Semarang | LIPUTAN9NEWS
GUS Yahya Staquf, Ketua Umum PBNU, menekankan pendekatan “koherensi” sebagai prinsip utama kepemimpinannya. Namun, implementasi koherensi ini sering terlihat “penguasaan agar sesuai keinginan”, seperti dalam upaya pengambil-alihan PKB, pembekuan beberapa PCNU, dan badan otonom yang tidak sepaham. Dan yang terakhir JATMAN.
Pendekatan Gus Yahya tidak tepat dan out of touch dengan realitas Nahdhiyyin. Pendekatan koherensi di era digital, sebagaimana dikemukakan para sosiolog perubahan sosial, hanya akan memunculkan banyak konflik baru, menciptakan keterbelahan internal, melemahkan nilai-nilai, & memperburuk soliditas masyarakat tradisional seperti NU.
Banyaknya konflik dan pengunduran diri ulama senior, yang terakhir Puang Makka dari Sulawesi Selatan menjadi bukti. Pendekatan terhadap JATMAN semakin menunjukkan kurangnya sensitivitas terhadap realitas kultural, dan spiritual NU, & semakin ditinggalkannya nilai, adab & kearifan aswaja NU oleh oknum elite PBNU.
Oleh karena itu, Gus Yahya perlu mengevaluasi gaya kepemimpinannya dengan lebih memahami esensi Nahdliyyin sebagai komunitas spiritual-kultural, bukan sekadar organisasi administratif. Refleksi ini penting di tengah perubahan sosial yang semakin kompleks.
Tantangan Era Digital
Era digital adalah era polarisasi dan disinformasi. Era digital diwarnai konflik akibat disinformasi dan “echo chamber” algoritma media sosial. Eco chamber akan membelah masyarakat dalam kubu-kubu. Suasana konfliktual ini seharusnya dapat diredam oleh kepemimpinan yang inklusif dan bijaksana.
Era informasi global juga menggeser otoritas tradisional & nilai. Individu kini menyusun identitas tanpa terikat norma tunggal, termasuk norma Aswaja. Kepemimpinan politis-instrumentalistik akan mempercepat pelemahan nilai-nilai ke-NU-an.
Kepemimpinan yang Dibutuhkan
Di era perubahan ini, kepemimpinan yang relevan di organisasi tradisional seperti NU adalah kepemimpinan yang (1) memprioritaskan persatuan, (3) penguatan nilai, dan (3) peneladanan nilai-nilai yang terus tergerus, diantaranya adalah penghormatan kepada sesepuh dan ulama.
Baca juga: Sektor Terdampak PPN 12 Persen dan Strategi Menghadapinya
Tindakan yang dilakukan terhadap Jatman bukan peneladanan yang baik terhadap sesepuh, yang pada gilirannya hanya akan melemahkan nilai & simbol NU. Simbol NU bukan hanya bendera, kantor, logo atau lambang NU. Simbol NU yang sebenarnya adalah ulamanya, yang sholeh, yang menjadi panutan.
JATMAN dan Pentingnya Harmoni
Pendekatan PBNU terhadap JATMAN seolah menunjukkan seolah Gus Yahya tidak paham terhadap nilai & konfigurasi sosial spiritual masyarakat NU & semakin ditinggalkannya nilai, & adab aswaja NU. Sehingga ada kiai yang berkata: “Bukan Jatman yang meninggalkan NU, tapi oknum elite PBNU yang meninggalkan aswaja NU.”
Ada lima hal mendasar yang perlu diperhatikan:
Pertama, NU bukan hanya organisasi, dengan AD/ART, ia syarat nilai sosial & spiritual yang kuat. NU juga bukan organisasi formal saja. NU juga komunitas kultural spiritual dengan tatanan nilai yang kuat. Mengandalkan pada aturan formal akan menjadikan organisasi NU kering dari ruhaniyah NU, yang pada giliran selanjutnya menggerus nilai aswaja itu sendiri.
Kedua, diatas AD/ART, ada Muqaddimah Qanun Asasi undang-undang tertinggi NU yang mengamanatkan persatuan dan penyelesaian konflik secara damai. Berbeda dengan AD ART yang bisa dirubah dalam muktamar, Muqaddimah tidak bisa karena kedudukannya seperti UUD 1945.
Bahkan keputusan PBNU menyelenggarakan kongres Jatman bertentangan dengan pasal 20 tahun 2022 ART NU, pasal satu-satunya yang menjadi justifikasi PBNU mengambil alih Jatman. Dalam pasal tersebut disebutkan “Pengurus Nahdhatul Ulama membina, mengayomi dan dapat mengambil tidakan organisatoris terhadap Lembaga, Badan Khusus dan Badan Otonom pada tingkat masing-masing.” Menurut pasal ini, seharusnya PBNU melakukan pembinaan terlebih dahulu. Tidak langsung mengambil tindakan organisatoris.
Ketiga, Ketum PBNU adalah pelaksana, bukan pengambil keputusan utama. Syuriyah, di bawah Rois Aam, adalah pemegang otoritas tertinggi. Ketua PBNU memang secara struktural berkedudukan tertinggi setelah Rais Am dalam organisasi NU, tapi bukan berarti ia tertinggi dalam masyarakat NU. Di masyarakat ada kiai, dan mursyid yang menjadi pemimpin-pemimpin sosial dan spiritual. Ketua NU di berbagai levelnya bukan otomatis menjadi yang paling tinggi, yang paling ngerti tentang NU, paling ngerti tentang aswaja, yang kemudian mengajari yang lainnya versinya.
Keempat, meski JATMAN adalah banom NU, namun perlu dipahami bahwa isi dari JATMAN adalah ulama-ulama sepuh, ulama thoriqoh ahli tasawuf, yang merupakan kekuatan inti, ruh NU. Jadi, perlakukanlah Jatman sebagai kumpulan para ulama sepuh dari NU, dengan penuh adab NU, adab sufi, adab thoriqoh. Ini adalah satu keunikan di dalam NU.
Disamping itu, meski sudah ada Rois Aam PBNU, namun fakta sejarahnya di dalam Jatman ada Rois Aam. Ini menunjukkan kemulian dan kesepuhan Rois Am Jatman. Meski ada dua jabatan Rois Aam di PBNU dan JATMAN, namun bukan dalam sebuah persaingan, tapi sinergitas, satu menjaga rumah besar NU dengan segala programnya, satu menjaga kemurnian tasawuf ahli thoriqoh NU. Ini adalah fakta sejarah, fakta sosial kultural yang berjalan puluhan tahun, yang tidak bisa kita remehkan begitu saja.
Kelima, realitas yang perlu diingat selanjutnya: Maulana Habib Lutfi adalah sesepuh NU. Dalam kepemimpinannya Jatman menjadi organisasi yang berpengaruh secara internasional. Habib Luthfi juga iantara sedikit ulama yang sangat mengakar di masyarakat. Melalui silaturahmi, dakwah, dan ziarah yang intens. Murid, dan sahabat beliau sangat banyak. Memegang kemursyidan 22 tariqah muktabarah, memiliki 125 guru, sebagian besar di nusantara, dan menguasai banyak bahasa lokal (Sunda, Madura, Banjar dll), semua tanda keberakaran yang sangat kuat. Beliau juga tokoh ulama sufi dunia yang mempunyai pengaruh secara internasional dan tercatat sebagai tokoh muslim yang berpengaruh.
Disamping itu, Habib Luthfi juga mempunyai keunikan. Beliau selalu menyerukan cinta tanah air, persatuan, penghindaran konflik & dakwah aswaja— mirip dengan apa yang dilakukan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan apa yang beliau tulis di Muqaddimah Qanun Asasi NU. Ada sir dalam kenyataan ini. Mengabaikan realitas ini apalagi menuduh beliau tidak sejalan dengan NU, atau ingin mengambil jatman dari NU, hanya akan membuat NU terbelah & elite PBNU akan semakin kehilangan dukungan spiritual.
Kesimpulan: Refleksi dan Langkah ke Depan
Di era ini, tidak ada yang lebih baik dari menjaga persatuan dan memberikan teladan akan nilai-nilai dan adab yang baik terhadap sesepuh. Oleh karenanya PBNU sebaiknya membatalkan Kongres JATMAN Donohudan dan menyelesaikan konflik melalui musyawarah. Kongress Jatman Donohudan tidak hanya membuat Jatman terbelah. NU juga terbelah.
Selanjutnya, kepemimpinan Gus Yahya membutuhkan evaluasi mendalam agar lebih sensitif terhadap nilai-nilai kultural NU. Hanya dengan kembali pada semangat para pendahulu, NU dapat bertahan sebagai organisasi yang solid di era perubahan ini.
Dr. Moh Yasir Alimi, Ph.D., Penulis adalah Pengurus Pimpinan Pusat Mahasiswa Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (PP MATAN) dan dosen Uviversitas Negeri Semarang, Sosiolog Universitas Negeri Semarang, dan Wakil Ketua PWNU Jawa Tengah Periode 2019-2024