Banten | LIPUTAN9NEWS
Dalam setiap perbincangan dengan kami di lantai 4 toko miliknya, Toko Krakatau Royal di kawasan Royal Kota Serang, Banten, Pak Wiping selalu menyelipkan sejarah Indonesia. Paling sering di era Bung Karno dan tentang Bung Karno. Misalnya bagaimana dilema yang dihadapi Bung Karno ketika harus mengeksekusi sahabatnya sendiri yang sama-sama pernah ngaji kepada HOS Cokroaminoto, yaitu Kartosuwiryo, setelah pengadilan memvonis Kartosuwiryo harus dihukum mati.
Bung Karno memang menunda penandatanganan surat keputusan hukuman mati terhadap Kartosuwiryo karena sejumlah pertimbangan, termasuk kemungkinan dampak politik dan sosial yang luas yang akan mengancam stabilitas politik dan posisinya sendiri sebagai pemimpin revolusi. Penundaan ini menyebabkan eksekusi Kartosuwiryo sempat tertunda selama tiga bulan, sebelum akhirnya Bung Karno menandatangani surat tersebut, dan hukuman mati terhadap Kartosuwiryo pun dilaksanakan pada 5 September 1962.
Sebelum penandatanganan dan eksekusi tersebut, Bung Karno pernah tidak bisa tidur, dan meminta Soebandrio untuk datang ke kediamannya jelang subuh hari. Saat Soebandrio sampai di kediamannya, Bung Karno ‘curhat’ bahwa ia mengenal Kartosuwiryo sebagai seorang idealis, dan bukan politisi oportunis yang mementingkan diri sendiri. Bagi Bung Karno, Kartosuwiryo sebenarnya adalah orang yang lebih mementingkan kepentingan rakyat banyak, ketimbang didorong oleh motif dan kepentingan pribadi. Karena itulah Bung Karno sempat ragu untuk menandantangani surat sebelum eksekusi dilaksanakan.
Sudah tentu perbincangan kami setiap Jum’at sore itu santai sembari mencicipi cemilan hidangan dan minuman yang disediakan karyawati-karyawati Koh Iping. Namun bukan berarti membincangkan hal-hal yang tidak bermanfaat dan tidak menginspirasi. Sebab yang kami perbincangkan kerapkali seputar isu-isu kemasyarakatan dan mentalitas manusia Indonesia, yang sudah tentu pula di dalamnya kami membincang isu-isu seni dan sastra.
Saya sengaja mengajak anak-anak muda: jurnalis, mahasiswi, mahasiswa, mereka yang memiliki minat pada kebudayaan dan kepenulisan, untuk nimbrung bergiliran-bergantian setiap minggunya. Dan hasilnya, mereka ‘melaporkan’ hasil obrolan kami lewat tulisan, semisal esai dan reportase jurnalistik. Tak lain karena obrolan berkala mingguan kami itu memang selalu ada yang menarik untuk dituliskan, dari mulai membincang isu-isu politik hingga kebudayaan dan sejarah.
Di setiap Jum’at sore itu, saya sendiri selalu menyela diskusinya dengan membacakan satu dua puisi-puisinya Pak Wiping, biar ada selingan dan jeda. Tapi justru dari puisi-puisi yang saya baca itulah, senantiasa muncul tema dan masalah yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Contohnya masalah prilaku keagamaan masyarakat yang senjang dengan realitas kehidupan sehari-hari. Beragama cenderung egoistik, terlampau memikirkan pahala untuk diri sendiri hingga lupa untuk memberikan sumbangsih kiprah sosial bagi kemajuan masyarakat.
Kongkow ngopi setiap Jumat sore di lantai 4 Toko Krakatau Royal itu kami namakan ‘Ngopi Senja’, di mana lanskap dan warna senja-nya bisa kami saksikan lewat kaca jendela, atau sesekali salah-satu diantara kami keluar ruangan sekedar untuk menghisap rokok sembari mengambil gambar senja dan panorama Kota Serang yang kami anggap menarik untuk kami abadikan menjadi jepretan fotografi dengan kamera android.
Tak lupa juga sesekali kami membahas tentang Banten –dari mulai sejarahnya hingga karakteristik dan mentalitas masyarakatnya. Salah-satu yang kami kritisi adalah ketika mereka yang mengajarkan agama justru ‘mengajarkan’ masyarakat untuk malah ‘menjauh’ dari realitas kehidupan, meremehkan untuk ‘bertebaran di muka bumi’ dengan jalan membangun kreativitas dan keberdayaan ekonomi sehingga kita bisa menolong diri kita sendiri dan tidak terdominasi oleh kekuatan yang justru ‘tidak ramah’ kepada kita.
Di edisi ‘Ngopi Senja’ 16 Mei 2025, misalnya, kami membincang ihwal para pemimpin agama sebenarnya bisa memberdayakan masyarakat atau jamaah mereka dengan membekali mereka etos hidup untuk berusaha mencari rizki yang halal sesuai dengan kondisi zaman. Membekali jamaahnya dengan kreativitas dan inovasi, karena diantara yang menyebabkan banyak orang melakukan ‘kejahatan’ adalah karena kondisi kemiskinan.
Yah katakanlah isu yang kami bincangkan itu senafas dengan teologi pembebasan yang biasanya dibahas mahasiswa yang aktif di komunitas kajian mereka. Terutama sekali para mahasiswa yang konsen dengan masalah-masalah keagamaan dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, seperti kemiskinan dan rendahnya kapasitas literasi dalam mayoritas masyarakat muslim di Indonesia yang membuat mereka tidak sanggup berkembang dan maju.
Selain itu, kami juga membahas betapa pentingnya ekonomi ummat berbasis pertanian dan ketahanan pangan di tengah semakin berkurangnya ketersediaan lahan akibat ledakan populasi, meluasanya perkotaan dan hunian, juga kerusakan lingkungan yang menghilangkan produktivitas lahan, sementara dalam hal inovasi pertanian dan produksi pangan, kita pun masih tertinggal. Padahal di masa depan, seiring dengan berkurangnya lahan dan terus bertambahnya populasi (penduduk) bumi, masalah yang akan menjadi persoalan mendesak dan utama adalah masalah pangan.
Di obrolan ‘Ngopi Senja’ setiap Jum’at sore di lantai 4 Toko Krakatau Royal di kawasan Royal di Jalan Sultan Ageng Tirtayasa Kota Serang, Banten, kami memang membincangkan apa saja yang dirasa penting dan menarik untuk kami bahas. Mulai dari masalah ekonomi, kemasyarakatan, agama, seni, sastra, isu-isu kebudayaan hingga peristiwa-peristiwa politik aktual: domestik dan global.
Sulaiman Djaya, Esai dan penyair






















