• Latest
  • Trending
  • All
  • Politik
Sulaiman Djaya

Paradoks Kritik Teologis A. A. Navis (Bagian Kedua)

September 30, 2025
Zakky Mubarok

Yang Diridhai dan Yang Dimurkai Oleh Allah Swt

November 25, 2025
BEM PTNU

FMN Yogyakarta Nyatakan Dukungan Penuh Atas Keputusan Syuriyah PBNU Terkait Permintaan Pengunduran Diri Gus Yahya

November 25, 2025
98 Resolution Network Gelar Aksi Bagikan 1000 Sembako #WargaPeduliWarga Jilid 9

98 Resolution Network Gelar Aksi Bagikan 1000 Sembako #WargaPeduliWarga Jilid 9

November 25, 2025
Saat Hadiri Rakornas Gercin Indonesia, Wagub Papua Ajak Bersatu Bangun Enam Provinsi di Tanah Papua

Saat Hadiri Rakornas Gercin Indonesia, Wagub Papua Ajak Bersatu Bangun Enam Provinsi di Tanah Papua

November 25, 2025
Ketua Umum Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB) AR Waluyo Wasis Nugroho (Gus Wal)

PNIB Minta Pemerintah Indonesia Harus Tegas Menolak Reuni 212

November 25, 2025
Gelombang Pembenahan NU Dimulai dari Syuriyah: FPN Nyatakan Dukungan Penuh atas Desakan Pengunduran Diri Ketum PBNU

Gelombang Pembenahan NU Dimulai dari Syuriyah: FPN Nyatakan Dukungan Penuh atas Desakan Pengunduran Diri Ketum PBNU

November 25, 2025
KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya)

Pospes Lirboyo Respon Rencana Gus Yahya untuk Islah PBNU

November 25, 2025
NU, Organisasi dan Arogansi

NU, Organisasi dan Arogansi

November 25, 2025
Ketum PBNU Gus Yahya dan Rais Aam PBNU KH Miftachul Achyar (Instagram/@yahyacholilstaquf)

Minimnya Kehadiran Ulama dan PWNU, Kiai Imjaz: Indikasi Serius Lemahnya Dukungan Kultural dan Struktural Terhadap Kepemimpinan Gus Yahya

November 25, 2025
Foto: Ilustrasi

Menyederhanakan NU

November 25, 2025
  • Iklan
  • Kontak
  • Legalitas
  • Media Sembilan Nusantara
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Tentang
Tuesday, November 25, 2025
  • Login
Liputan9 Sembilan
  • Home
  • Berita
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Artikel
    • Opini
    • Resensi
    • Download
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Karir
    • UMKM
    • Wisata-Travel
    • Lowongan Kerja
  • Politik
    • Pilkada
    • Pilpres
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Dunia Islam
    • Al-Qur’an
    • Ngaji Kitab
    • Muallaf
    • Khutbah
    • Tanya-Jawab
    • Ramadan
    • Filantropi
    • Seputar Haji
    • Amaliah NU
    • Tasawuf
    • Syiar Islam
  • Lainnya
    • Agenda
    • Sejarah
    • Buku
    • Pendidikan
    • Seni Budaya
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Artikel
    • Opini
    • Resensi
    • Download
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Karir
    • UMKM
    • Wisata-Travel
    • Lowongan Kerja
  • Politik
    • Pilkada
    • Pilpres
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Dunia Islam
    • Al-Qur’an
    • Ngaji Kitab
    • Muallaf
    • Khutbah
    • Tanya-Jawab
    • Ramadan
    • Filantropi
    • Seputar Haji
    • Amaliah NU
    • Tasawuf
    • Syiar Islam
  • Lainnya
    • Agenda
    • Sejarah
    • Buku
    • Pendidikan
    • Seni Budaya
No Result
View All Result
Liputan9 Sembilan
No Result
View All Result
Home Artikel Opini

Paradoks Kritik Teologis A. A. Navis (Bagian Kedua)

Oleh: Sulaiman Djaya

liputan9news by liputan9news
September 30, 2025
in Opini
A A
0
Sulaiman Djaya

Sulaiman Djaya, Ketua Bidang Perfilman Majelis Kebudayaan Banten

495
SHARES
1.4k
VIEWS

BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Ciri dan karakteristik intelektual modernis Barat cerpen Robohnya Surau Kami diantaranya penggambaran dan pengumpamaannya atas dan tentang Tuhan yang antropomorfis yang asing dan tidak dikenal dalam khazanah Islam, kecuali di kalangan kaum Wahabi yang mempercayai Tuhan bertempat di tempat tertentu. Cerpen itu menggambarkan Tuhan seumpama boss atau presiden atau ‘penguasa’ manusia dalam konteks dan latar sekular hingga menggambarkan ‘akhirat’ yang seakan bisa dikhayalkan sebagai yang konkrit dan nyata. Cerpen itu sepenuhnya berisi semangat dan paradigma Barat yang materialis dalam memandang konsep dunia dan akhirat, yang acapkali dikonfrontasikan sedemikian rupa, dan tentu saja terhadap agama itu sendiri secara umum, terutama kaum sekuler dan ateis yang memang tidak mempercayai adanya akhirat.

Semangat dan paradigma modernis Barat yang terasa kuat dalam cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dan aneh dalam sejarah dan khazanah sastra modern Indonesia, mengingat sastra modern Indonesia itu sendiri adalah sastra Barat (Eropa) yang salah-satunya diperkenalkan oleh dan lewat kolonialisasi Belanda. Dengan harus menerima kenyataan pahit, sastra modern Indonesia adalah sastra pinggiran, belum mendapatkan ‘banyak pembaca’ dunia ketimbang sastra modern dan mutakhir Barat. Sastra Indonesia sebelum kolonialisasi Belanda adalah serat, kakawin, pantun, hikayat, seloka, mantra, geguritan, legenda, mitos, epos, dongeng, tambo, gurindam, macapat, karungut, mamanda, cerita rakyat dan yang sejenis itu semua yang bervariasi dan tersebar dalam ragam etnis-masyarakat Indonesia. Bentuk dan gaya puisi dan prosa sastra modern Indonesia diadopsi dari bentuk dan gaya Eropa (Barat), yang salah-satunya diperkenalkan Belanda lewat penerjemahan karya-karya prosa Eropa seperti novel Robinson Crusoe yang memang menggambarkan dan merepresentasikan citra dan identitas sang kolonial (penjajah) dan yang dikolonisasi (dijajah). Meski kemudian tema, isu dan warna sastra modern Indonesia berkenaan dengan lokalitas Indonesia, semisal masalah-masalah adat dan tradisi serta konflik antara yang tradisional dan yang modern dalam novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka.

Penggambaran Tuhan secara antropomorfis dalam cerpen Robohnya Surau Kami justru sesungguhnya membenarkan pandangan Feuerbach bahwa Tuhan adalah hasil ciptaan imajinasi dan khayali manusia. Penggambaran Tuhan secara antropomorfis juga berakar kuat dalam religi dan budaya politeis Barat (Yunani-Romawi) sebelum Kristen masuk ke benua Eropa. Dalam Islam, yang memiliki gambaran antropomorfis atas dan tentang Tuhan adalah kaum Wahabi, yang konon dulu mempeangaruhi pandangan keagamaan kaum paderi di Sumatara Barat, yang memberontak terhadap hukum adat dan memerangi kaum sufi di sana, meski masih diperdebatkan hingga saat ini terkait kecenderungan aliran teologis kaum paderi di Sumatera Barat itu.

Cerpen Robohnya Surau Kami mengadopsi perspektif Marxist ketika memandang kepercayaan dan praktik keagamaan dalam masyarakat. Kakek penjaga surau (garin) dalam cerpen itu sesungguhnya digambarkan sebagai orang yang menjadikan kehidupan keagamaannya sebagai pelarian dari realitas sosial dan nasibnya, sebagai orang yang mengalami alienasi atau keterasingan dalam hidupnya. Sebagai orang yang kalah dan tidak memiliki kapasitas keberdayaan dan kepemilikan rasional serta kapital untuk ikut andil dalam aktivitas ekonomis dan sosial yang dapat membawa keuntungan bagi dirinya dan sumbangsih material serta kesejahteraan sosial-ekonomis bagi masyarakatnya.

BeritaTerkait:

Teater Musikal yang Riang

Senjakala di Kawasan Royal Kota Serang

Pikiran yang Terlambat

Paradoks Kritik Teologis A. A. Navis (Bagian Pertama)

Marxisme sendiri dalam memandang perubahan sosial dan sejarah lebih ditentukan oleh kondisi dan perkembangan material (lazim disebut sebagai materialisme historis), sebagai antitesis atas pandangan filsafat sejarah dan filsafat sosialnya Hegel yang memandang sejarah dan perubahan sosial digerakkan oleh ide (suprastruktur). Marxisme memandang perubahan sosial dan sejarah acapkali digerakkan oleh perkembangan dan kondisi material, semisal revolusi industri yang menjadi gerbang perubahan sosial dan sejarah masyarakat dan dunia modern.

Cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya juga bisa ditafsirkan sebagai gambaran konflik antara kaum adat dan kaum agamawan yang masing-masing diwakili Ajo Sidi dan kakek penjaga surau (garin) sekaligus upaya Ajo Sidi menghantam dominasi kaum agamawan yang menurut Ajo Sidi bersifat dan bersikap ‘malas’ dan bisa makan dengan bermalas-malasan tidak bekerja. Bagi kelompok Ajo Sidi, pandangan dan cara hidup serta praktik keagamaan kelompok kakek penjaga surau (garin) itulah salah-satu akar dan penyebab kemiskinan dan ketidak-maju-an masyarakat dan bangsa. Salah-satu wujud keterbelakangan akal dan mental yang merupakan salah-satu faktor yang menyumbang bagi terciptanya kondisi kemandegan masyarakat dan bangsa.

Cerpen itu adalah contoh ketika seorang sastrawan ‘menempatkan dirinya’ sebagai pemikir keagamaan, minimal mengkritik pandangan dan praktik keagamaan yang menurutnya keliru dan tidak produktif. Suatu pandangan dan keprihatinan yang pada dasarnya mencerminkan kegelisahan warga Negara di sebuah Negara yang pernah mengalami kolonialisasi dan mendapatkan diri dan negaranya belum juga mengalami kemajuan (secara material) seperti Negara penjajahnya (Eropa). Dan diantara kecurigaannya adalah ketika ia melihat diantara faktor yang menghambat kemajuan dan melanggengkan keterbelakangan dan kemiskinan itu adalah pandangan dan praktik keagamaan keliru yang tidak produktif dan justru sebenarnya bertentangan dengan spirit dan nilai Islam, agama yang dianut pengarang cerpen itu dan masyarakat yang dikritiknya.

Secara implisit, konfrontasi antara Ajo Sidi dan kakek penjaga surau (Haji Saleh) sangat mirip dengan konfrontasi antara kaum adat dan kaum padri pada abad 19 di Minangkabau. Yang barangkali saja sesungguhnya konflik seperti itu masih terjadi saat ini. Namun yang menarik dari cerita pendek itu adalah perspektif atau sudut pandangnya dalam ‘menilai’ kaum agamawan yang diharapkan menjadi praktisi perubahan dan kemajuan sosial-kemasyarakatan secara material, dan tidak melihatnya sebagai mereka yang memang ‘hanya dikhususkan’ menjalankan fungsi kerohanian atau keagamaan dan pendidikan, sebagaimana orang-orang seperti itu di Saudi Arabia menduduki posisi yang digaji pihak kerajaan Saudi Arabia, semisal para imam besar masjid di sana, untuk menjalankan fungsi dan peran mereka yang memang khusus dalam ritual keagamaan.

Sejumlah prosa Ali Akbar Navis memang mengkritik kepercayaan dan praktik-praktik keagamaan masyarakat yang ‘mematikan’ reasionalitas dan kreatifitas. Sebagai contoh ia mengkritik kebiasaan masyarakat yang melakukan ritus untuk mengatasi masalah yang sebenarnya harus dipecahkan dengan ilmu dan sains, semisal untuk mengatasi masalah kekeringan lahan pertanian, bukan dengan kebiasaan yang mengekalkan keterjerembaban dalam kemalasan dengan kebiasaan ritual yang kontraproduktif. Meski demikian, penting untuk dicermati, adakah kritik yang mengandung muatan teologis itu proporsional dan adil? Apakah tendensi untuk mengkritik praktik-praktik keagamaan dan kepercayaan masyarakat di Indonesia itu hanya sinisme subjektif ataukah memang rasional-objektif?

Ajo Sidi dan kakek penjaga surau atau garin yang di akhirat bernama Haji Saleh itu sesungguhnya memang kiasan dua kutub ekstrim: ekstrim sekuler (yang mengukur keberhasilan hidup dengan pencapaian dan kemajuan material) dan ekstrim teologis (yang menganggap pencapaian dan kemajuan duniawi tidak penting ketimbang mendapat surga di akhirat). Kedua kutub tersebut memang sama-sama tidak proporsional bila diukur dari nilai dan spirit Islam yang memandang penting dunia dan akhirat sebagai satu kesatuan. Dunia ini adalah ladang kita bekerja untuk mendapatkan bekal menuju akhirat. Bahwa kesalehan personal dan individual ritualistik ternyata juga tidak sempurna menurut Islam bila tidak diimbangi dengan kesalehan sosial kita dalam hidup keseharian. Cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya dapat dibaca dan ditafsirkan sebagai kritik kepada kedua kutub ekstrim tersebut secara bersamaan. Cerpen itu mengandung surplus meaning, bila meminjam istilahnya Paul Ricoeur.

Meski demikian, kita pun patut mengajukan pertanyaan: Benarkah kepercayaan keagamaan dan praktik hidup kakek penjaga surau dalam cerpen Robohnya Surau Kami yang tidak beristri (tidak menikah) itu merupakan ‘penyebab’ keterbelakangan bangsa dan masyarakat? Sebab ia sebenarnya, selagi orang-orang seperti itu bisa dihitung dengan jari, hanya akan merugikan diri mereka sendiri, ketimbang praktik korupsi yang terjadi di banyak lembaga dan tingkatan pemerintahan, misalnya –para elit yang secara tersirat disindir sangat keras juga dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Buruknya sistem birokrasi bahkan tidak kalah merugikan dan menghambat kerja pembangunan dan kemajuan bangsa dan masyarakat. Kita acapkali juga menuduh praktik dan kepercayaan keagamaan sebagai penghambat kemajuan dan ketercerahan masyarakat, tapi kemudian melupakan birokrasi yang tidak efisien, boros serta korupsi yang terjadi di banyak instansi birokrasi hingga korporasi, yang terbukti nyata menghambat kemajuan ketika dana-dana untuk pembangunan infrastruktur publik dan pendidikan, sebagai contoh, diambil untuk memenuhi kerakusan personal para petinggi dan pemegang kebijakan.

Kita pun acapkali mengkritik ekstrimitas yang kita kritik dengan berperilaku dan bersikap ekstrim pula. Apakah Ajo Sidi sesungguhnya sedang menyembunyikan ‘kebejatannya’ sendiri ketika menuduh dan mem-partisi si kakek penjaga surau sebagai biang keterbelakangan dan calon penghuni neraka? Apakah memang kepercayaan dan praktik keagamaan bisa diukur dan ditimbang dengan kalkulasi untung-rugi ala pedagang? Apakah si kakek penjaga surau yang hidup bersahaja dan tidak melakukan korupsi dana publik itu layak mendapat tuduhan sebagai sikap dan praktik hidup yang menghambat kemajuan bangsa dan masyarakat?

Dari cerpen Robohnya Surau Kami, kita bisa menerka sentimen teologis A.A. Navis tak jauh berbeda dengan pengarang novel Atheis yang memiliki sinisme terhadap mistik dan kehidupan kerohanian yang menyendiri atau mengasingkan diri dari masyarakat dan kerja praktis ekonomis sehari-hari . Meskipun demikian, zuhud yang dianjurkan Islam tak berarti harus mengabaikan peran konstitutif dan kontributif kita kepada masyarakat. Sebab figur zuhud utama, yaitu Muhammad saw, adalah tokoh panutan yang hidup bersama dan membangun masyarakat, bukan teladan yang mengasingkan diri dari masyarakat demi asyik-masyuk dalam esktasi personal-individual sebagaimana Al-Hallaj, tokoh ‘sufi’ yang dikritik Ali Syariati dan Mohammad Iqbal itu, karena dianggap tak memberikan kontribusi sebagaimana yang dibayangkan Ali Akbar Navis dan Achdiat Karta Mihardja bagi bangsa dan masyarakat.

Catatan Penutup

Prosa Ali Akbar Navis memang berciri dan bermuatan ironis dan ejekan, dan karenanya dengan sendirinya tidak mungkin untuk menghindari sikap dan laku ‘menghakimi’ yang dikritik dan diejeknya. Suara narator sebagai pengarang terdengar lantang dan jelas dalam prosa Ali Akbar Navis, sehingga ketika membaca prosanya, kita seakan tengah mendengarkan dan menyimak tukang cerita atau pendongeng yang berkisah langsung kepada siapa saja yang menyimak dan mendengarkannya. Bukannya narasi cerita itu sendiri yang bertutur dan berkisah.

Satir teologis cerpen Robohnya Surau Kami-nya Ali Akbar Navis tidak jauh berbeda dengan novel Atheis-nya Achdiat K. Mihardja. Sangat mungkin penulis cerpen Robohnya Surau Kami mendapatkan endapan pengaruh Atheis-nya Achdiat K. Mihardja. Dengan demikian, cerpen itu merupakan kesinambungan dari prosa-prosa sebelumnya yang juga mengangkat masalah-masalah dan isu-isu keagamaan dalam keberhadapannya dengan modernitas yang melahirkan konflik rasa dan pikiran dalam masyarakat, di mana pengarang atau pun sastrawan merupakan bagian dari masyarakat yang bersangkutan. Cerpen Robohnya Surau Kami dan novel Atheis sama-sama mengejek dan menyindir tokoh utama: si kakek penjaga surau dalam cerpen Robohnya Surau Kami dan Hasan dalam novel Atheis, si penganut tarekat yang mengalami kegoncangan iman ketika berjumpa dan bertukar-pengetahuan seputar agama dan marxisme dengan kawannya bernama Rusli.

Pilihan kakek penjaga surau (garin) dalam cerita pendek Robohnya Surau Kami-nya Ali Akbar Navis untuk menjadi penjaga dan hidup di surau bisa jadi karena keadaan (keterbatasan-kemiskinan) dan ketidakadilan struktural-ekonomis yang terjadi dalam masyarakat yang pada akhirnya ‘memiskinkan’ secara material kepada individu-individu dalam masyarakat. Kakek penjaga surau (garin) dengan demikian bisa juga dibaca sebagai korban ketidak-adilan dan kemiskinan struktural-ekonomis, yang diantaranya adalah karena faktor politik pula, yang artinya kakek penjaga surau dapat dibaca sebagai ‘korban’ dari dampak keadaan ekonomis-politik Negara terhadap masyarakat.

Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan

Tags: AA NavisAli Akbar NavisKritik TeologisParadoksSulaiman DjayaTeologis
Share198Tweet124SendShare
liputan9news

liputan9news

Media Sembilan Nusantara Portal berita online yang religius, aktual, akurat, jujur, seimbang dan terpercaya

BeritaTerkait

Teater Musikal yang Riang
Opini

Teater Musikal yang Riang

by liputan9news
November 22, 2025
0

BANTEN | LIPUTAN9NEWS Setelah sekian lama tak berproduksi, Teater Studio Indonesia (TSI) akhirnya kembali menampilkan garapannya pada 20 November 2025...

Read more
Senjakala di Kawasan Royal Kota Serang

Senjakala di Kawasan Royal Kota Serang

November 7, 2025
Sulaiman-Djaya

Pikiran yang Terlambat

October 10, 2025
Sulaiman Djaya

Paradoks Kritik Teologis A. A. Navis (Bagian Pertama)

September 29, 2025
Load More

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Gus Yahya

PBNU Respon Rais Am JATMAN yang telah Demisioner dan Teken Sendirian Surat Perpanjangan Kepengurusan

November 26, 2024
Akhmad Said Asrori

Bentuk Badan Hukum Sendiri, PBNU: JATMAN Ingin Keluar Sebagai Banom NU

December 26, 2024
Jatman

Jatman Dibekukan Forum Mursyidin Indonesia (FMI) Dorong PBNU Segera Gelar Muktamar

November 22, 2024
Al-Qur’an Surat Yasih Arab-Latin dan Terjemahnya

Al-Qur’an Surat Yasih Arab-Latin dan Terjemahnya

2472
KBRI Tunis Gelar Forum Peningkatan Ekspor dan Investasi di Sousse, Tunisia

KBRI Tunis Gelar Forum Peningkatan Ekspor dan Investasi di Sousse, Tunisia

757
KA Turangga vs KA Commuter Line Bandung Raya Tabrakan, Apa Penyebabnya?

KA Turangga vs KA Commuter Line Bandung Raya Tabrakan, Apa Penyebabnya?

141
Zakky Mubarok

Yang Diridhai dan Yang Dimurkai Oleh Allah Swt

November 25, 2025
BEM PTNU

FMN Yogyakarta Nyatakan Dukungan Penuh Atas Keputusan Syuriyah PBNU Terkait Permintaan Pengunduran Diri Gus Yahya

November 25, 2025
98 Resolution Network Gelar Aksi Bagikan 1000 Sembako #WargaPeduliWarga Jilid 9

98 Resolution Network Gelar Aksi Bagikan 1000 Sembako #WargaPeduliWarga Jilid 9

November 25, 2025
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
  • Media Sembilan Nusantara

Copyright © 2024 Liputan9news.

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Artikel
    • Opini
    • Resensi
    • Download
  • Ekonomi
    • Wisata-Travel
    • Bisnis
    • Karir
    • UMKM
    • Lowongan Kerja
  • Politik
    • Pilkada
    • Pilpres
  • Kesehatan
  • Dunia Islam
    • Filantropi
    • Amaliah NU
    • Al-Qur’an
    • Tasawuf
    • Muallaf
    • Sejarah
    • Ngaji Kitab
    • Khutbah
    • Tanya-Jawab
    • Ramadan
    • Seputar Haji
    • Syiar Islam
  • Lainnya
    • Agenda
    • Pendidikan
    • Sejarah
    • Buku
    • Tokoh
    • Seni Budaya

Copyright © 2024 Liputan9news.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In