JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) menyatakan dukungannya terhadap usulan Kementerian Sosial Republik Indonesia kepada Dewan Gelar untuk menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada tahun ini.
Gus Fahrur mentakan Indonesia perlu belajar dari masa lalu baik dari kebaikan maupun kekurangannya untuk membangun masa depan yang lebih bijak dan berkeadaban.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghormati jasa para pendahulunya. Kita perlu belajar dari kebaikan masa lalu dan mengambil hikmah dari kekurangannya. Dalam tradisi keilmuan Islam, ada kaidah penting: Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah, menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik,” ujar Gus Fahrur dalam keterangan tertulis, seperti dilasir detikcom, Rabu (05/11/2025).
Gus Fahrur menilai Soeharto berjasa besar dalam stabilitas nasional dan pemabngunan ekonomi. Bahkan, menurut Gus Fahrur, Soeharto pernah membawa Indonesia sebagai macan Asia.
“Pak Harto berjasa besar dalam stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi. Di masa beliau, Indonesia dikenal dunia sebagai salah satu macan ekonomi baru Asia dengan program pembangunan yang terencana dan stabilitas ekonomi serta keamanan yang tinggi,” terangnya.
Selain itu, lanjutnya, Soeharto juga memiliki jasa besar di bidang sosial hingga keagamaan.
“Pak Harto membangun ratusan masjid di seluruh Indonesia tercatat sekitar 999 masjid dibangun atas prakarsa beliau. Beliau juga mendorong kerukunan antarumat beragama dan berperan penting dalam menjaga persatuan nasional pasca pemberontakan G30S/PKI,” ungkapnya.
Sementara itu, Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) merespon Pemerintah RI yang akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Gus Mus menyatakan keberatannya terhadap rencana tersebut.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah, dikutip dari NU Online, Rabu (05/11/2025).
Dalam kesempata tersebut, Gus Mus menceritakan banyak ulama pesantren dan NU diperlakukan tidak adil selama Soeharto berkuasa.
“Banyak kiai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh dipasang banyak dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” cerita Gus Mus.
“Kiai Sahal Mahfudh itu didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah diminta jadi penasehat Golkar Jawa Tengah. Kiai Sahal tidak mau, saya menyaksikan sendiri,” sambungnya.
Gus Mus menjelaskan, banyak ulama dan pejuang bangsa yang memiliki jasa besar, tetapi keluarganya tidak pernah mengusulkan gelar pahlawan untuk mereka. Hal ini dilakukan untuk menjaga keikhlasan amal kebaikan almarhum.
“Banyak kiai yang dulu berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan. Alasannya supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Kalau istilahnya, menghindari riya’,” jelas Rais Aam PBNU 2014-2015 itu.
Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu menilai bahwa orang NU yang setuju Soeharto sebagai pahlawan menunjukkan kurangnya pemahaman sejarah.
“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegas kiai yang menamatkan studinya di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta itu.
Kalimat itu dilontarkan Gus Mus mengingat ada banyak tragedi di masa Orde Baru dengan para kiai, santri, dan warga NU yang menjadi korbannya.
Saat Pemilu 1971, misalnya, terjadi peristiwa tragis di Losarang, Indramayu yang menjadi basis Partai NU. Mereka diintimidasi, diteror, dan diperlakukan secara sadis.
Ensiklopedia NU mencatat peristiwa itu berdasarkan laporan Panda Nababan dalam Harian Sinar Harapan dengan judul Empat Puluh Lima Djam Bersama Orang Kuat NU. Ia datang ke lokasi tragedi bersama KH Yusuf Hasyim dan Zamroni melihat langsung keadaan pascaperistiwa itu.
“Mereka menyaksikan masjid dibakar atau rumah-rumah dihancurkan. Nababan mengatakan warga NU Losarang meninggalkan tiba-tiba rumahnya, karena dirinya menyaksikan di atas meja makan masih ada piring-piring dan cangkir beserta makanan yang membusuk,” demikian termaktub dalam Ensiklopedia NU.
Rencananya, Panda melaporkan peristiwa itu secara berseri. Namun, hal itu tak dapat terwujud karena keburu dihentikan tentara. Ia dibawa ke Markas lntelijen Pertahanan dan Keamanan untuk diinterogasi kedua kalinya setelah diciduk oleh Kodim lndramayu dan disuruh pergi dari Kota Mangga itu.
Selain Tragedi Losarang, ada juga peristiwa pembunuhan Kiai Hasan Basri di Brebes, Jawa Tengah pada tahun 1977. Secara kronologis, Harian Pelita mencatat bahwa rumah tokoh itu digedor-gedor pintunya. Lalu, ia dan anaknya dipukuli.
“Pemuatan kronologi ini bertujuan menolak pernyataan pemerintah bahwa Kiai Hasan Basri tewas menjatuhkan diri ke sumur. Berita ini disandingkan di bawah foto Soeharto yang sedang duduk, sambil senyam-senyum, saat berbicara dengan Duta Besar Brasil, Leonardo Elulio, yang pamitan dari Indonesia,” demikian tercatat dalam artikel NU Online berjudul Tragedi Pemilu 1977.
Ada juga peristiwa pembakaran 140 rumah di Asembagus, Situbondo, Jawa Timur yang terjadi jelang Pemilu 1977. Para kiai dan penduduk setempat juga diintimidasi Orde Baru. Foto-foto rumah yang dibakar itu dimuat dalam harian Pelita edisi 8 Mei 1977.
Di samping itu, Muktamar Ke-29 NU di Cipasung tahun 1994 juga menjadi peristiwa mencekam bagi Nahdliyin. Pasalnya, bukan sekadar karena penjegalan Gus Dur dari pencalonan, tetapi upaya Orde Baru untuk mengkooptasi NU melalui pencalonan Abu Hasan yang disebutkan Choirul Anam dalam buku Konflik Elit PBNU Seputar Muktamar (2010), telah banyak melakukan pembagian bantuan terhadap kiai dan pesantren.
Hal itu cukup mendulang dukungan sehingga ia mendapat 142 suara, meski kalah dari Gus Dur. Ia enggan mengakui kekalahan itu hingga menggugat ke pengadilan, sesuatu yang sangat asing dan sangsi bagi Nahdliyin.
Tidak berhenti di situ, pada 1996, Orde Baru melalui Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie juga meminta Gus Dur untuk mundur dari kursinya sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
“Oh… ya, benar. Kalau Anda ingin lebih jelas, tanya saja Pak Tjip (maksudnya Soetjipto Wirosardjono). Kebetulan hari itu dia ikut saya ke DPR. Kalian bisa langsung nanya dia,” kata Habibie sebagaimana dikutip Anam dalam bukunya yang sama dari Jawa Pos edisi 31 Januari 1996.
Soetjipto mengaku bahwa memang ia meminta Gus Dur untuk mundur dari jabatan tersebut ‘demi kepentingan NU’. Ditanya perihal frasa terakhir itu, Soetjipto menjawab, “Anda bisa membayangkan sendiri bahwa saat ini betapa sulitnya komunikasi antara NU dan pemerintah,” katanya yang langsung disela Habibie.
Meski mengaku permintaan itu tidak terkait Abu Hasan, tetapi Konbes KPPNU, kepengurusan NU tandingan, yang diusung Abu Hasan sebagai tandingan itu mengubah menjadi Muktamar Luar Biasa (MLB). Hal ini mengingat Gus Dur menyampaikan bahwa ia bisa mundur secara konstitusional melalui mekanisme MLB itu.
























