SIDOARJO| LIPUTAN9NEWS
Berawal dari wafatnya Muawiyah bin Abu Sufyan, yang kemudian kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada putranya, yakni Yazid bin Muawiyah.
Namun, terkait hal ini ditolak oleh tokoh-tokoh Islam, termasuk Sayyidina Husain. Alasannya apa?…. sebab hal ini dinilai sebagai wujud penyimpanan dalam ajaran Islam.
Sayyidina Husain menolak untuk memberikan baiat atau sumpah setia kepada Yazid. Dan, pada waktu itu Sayyidina Husain memutuskan pergi ke Kufah, Irak karena banyak dukungan dari penduduk kota tersebut. Namun di tengah perjalanannya, tepatnya di Karbala dicegat oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad.
Hal ini mengingatkan kembali pada malam itu, lentera menyala redup di perkemahan dengan desiran angin karbala seakan-akan membawa kabar maut.
Pada saat itu Sayyidina Husain berdiri, untuk memadamkan lampu, lalu ia berkata dengan tegasnya, “Barang siapa yang ingin pergi, malam ini aku bebaskan. Esok, hanya maut yang menanti.”
Mendengar perkataan Sayyidina Husain ini, tak ada satu pun dari pasukannya punya niatan melangkah mundur atau ingin melarikan diri dari kepungan musuh. Meskipun jumlahnya tidak sebanding, Sayyidina Husain dan pasukannya ini berjumlah sekitar 72 orang, termasuk keluarga dan sahabatnya bertempur melawan pasukannya Ubaidillah yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Terkait akan hal ini, perlu menjadi suatu catatan sejarah Islam, bahwa ini bukanlah pertempuran untuk kemenangan. Akan tetapi ini akan menjadi saksi bahwa di hadapan kesewenang-wenangan (tirani), kehormatan itu menjadi lebih mahal dari hilangnya nyawa.
Kehadiran Sayyidina Husain dalam sejarahnya ini tidak untuk memberontak demi kekuasaan yang bersifat sementara. Namun, semata-mata untuk menegakkan keadilan, Ia menolak membaiat Yazid bin Muawiyah. Sebab sistem pewarisan kekuasaannya ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan menimbulkan banyak mudharatnya.
Sayyidina Husain berkata dengan lantangnya
“Aku keluar semata-mata untuk menegakkan perbaikan di tengah umat kakekku (Nabi Muhammad).”
Tepatnya pada tanggal 10 Muḥarram pagi, satu demi satu syahid di medan pertempuran. Diantaranya, Ali al-Akbar (putra kesayangannya) pergi ke medan tempur dengan wajah penuh semangat yang mengingatkan kita pada kakeknya, yakni Rasulullah SAW. Kemudian menyusul satu demi satu, keponakannya, para pemuda (dari Bani Hasyim), termasuk juga sahabat-sahabatnya yang setia semuanya syahid dalam kehormatan dan mendapatkan jaminan surga-Nya Allah SWT.
Suatu momen yang sangat mengharukan dan tak akan pernah terlupakan dalam sejarahnya ini. Yakni, Sayyidina Husain berdiri mengangkat bayi kecilnya, Abdullah, memohon setetes air. Namun, Musuh tak menjawab dengan belas kasihan, justru menjawabnya dengan anak panah yang meleset dengan tajamnya mengenai bayi tersebut. Seketika, bayi itu wafat di pelukannya. Dan untuk sesaat, awan di langit seakan-akan seperti berhenti sejenak untuk memberikan penghormatan.
Satu hal yang membuat takjub, dalam kondisi pasukan tinggal segelintir dan dikepung ribuan pasukan musuh. Akan tetapi mereka, tidak ada satu pun pasukan dari pihak Sayyidina Husain mengeluh maupun mundur dari medan perang. Sebab yang menjadikan semangat membara di hadapan mereka adalah seorang lelaki agung, cucu Baginda Nabi Muhammad SAW tersebut.
Meskipun pada akhirnya beliau jatuh tersungkur di atas padang berdebu, dengan penuh luka tubuhnya, kepalanya orang suci tersebut dipenggal oleh tangan jahat Syimr bin Dzil Jausyan, dan langit seperti pecah oleh ratapan para malaikat yang menyaksikan hal itu.
Melihat kelamnya sejarah tersebut, sehingga patut menjadi doa kita bersama,
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا عَلَى خُطَى الْحُسَيْنِ، نَصْدُقُ إِذَا كَذَبَ النَّاسُ، وَنَثْبُتُ إِذَا رَجَفَ الزَّمَانُ.
“Ya Allah, tetapkan kami di jalan Ḥusain: jujur saat dunia berdusta, teguh saat zaman gemetar.”
Dan, menjadi pengingat kita dalam setiap peristiwa bahwa “kebenaran itu bukan tentang jumlah, tapi keberanian.” Juga menjadi pengingat kita akan pentingnya menjaga ajaran Islam dan melawan kezaliman dalam setiap kesempatan. Serta menjadi inspirasi bagi umat Islam pada umumnya untuk selalu berada di jalan yang benar tanpa keraguan.
Syahidnya Sayyidina Husain ini diperingati oleh umat Muslim (khususnya Syiah) sebagai hari berkabung atau duka cita. Atau lebih familiarnya di tengah masyarakat muslim dikenal sebagai “Hari Asyura” hingga saat ini. Semoga Bermanfaat…..
Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I., Ketua Program Studi dan Dosen PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) Pascasarjana IAI Al-Khoziny Sidoarjo; Dosen PAI-Terapan Poltek Pelayaran Surabaya; Pengurus Lembaga Takmir Masjid PCNU Sidoarjo; Ketua Lembaga Dakwah MWCNU Krembung.





















