Sidoarjo | LIPUTAN9NEWS
Hidup di tengah masyarakat banyak kita temui yang namanya kebiasaan diri, pembawaan karakter atau sikap bias seseorang dalam menentukan pilihan jalan hidupnya. Bahkan terkadang dalam hal ini sering menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan. Untuk itu kita dituntut lebih bisa berpikir logis, terbuka, atau objektif untuk membaca setiap kesempatan maupun peluang yang ada. Namun,bagi orang yang menanggalkan kemampuannya untuk berpikir logis, terbuka, atau objektif, argumen atau mengutamakan perdebatan tidak akan membawa hasil yang konstruktif.
Dalam hal ini, berdebat dengan orang seperti itu diibaratkan seperti memberikan obat kepada orang yang sudah mati. Upaya kita sia-sia karena tidak ada lagi penerima yang mampu merespons atau berubah lebih baik. Dari uraian Kalimat ini menggambarkan betapa sia-sianya mencoba berdiskusi atau berdebat dengan seseorang yang tidak lagi menggunakan akal sehatnya (rasionalitas dalam pemikirannya).
Menjadi suatu pandangan yang lumrah, terkadang kita menemui dalam suatu forum tertentu. Adakalanya seseorang yang tidak mau untuk mendengarkan atau mempertimbangkan perspektif atau pandangan orang lain. Entah itu karena mereka terlalu terikat pada pandangan pribadi yang sudah sangat keras (akibat doktrin yang sudah mengendap). Atau mungkin juga karena mereka sudah puas dengan keadaan sehingga tertutup dengan ide-ide yang baru akibatnya enggan diajak maju bersama. Ketika ini terjadi, segala upaya untuk memberikan penjelasan atau berbicara berdasarkan fakta dan logika hanya sia-sia saja. Kalau sudah seperti ini, diibaratkan Seperti memberikan obat kepada orang yang sudah mati atau tidak bernyawa. Hemat katanya, andaikan kita mencoba untuk mengubah pandangan mereka dengan cara yang rasional bisa sangat tidak efektif. Kita hanya buang-buang umur, waktu, kesempatan dan energi saja.
Dari sini pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa dalam hal komunikasi, sangat penting untuk mengenali kapan sebuah diskusi itu tidak akan menghasilkan perubahan atau pemahaman yang bernilai manfaat. Sebab berbicara dengan seseorang yang tidak mau terbuka terhadap pemikiran yang baru hanya akan menguras energi kita saja. Untuk itu, lebih bijaksananya menentukan pilihan kapan dan bagaimana kita berdebat, serta dengan siapa kita menghabiskan waktu untuk berdiskusi seharusnya menjadi perhitungan yang matang.
Ketika kita berhadapan dengan salah satu dari orang-orang ini, sering kali tidak akan menjadi (secara terdiagnosis) jelas sampai kita menghabiskan banyak waktu dengan mereka. Dan bahkan saat itu, jika kita benar-benar terjerat secara emosional, kita mungkin tidak dapat menemukannya sendiri.
Berinteraksi dengan mereka mungkin membuat kita merasa sangat buruk tentang diri kita sendiri, atau bahkan mereka mungkin mengatakan dan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kita. Sering kali, mereka memiliki cara yang sangat menawan sehingga mereka menemukan cara untuk membuat kita terpojok setelahnya, atau melakukan sesuatu yang yang membuat kita bingung tentang “siapa” yang merupakan orang yang baik sebenarnya. Kebanyakan orang akan memilih untuk fokus pada hal-hal yang baik dan mengecilkan hal-hal yang patologis, yang sering kali merugikan mereka sendiri.
Simpulnya adalah ini sebagai nada pengingat kita saja untuk tidak membuang-buang umur, waktu, kesempatan bahkan energi untuk berdebat dengan seseorang yang tidak mau menggunakan akal sehatnya. Sebaliknya, lebih baik kita fokus pada seseorang yang terbuka terhadap diskusi, aktif mendengarkan, produktif dalam berfikir, dan memiliki kesiapan mememberikan solusi dan objektif menatap masa depan untuk mengubah peradaban dengan penuh keadaban. Semoga Bermanfaat.
Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I., Ketua Program Studi PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) dan dosen Pascasarjana IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo; Dosen PAI-Terapan Politeknik Pelayaran Surabaya; Pengasuh Balai Peduli Pendidikan Indonesia; Pengurus LTMNU PCNU Sidoarjo; Ketua LDNU MWCNU Krembung.