Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Ajaran Islam selain dari akidah, secara umum dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Sedangkan muamalah mengatur hubungan manusia dengan sesama dan makhluk lain yang berkaitan dengan hubungan sosial, ekonomi politik, peradaban, dan kebudayaan. Kedua hubungan itu sering disebut dengan hubungan vertikal dan hubungan horizontal, hablun minallah wa hablun minannas.
Kedua hubungan tersebut harus terjalin secara istiqamah dan berkesinambungan, tidak boleh diabaikan salah satunya. Istilah itu sering juga disebut dengan ibadah ritual dan ibadah sosial. Hubungan secara menyeluruh dan komprehensif banyak disebutkan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, antara lain:
وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔاۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Artinya: Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri, (QS. Al-Nisa, 04:36).
Dalam al-Sunnah, banyak dijelaskan tentang perintah untuk menjalin hubungan sesama manusia, antara lain:
مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللَّهِ والْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ ومَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia merajut tali silaturrahimnya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia berkata yang terbaik atau diam. (HR. Bukhari, 5673).
Dalam ajaran Islam, kita jumpai banyak hal-hal yang menyangkut ibadah sosial, kedudukannya lebih tinggi dari ibadah ritual. Misalnya tentang ibadah haji, dijelaskan bahwa ibadah haji yang mabrur itu tidak ada lain balasannya kecuali syurga. Sedangkan seorang yang selalu menyantuni anak yatim dengan baik, digambarkan sebagai seorang yang masuk syurga berdampingan bersama Nabi s.a.w.. Disebutkan dalam hadits;
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Artinya: Haji yang mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali syurga. (HR. Ahmad, 7050 ).
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Artinya: Aku dan pemelihara anak yatim di syurga seperti ini, beliau mengisyaratkan jari telunjuk dengan jari tengahnya dengan merenggangkan keduanya. (HR. Muslim, 2983).
Dari keterangan hadits ini bisa dipahami bahwa seseorang yang melaksanakan ibadah haji akan masuk syurga, sedangkan orang yang menyantuni anak-anak yatim akan masuk syurga bersama Nabi s.a.w., beriringan seperti jari telunjuk dan jari tengah.
السَّاعِي علَى الأرْمَلَةِ والمِسْكِينِ، كالْمُجاهِدِ في سَبيلِ اللَّهِ، أوِ القائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهارَ.
Artinya: Orang-orang yang keluar masuk kampung dan memberikan bantuan kepada janda dan orang-orang miskin, seperti orang yang berjihad di jalan Allah, atau seperti orang yang melaksanakan shalat semalam suntuk dan orang yang berpuasa di siang hari. (HR. Bukhari, 5353).
Dalam ayat al-Qur’an ditegaskan mengenai pertanyaan kepada penghuni neraka saqar. Sering para da’i menyebutkan ayat itu saja, mereka menjawab kami tidak melakukan shalat. Padahal dalam ayat itu ada lanjutannya yang berkaitan dengan ibadah sosial, sebagai berikut:
مَا سَلَكَكُمْ فِى سَقَرَ قَالُوا۟ لَمْ نَكُ مِنَ ٱلْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ ٱلْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ ٱلْخَآئِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ ٱلدِّينِ حَتَّىٰٓ أَتَىٰنَا ٱلْيَقِينُ
Artinya: Apakah yang menjerumuskan kalian ke dalam neraka Saqar? Mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat, dan kami tidak pula memberi makan orang miskin. Dan adalah Kami tenggelam ke dalam pembicaraan) yang batil (bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah Kami mendustakan hari pembalasan) yakni hari berbangkit dan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian. (QS. Mudatsir, 74:41-43).
Dengan demikian, orang-orang yang masuk dalam neraka saqar itu tidaklah semata-mata meninggalkan shalat, tetapi juga menelantarkan anak-anak yatim, sering membicarakan aib orang lain, dan mendustakan hari pembalasan.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa pada saat-saat tertentu, nilai ibadah sosial lebih tinggi dari ibadah ritual. Menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, membela mereka yang termarjinalkan, membela mereka yang terfitnah, dan mengangkat kaum ekonomi lemah, merupakan bagian dari ibadah sosial yang sangat terpuji.
Dr. KH. Zakky Mubarok Syakrakh, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)