KOTA BOGOR | LIPUTAN9NEWS
Kasus Trans7 membuat kita tahu siapa yang paling semangat membangun opini negatif tentang pesantren, kyai dan NU. Mari kita lihat beberapa hal diantaranya:
Feodalisme pesantren menjadi salah satu senjata yang dipakai untuk menyerang kyai dan pesantren dan tentu pesantren NU. Tapi sayang, mereka tidak paham filosofi Feodalisme. Untungnya saya alumni jurusan Filsafat yang sejak semester satu sudah dikenalkan dengan “isme” ini. Saya ajarkan mereka rumus feodalisme secara sederhana ya.
Feodalisme berangkat dari sebuah hirarki masyarakat berdasar strata sosial. Terutama kekuasaan yang berbasis kepemilikan akan akses sebuah aset. Yang dominan seperti kepemilikan tanah (tuan tanah) sebagai piramida atas, dengan rakyat jelata, pekerja tanah sebagai piramida dibawahnya. Puncak piramida ditempati raja yang sudah pasti berkolaborasi dengan tuan tanah.
Atau juga kelas pekerja dengan kelas pemilik modal yang dalam istilah Maxisme dikenal kelas Borjuis vs Kaum Proletar.
Dari spektrum ini, terjadi sentralisasi kekuasaan ditangan seorang raja yang kemudian terdesentralisasi kepada tuan tanah dan pemilik modal. Darisini lahir relasi kepemilikan. Atau dalam bahasa filsafat eksistensialisme adalah relasi I – it (aku – itu/benda). Bukan relasi I – You (aku – kau). Konsekwensinya apa? Tuan tanah, pemilik modal memposisikan bawahannya layaknya benda, robot, barang miliknya yang harus sami’na wa atho’na tanpa reserve. Sampe disini paham ya apa itu ideologi Feodalisme, toh saya sudah berusaha cari bahasa tersimpel agar mudah dipahami.
Bagaimana relasi dunia pesantren dibangun? Ini yang tidak banyak dipahami oleh kaum sumpek (sumbu pendek) baik yang berlatar belakang kaum wahabi-salafi, oknum Wahabi yang menyusup ke Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad dan lain-lain, juga kaum tahriri eks hisbut Tahrir, maupun kaum yamani eks FPI.
Juga tidak dipahami oleh para Islam abangan yang tidak mengenal Islam secara utuh kecuali lewat potongan-potongan YouTube, Tiktok, syech Gugel, ustadz Yaho, ajengan IA dan sejenisnya.
Mereka-mereka yang rame memojokkan pesantren dengan kalimat; “giliran dibuka fakta sewot” dan kata-kata tak beradab lainnya.
Mari saya jelaskan pelan-pelan dan saya coba pakai bahasa yang sederhana biar paham.
Apakah santri, walisantri, keluarga besar pesantren harus menghormati kyai? Ya, itu sebuah keniscayaan jika kita mau betul-betul orang yang beragama Islam. Kenapa? Karena itu ajaran Islam.
Jadi begini yo bolo!!! Kyai itu dihormati paling tidak karena dua aspek yang melekat dalam diri beliau. Pertama, statusnya sebagai ulama. Karena ulama adalah pewaris para Nabi dan Rosul. Dalilnya : “Al Ulama warotsatul anbiya’.” Sebagai pewaris para Nabi yang melanjutkan misi profetik (misi suci) wajib hukumnya kita hormati. Karena hanya Fir’aun, Namrudz, Abu Lahab, Abu Jahal dan sejenisnya yang kurang ajar terhadap para Nabi. Ingat itu bolo. Tapi sejarah mencatat, kaum hawariyyun, kaum Anshor, kaum Muhajirin, kaum Thalut dan lain-lain mulia dihadapan Allah karena kecintaan dan adab mereka dihadapan para Nabinya.
Bahkan kaum Muhajirin dan Anshor tidak berani mengangkat kepala dihadapan Rosul laksana ada burung yang hinggap diatasnya ketika berada di majlis, Itu karena adab.
Bahkan ada hadits yang ekstrem kalau kita bicara adab. Hadits ‘Abd al-Qays
عَنْ زِرَاعِ بْنِ عَامِرٍ، وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ، قَالَ: فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ ﷺ وَرِجْلَهُ.
“Kami segera turun dari tunggangan kami, lalu kami mencium tangan dan kaki Nabi” (Sunan Abī Dāwūd, Kitāb al-Adab, no. 5223; al-Adab al-Mufrad al-Bukhārī, no. 975.) Dinilai ṣaḥīḥ oleh Ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī dalam Fatḥ al-Bārī (11/57).
Hadis Ṣafwān bin ʿAssāl
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ الْمُرَادِيِّ، قَالَ: فَقَبَّلَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ، وَقَالَا: نَشْهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.
“Keduanya (dua orang Yahudi) mencium tangan dan kaki Rasulullah, lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau adalah seorang nabi.” ( Sunan at-Tirmiḏī, no. 3144; Sunan Abī Dāwūd, no. 3641.) At-Tirmiḏī menilai hadis ini ḥasan ṣaḥīḥ.
Makanya, baca hadits jangan sepihak. Baca hadits yang beragam kemudian kaji dan analisa takhrijnya.
Inilah contoh adab yang paripurna dari seseorang kepada panutan yang sangat dicintainya.
Maka, cium tangan bolak balik dari santri ke kyai, membungkuk dihadapannya, atau ngesot (pinjam bahasa nyinyiran kaum sumpek) harus dilihat dari kacamata relasi adab santri dengan kyai, ulama, dimana ulama adalah pewaris para Nabi yang harus kita hormati. Jelas ini bukan feodalisme.
Tentu tidak semua orang kita sebut ulama dan berhak menyandang status pewaris para Nabi. Ulama itu ya roshikhuna fil ilm dan tentu yakhsyallah. Bukan yang hanya modal Gugel, IA, Tiktok YouTube, atau modal sorban dan gamis. Apalagi kalau cuma modal satu hadits tentang bid’ah. Terus diulamakan. Tunggu dulu… Jelas ya boloku.
Yang kedua, kenapa kyai dihormati, ya karena ilmunya. Kyai itu alim dalam urusan ilmu-ilmu agama. Belajar sejak kecil dari semua disiplin ilmu. Berada dilingkungan ilmiah sejak kecil. Maka ilmu yang didapat bukan ilmu dadakan layaknya kontes dangdut di MNCTV, dangdut dadakan alias mufti agama modal syech Gugel dan ustad Tiktok.
Kenapa ilmu yang model ini wajib dihormati? Karena ilmu inilah cahaya ketuhanan. Al Ilmu Nurun wa Nurullah La Yuhda Lil Ashi; dawuh Imam Syafi’i. Ilmu itu cahaya ketuhanan maka menghormati pemangku ilmu ketuhanan hukumnya wajib.
Coba ingat-ingat kembali kisah orang tua umat manusi Nabi Adam. Kenapa Malaikat dan Iblis harus “sujud” kepada Nabi Adam. Karena Nabi Adam mendapatkan transformasi ilmu dari Allah, Tuhan semesta alam. Ketika malaikat masih tanda tanya tentang status Nabi Adam, maka Allah menjawab :” wa ‘allama adamal as’ma-a kullaha ” Allah mengajarkan “asma-asma” yang ada yang tidak diajarkan sebelumnya pada siapapun.
Selanjutnya apa yang terjadi setelah proses transformasi ilmui ini? Malaikat “sujud” patuh kecuali iblis.
Maka yang mempertanyakan penghormatan paripurna para santri kepada kyai yang jelas-jelas mewarisi ilmu-ilmu ketuhanan, jangan-jangan sanadnya musal-musal kepada iblis bukan kepada malaikat.
Sujud dalam konteks ini bukan ibadah sebab ibadah hanya untuk Allah. Dan menunduk, cium tangan bolak balik, ngesot (sekali lagi pinjam istilah kaum sumbu pendek alias kaum sumpek) bukan ibadah. Tapi bentuk penghormatan yang terakulturasi dengan budaya, kearifan lokal.
Mengapa saya katakan terakulturasi dengan budaya dan kearifan lokal? Karena tradisi-tradisi itu bisa kita temui juga dalam adat istiadat Nusantara. Acara adat pernikahan saja ada jalan ngesot, padahal itu adab antar besan, masak adab pada ilmu dan pemangku ilmu diributin. Yuk cerdas dikit, buka wawasan yang holistik, dan perkuat literasi.
KH. Khotimi Bahri, Mudir Idaroh Syu’biyah Jatman Kota Bogor
























