja tidak cukup. Narasi maslahat akbar bahkan bisa menjadi jebakan.
Demikian saja dulu. Sungkem, Mas Ulil dan Bang JG!
Depok, 5 September 2024
Saidiman Ahmad, Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University






















