BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Kita kerapkali berbicara tentang Pembaharuan Islam, namun kerapkali pula tak melahirkan dampak praktis, karena keputusan-keputusan sosial-keagamaan-politik lebih sering dimenangkan oleh politik transaksional yang justru lebih menguntung status-quo, tidak ramah dan kurang suka dengan suara dan gerakan progresif.
Sementara mereka yang kita tuduh sebagai konservatif dan fundamentalis Islam, seperti Iran, justru berhasil meraih pencapaian signifikan dalam sains dan inovasi, dan digdaya pula sebagai Negara berdaulat dalam konflik geopolitik, meski diembargo puluhan tahun oleh Barat yang dikomandoi Amerika. Buktinya, berhasil membuat Amerika menekan Israel untuk menyerah dalam perang 12 hari ketimbang menjadi abu sebab hujan rudal hipersonik yang nyatanya tidak bisa ditangkis Iron Dome yang konon super canggih.
Beberapa waktu lalu, saya berbincang dengan dua doktor, yang kebetulan pengurus Muhammadiyah dan Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang, di lantai 3 Universitas Muhammadiyah Tangerang. Kebetulan pertemuan di ruangan itu seusai acara formal Muhammadiyah Banten, membincang kaum muslimin yang menurut mereka masih terjebak siklus kontraproduktif lama. Salah-satu doktor itu nyeletuk, “Kenapa yah kang masih ada aja kaum muslimin yang kurang piknik dan menerima tuduhan kafir dan sesat kepada suadara-saudara kita yang Islam Syi’ah? Dan jujur saya sebenarnya merasa malu di saat mereka sudah menciptakan nano-teknologi berbasis nuklir hingga hipersonik yang menjangkau ribuan kilometer dalam hitungan (durasi) menit, kita malah berantem sesama muslim.”
Doktor yang lainnya menimpali, “Memang tidak bisa dinafikan dan sangat nyata adanya kepentingan politik dan propaganda yang berusaha menyudutkan Islam Syiah dan Iran karena persoalan perlawanan mereka terhadap imperialisme Barat dan pembelaan Iran kepada Palestina, baik secara finansial atau persenjataan.” Diskusi sembari menikmati kopi, meski hanya saya dan satu doktor saja di ruangan itu yang ahlul hisap (penikmat rokok), memang berjalan dan berlangsung seru, hingga bahkan kembali membahas sesat pikir teologis yang berdampak keliru tindakan dan salah-kaprah dalam memahami ibadah dan amal. “Apakah ini yang disebut pikiran yang terlambat?” Tanya salah satu doktor itu. Tentang sesat pikir teologis itu, saya teringat perbincangan Abu Hanifah dan Imam Musa Al-Kazim:
“Suatu hari, kala Imam Ketujuh kita, Imam Musa al-Kazim yang masih berusia 5 tahun, salah seorang murid ayahnya yang bernama Abu Hanifah datang berkunjung untuk bertanya beberapa masalah kepada ayah Imam Musa al-Kazim as. Imam Keenam kita, ayah Imam Musa al-Kazim, Imam Ja’far as-Sadiq sedang sibuk bersama dengan tamunya yang lain dan Abu Hanifah menunggu untuk beberapa waktu.
Lalu, ia melihat Imam Musa al-Kazim as sedang bermain dengan seekor binatang. Ia berkata kepada binatang tersebut, “Bersujudlah kepada Allah yang telah menciptakanmu.” Abu Hanifah bertanya-tanya apakah si bocah belia ini akan menjadi Imam selanjutnya.
Ia memutuskan untuk bertanya kepada Imam Musa al-Kazim as beberapa pertanyaan. Abu Hanifah berkata kepada Imam belia, “Bolehkah aku ajukan sebuah pertanyaan kepadamu?” Lalu Imam Musa al-Kazim berdiri dan dengan mantap berkata kepada Abu Hanifah, silahkan ajukan pertanyaan apa pun yang engkau sukai?”
Kemudian Abu Hanifah mengajukan sebuah pertanyaan yang telah membuat Abu Hanifah merasa kebingungan. Ia bertanya, “Apakah seluruh perbuatan manusia terlaksana dari kebebasannya atau berada dalam kendali Tuhan dan membuatnya melakukan hal itu (terpaksa)?
Imam Musa al-Kazim menjawab bahwa ada tiga kemungkinan di balik pertanyaan Abu Hanifah itu: [1] Allah Swt memaksanya untuk melakukan sebuah perbuatan. [2] Antara Allah Swt dan manusia bertanggung jawab atas perbuatan itu. [3] Manusia melakukannya sendiri, dalam rangkuman kebebasannya. Imam Musa al-Kazim as menjelaskan:
Apabila kemungkinan atau anggapan pertama benar maka manusia tidak seyogyanya diadili pada Hari Hisab dan dikirim ke surga atau neraka, lantaran ia tidak pantas mendapatkan hal itu. Manusia tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Anggapan ini tidaklah demikian adanya. Apabila kemungkinan dan anggapan kedua benar bahwa antara Allah Swt dan manusia keduanya harus diadili pada Hari Hisab. Anggapan ini juga tentu saja tidak masuk akal.
Kemudian, tersisa kemungkinan dan anggapan yang ketiga dan menjadi anggapan satu-satunya yang tersisa. Anggapan yang benar adalah anggapan yang ketiga, lantaran manusia telah diberikan kebebasan setelah menerima bimbingan dan tuntunan tentang apa yang baik dan apa yang buruk.
Abu Hanifah berujar bahwa alangkah luar biasanya rumah tangga seperti ini. Bahkan bocah kecil sekalipun dapat menjawab dan memberikan kepuasan atas kumpulan beberapa pertanyaan! Ia berkata bahwa tidak perlu lagi ia bersua dengan Imam Keenam, Imam Ja’far As-Sadiq as, dan ia kembali ke rumahnya setelah mendapatkan jawaban dari Imam Musa Al-Kazim as.”
Sangat mungkin kita salah memahami Islam dan kurang mengenal dengan baik dan benar teladan-teladan Islam, seperti yang dinyatakan Ali Syariati: “Tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat, dan bahwa sebagai intelektual dia memikul amanah demi masa depan ummat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apapun bidang studinya harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam…” (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, Al-Huda Jakarta 2001, h. 36).
Sejumlah akademisi dan mereka yang disebut cendekia muslim Indonesia pun kerapkali berbicara tentang ‘Pembaharuan Islam’, meski acapkali tak melakukan pembaharuan secara praktis –ketika keputusan-keputusan sosial-politik selalu dimenangkan oleh politik transaksional belaka, yang acapkali lebih menjamin keberlangsungan status-quo. Seruan dan gerakan ‘Pembaharuan Islam’ yang memang kerapkali kalah dalam arena dan pertarungan politik. Ini berbeda, misalnya, dengan gerakan Islam Politik Iran yang kemudian mendirikan Republik Islam Iran, yang konon justru digerakkan oleh kaum konservatif dan fundamentalis Islam, namun justru terbukti berhasil melakukan pencapaian dan kemajuan spektakuler dalam inovasi, sains dan teknologi pertahanan keamanan.
Yang malah aneh adalah ketika beberapa dari mereka yang disebut menyuarakan Pembaharuan Islam di Indonesia itu, justru bersikap sinis bahkan acapkali memusuhi Republik Islam Iran, yang menurut mereka telah melakukan pemaksaan kepada para wanita untuk mengenakan hijab. Mungkin karena beberapa orang itu berpandangan bahwa perempuan tidak seharusnya berada di rumah saja atau wilayah domestik, serta berhak juga menjadi ilmuwan, mengabdi dalam dunia pendidikan dan lainnya. Masalahnya adalah justru Iran yang berhasil melahirkan para ilmuwan dan sarjana berprestasi perempuan, dari pakar nuklir hingga ahli medis, hampir 70 persen lulusan perguruan tinggi di Iran justru adalah perempuan. Barangkali karena beberapa orang itu terlampau selektif (alias sepihak) memilih rujukan dan kurang bersikap adil, sehingga hanya suara dari Amerika dan Barat yang mereka gunakan untuk melihat dan menilai Iran –suara yang justru juga bertendensi politis, bukannya ilmiah dan objektif.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan























