BANDUNG | LIPUTAN9NEWS
Tak bisa dihindari kritik kaum radikal terhadap hubbul wathan menghiasi jagat media sosial. HTI kelompok yang paling istiqamah menyerang ajaran hubbul wathan minal iman. Serangan ini sebangun dan seruang dengan doktrin khilafah yang mereka yakini. Doktrin yang menginginkan kepemimpinan tunggal umat Islam. Satu umat satu Khalifah.
Meskipun pada kenyataannya, konsep ini hanya ada selama 26 tahun yaitu sejak Khalifah Abu Bakar dibai’at di Saqifah Bani Sa’idah sampai terbunuhnya Khalifah Utsman di Madinah. Pada masa Khalifah Ali, kepemimpinan politik umat terbelah dua. Ali pemimpin di Hijjaz, Yaman, Basrah dan Kuffah sedangkan Syam dan Mesir di bawah kepemimpinan Muawiyah. Hingga kini umat islam hidup di berbagai negara. Satu umat seribu daulah.
Konsep satu umat satu pemimpin politik bukan masalah krusial. Yang penting itu adalah satu umat satu Tuhan, satu Nabi, satu kitab suci dan satu kiblat yang sama. Buktinya di ketika Nabi Muhammad Saw jadi pemimpin politik di Madinah ternyata kaum muslimin di Habasyah dipimpin oleh seorang Raja Muslim yang bernama Najasyi. Nabi Saw tahu realitas politik di sana. Beliau Saw tidak mencela kepemimpinan politik Raja Najasyi. Bahkan ketika Raja Najasyi wafat, Nabi Saw melakukan shalat ghaib.
Sebab lain sikap fobia HTI terhadap ajaran hubbul wathan minal iman adalah karena trauma keruntuhan Khilafah Usmaniyah yang masih membayangi benak mereka. Betul bahwa salah satu metode Barat mengerat-ngerat wilayah Khilafah Usmaniyah adalah dengan memprovokasi elite-elite lokal Arab untuk melakukan gerakan separatisme, memisahkan diri dari pemerintahan Khilafah Usmaniyah.
Diiringi dengan pembentukan opini Arabisme melawan Turkisme. Opini tentang nasionalisme dan cinta tanah air. Tetapi ingat, opini tentang nasionalisme dan cinta tanah air yang dihembuskan Barat untuk memperlemah ikatan keislaman dalam skenario besar Barat untuk meruntuhkan Khilafah Usmaniyah.
Di Nusantara kala itu belum ada NKRI. Sampai Khilafah Usmaniyah runtuh pada tahun 1924 pun NKRI belum lahir. Akan tetapi embrio Indonesia sebagai satu bangsa yang menyatukan ratusan suku mulai kelihatan bentuknya.
Setidaknya terdapat 186 kesultanan dan kerajaan di Nusantara. Setiap kesultanan dan kerajaan merupakan satu negara sendiri. Memiliki batas-batas negara yang jelas. Di antara kesultanan dan kerajaan tersebut terjalin hubungan damai dan terkadang perang.
Kedatangan penjajah Eropa di tiap wilayah kesultanan dan kerajaan tadi mendapat perlawanan. Perlawanan ini yang kemudian membentuk kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan. Formasi kebangsaan Indonesia makin lama makin solid.
Akhirnya tercetus dalam Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda merupakan hasil dari penyatuan ratusan suku, budaya dan bahasa lalu menjadi satu, Indonesia. Jika demikian di sisi mananya, Sumpah Pemuda, nasionalisme dan cinta tanah air di Nusantara dapat dikatakan memecah belah umat?!
Para alim ulama di Nusantara mengokohkan persatuan dan kesatuan umat ini dengan mengajarkan hubbul wathan minal iman. Terlepas dari kalimat ini hadits atau bukan. Kalaupun bukan, kalimat ini haq untuk konteks Indonesia. Inilah hubbul wathan yang halal.
Berbeda dengan hubbul wathan minal iman di Arab menjelang keruntuhan Khilafah Usmaniyah, yang dijadikan jargon untuk memecah belah umat. Memecah Khilafah Utsmaniyah menjadi negara-negara Arab yang kecil-kecil dan lemah. Pemimpin-pemimpinnya boneka negara-negara Barat. Sudah jelas hubbul wathan seperti ini hubbul wathan yang haram.
Ayik Heriansyah, Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat
























