JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Pada 2015, ketika diundang di Cirebon untuk sebuah acara, saya berbicara bersama seorang kiai ternama di wilayah itu. Sang Kiai bercerita ketangguhan NU sebagai organisasi, meski ingin “dimatikan” secara gerakan selama Orde Soeharto, khususnya masa pertengahan dan akhir rezim. Menurut dia, kunci kekuatan NU pada saat itu adalah bersatunya generasi muda dan kiai-kiai sepuh dalam melihat arah masa depan masyarakat pesantren, dengan mengambil dan bertahan di basis-basis pesantren meski dipukul habis-habisan.
Persatuan kiai-kiai sepuh dan generasi muda memang “ada nuansanya” atau dinamikanya. Mereka disatukan oleh satu jangkar mental Aswaja an-Nahdliyah dan rasa ditindas oleh rezim Orde Baru. Penindasan rezim Orde Baru, tidak dalam pengertian hubungan orang per orang dengan kekuasaan, tetapi secara kolektif, yaitu kepada NU saat dipimpin KH Achmad Shiddiq, KH Ali Maksum, KH Ilyas Ruhiat, Gus Dur, Fahmi D Saifuddin, dan lain-lain.
Padahal, menurut Sang Kiai tadi, NU adalah “jangkar kebudayaan perekat” di dalam tubuh bangsa Indonesia. Bukan hanya karena ikut merumuskan Pancasila tahun 1945 dan motor kembali ke UUD 45 dengan dijiwai oleh Piagam Jakarta. Lebih dari itu, nilai-nilai mental NU hubungannya dengan bangsa dan masyarakat Indonesia, merupakan “kimia sosial” yang menyangga “kesadaran persatuan” bangsa Indonesia. Kekuatan NU menurut Sang Kiai, karena dalam dirinya ada mentalitas al-aman qablal iman wa ba’dal iman di tengah munculnya gerakan-gerakan berbasis agama yang menawarkan jalan polarisasi keindonesiaan.
Akan tetapi, justru kenyataannya NU ditindas rezim Soeharto, apa soalnya?
Awal pendirian Orde Baru, NU terlibat dalam proses transisi dari rezim lama. Akan tetapi, sejak Pemilu 1971, ketika NU masih jadi partai politik dan kemudian bergabung dengan PPP -sebagai format yang dikehendaki rezim-, luka-luka yang dialami sebagian kiai di tingkat bawah, tidak sedikit. Khususnya ketika berhubungan dengan pemilu, pada tahun 1971, NU banyak mengalami kepedihan, teror, dan target operasi.
Dalam format politik, NU menjadi target depolitisasi, agar kekuatan politiknya mengecil, sementara tokoh-tokohnya banyak diintimidasi. Banyak kajian yang sudah menjelaskan soal ini, menegaskan keinginan rezim untuk memusatkan kekuasaan pada satu partai tunggal masa itu, yang berpusat pada unsur militer dan birokrasi, di bawah payung Golkar.
Tokoh NU dari Garut, Usep Romli HM dalam tulisan Teror Orba di Pemilu 1971 (NU Online, 31 Maret 2014), menyebut: “Banyak santri dan kiai pendukung NU ditangkap, dianiaya, bahkan dibunuh.” Benturan di kampanye dan wacana pembangunan, digunakan untuk mengerdilkan wacana parpol yang berjuang untuk Pemilu 1971, dan dioposisikan dengan jargon Demokrasi Pancasila yang diusung rezim. Saat itu belum ada pemilu yang dihubungkan dengan bansos-bansos seperti sekarang, tetapi berhubungan dengan ideologi, yang dipenuhi dengan tekanan, ancaman, dan sebagian kekerasan.
Jangkar ideologi NU yang kokoh saat itu disangga para ulama yang karismatik dan tokoh-tokoh potensial. Mereka dianggap bisa mendongkrak suara NU di basis-basis Islam, yang sangat dikhawatirkan rezim. Oleh karena itulah, NU dan partai-partai lain, khususnya dari basis Soekarnois dan berbasis Islam disesar. Kemudian format politik nasional dibuat mengambang, tidak sampai ke kelurahan dan kecamatan. Tujuannya untuk memutus mata rantai kiai dan dan tokoh-tokoh karismatis dengan masyarakat bawah.
Rezim Orba juga membentuk organisasi GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pesantren Indonesia), dan keharusan monoloyalitas birokrasi sehingga PNS-PNS yang berasal dari NU mengalami pukulan karier, atau melepaskan identitas ke-NU-annya. Hal ini menjadikan dukungan hanya dan harus diberikan kepada politik rezim Orde Baru. Orang-orang NU yang ada di birokrasi dipaksa oleh sistem untuk memilih, antara setia kepada rezim Soeharto atau kepada NU.
Usep Romli menyebutkan rezim saat itu “menangkap para kiai dan santri, ditahan empat lima hari di kantor Koramil atau Kodim, disodori formulir pernyataan mendukung” (NU Online, 31 Maret 2014). Apa yang dilakukan Rezim Soeharto masa-masa ini juga dilakukan terhadap kalangan Islam yang lain, seperti Syarikat Islam sebagaimana diteliti oleh PUSHAM UII.
Saya mendengar sebagian cerita seperti ini juga dari sebagian sahabat yang ayah-ayah mereka dulunya diperlakukan seperti itu. Di beberapa tempat, seperti di Losarang, Indramayu yang dimenangkan partai NU terjadi “pembakaran kampung oleh aparat karena Partai NU menang 100 persen. Intimidasi oleh pemerintah kepada kaum santri terjadi di hampir seluruh basis Partai NU” (NU Online, 30 September 2023). Pola-pola dan kekerasan Pemilu 1971 telah disebutkan Ken Ward pada bukunya berjudul NU, PNI dan Kekerasan Pemilu 1971 (1972).
Kepemimpinan NU pada tahun 1971-an ke atas dihadapkan pada kenyataan pahit setelah sebelumnya ikut bersama mengeliminasi poros PKI dan perwakilan yang cukup besar di DPRGR-MPRS. Kritik-kritik Subchan ZE sebagai salah satu Ketua PBNU saat itu, dalam berbagai forum dan tulisannya pasca-1971, makin menegaskan ada hal yang “tidak benar” dalam pengelolaan kekuasaan rezim. Hal itu tampak sampai terjadi Malari 1974. Kondisi itu terus terjadi hingga pemusatan kekuasaan untuk mengeliminasi partai-partai. Lalu dibentuklah PPP dan PDI. Subchan ZE sendiri sampai wafatnya dalam kecelakaan di Arab Saudi membawa kritik-kritik itu ke kuburnya.
Penciutan peran partai (termasuk Partai NU) menjadikan keterpurukan NU sebagai partai politik, sampai rezim menginginkan semua partai harus berasaskan Pancasila. Untuk menyiasati ini, NU menerimanya, tetapi tetap menyebut akidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah dalam jam’iyah-nya. NU dipukul dalam peran kepartaiannya, termasuk saat fusi di PPP. Di partai itu, NU “dioperasi” terus-menerus hingga kekuatannya menjadi kecil.
Sebuah orientasi baru melahirkan Nahdlah (kebangkitan) Kedua di kalangan Nahdlatul Ulama, yaitu seruan mengurus umat, syu’un ijitimaiyah, dan masuk ke segala lini tidak bergantung pada politik praktis. Dibendung dalam dunia politik oleh rezim, tokoh-tokoh NU memperkuat diri dengan lahirnya generasi baru di bawah Fahmi D. Saifuddin, Gus Dur dan sahabat-sahabat seangkatannya.
Angkatan mereka itu yang mewakili Nahdlah Kedua di dalam gerakan Nahdlatul Ulama, untuk mendinamisasikan “jangkar kabudayaan pesantren”. Dimulailah gerakan perlawanan terhadap rezim melalui gerakan sosial, memperkokoh kesadaran ilmu sosial dan kemanusiaan, transformasi Islam untuk keadilan masyarakat, dan mendidik kiai-kiai muda untuk berada di jalan kiai rakyat. Angkatan ini menyediakan diri untuk menjadi penggerak dan konsultan bagi pembangunan komunitas-komunitas anak-anak muda di Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Bandung, Kalimantan, dan tempat-tempat lainnya.
Angkatan Nahdhah Kedua NU ini memberi dinamika manifestasi dalam Gerakan NU. Ketokohan Gus Dur mampu mampu membuat jejaring dengan kelompok kelompok lain (membangun Fordem dan berbagai NGO) dan internal NU dengan panduan-landasan Khittah NU. Tugas mereka membuka wawasan, menyediakan kanal-kanal gerakan, menggerakkan dan menyadarkan generasi-generasi pesantren bahwa mereka sendirilah yang harus menjemput masa depannya, bersikap hidup mandiri, dan memiliki kedaulatan ilmu dan pengetahuan, meskipun mereka berasal dari kampung-kampung dan kaum kecil di bawah.
Kekuatan Nahdlah Kedua NU ini, disadari bisa membangunkan masyarakat yang ditindas oleh rezim Soeharto dengan berbagai “pengambangan politik” dan tekanan: dikhawatirkan bisa membuncahkan pembangkangan sosial. Angkatan Nahdlah Kedua NU ini memperkenalkan perlawanan Kedungombo, transformasi Islam, dan membentuk cara berpikir keislaman-kerakyatan-kemanusiaan pada generasi muda.
Maka, generasi Nahdlah Kedua NU di bawah konsolidasi Angkatan Gus Dur, pucuk pimpinan kelas menengah NU masa itu, menjadi ancaman nyata bagi “pengereposan Pancasila” yang dijalankan rezim. Angkatan Nahdlah Kedua NU, menyadarkan “menjaga Pancasila” dari korupsi atas Pancasila yang dilakukan rezim Soeharto dengan jargon Demokrasi Pancasila.
Gangguan rezim terus dilakukan dan puncaknya ada di Muktamar Cipasung (1994) yang digambarkan oleh senior-senior kita saat itu, “banyak anak muda dan kiai-kiai sepuh melelehkan kepedihan”, hingga munculnya tandingan NU berbentuk KPPNU. Peristiwa itu tidak lain memiliki kaitan dengan rezim penguasa. Meski keadaan dan kejadian-kejadian ini di NU telah banyak penelitian dari peneliti luar dan dalam, tetapi ingatan ini telah mulai surat di kalangan anak muda sekarang.
Tumbangnya Orde Soeharto pada Mei 1998, adalah juga bagian dari peran anak-anak muda Nahdliyin di berbagai sektor, yang bekerja sama dengan berbagai komponen bangsa yang menginginkan adanya perubahan, keadilan, dan diperparah oleh geoekonomi internasional: hancurnya nilai tukar rupiah. Tatanan bangsa yang membumikan Pancasila secara demokratis-kerakyatan-kemanusiaan, diinginkan lahir. Mengembalikan Pancasila pada ruhnya untuk mewujudkan tujuan-tujuan penting dalam UUD 45, menjadi dasar bagi munculnya reformasi. Meskipun kini ruh reformasi ini sudah mengeropos, menjadi pasca-Soeharto saja, adalah tantangan kebangsaan yang perlu dijawab oleh generasi saat ini.
Rezim Soeharto akhirnya jatuh, ditinggalkan orang-orang dalamnya, setelah bertahun-tahun digempur oleh masyarakat dan kalangan muda di kampus-kampus, termasuk anak-anak muda NU yang telah diinjeksi oleh gerakan Nahdlah Kedua NU. Setelah selama 32-an tahun berkuasa, dan setelah 1971 terus menerus menindas NU dan masyarakatnya, tatanan rezim Soeharto jatuh.
Soeharto diakui secara formal sebagai pemimpin bangsa Indonesia dengan ordenya yang memusatkan kekuasaan dan monopoli, sebagaimana keharusan dalam Ahlussunah wal Jamaah untuk mengakui pemerintah yang sah. Namun, pemerintahannya dicatat banyak tokoh-tokoh NU sebagai pemimpin yang memiliki cacat dalam praktik-praktik. Bagi pendukungnya yang setia selama 32 tahun, ia adalah emas. Sebagian pendukung yang melihat kerusakannya, ia membelot, memilih diam atau tetap berkecimpung di dalam arus publik. Sementara bagi masyarakat secara umum, dan khususnya NU saat itu, kepemimpinannya dirasakan menindas.
Buktinya adalah penjatuhannya tahun 1998 yang melibatkan banyak masyarakat dan mahasiswa. Pada masa tahun 1997 sebelum jatuhnya rezim Soeharto, bahkan NU merumuskan satu keputusan hukum soal demonstrasi dan unjuk rasa untuk menanggapi situasi: “Demonstrasi dan unjuk rasa yang bermuatan amar maruf nahi munkar untuk mencari kebenaran dan demi tegaknya keadilan itu boleh selama: tidak menimbulkan mafsadah yang lebih besar, sudah tidak ada jalan lain seperti menempuh musyawarah dan lobi, dan apabila ditujukan kepada penguasa pemerintah hanya boleh dilakukan dengan cara ta’rif (penyampaian penjelasan) dan al-wa’zhu-pemberian nasihat (Ahakamul Fuqaha: Solusi…., 2007: 520).
Rumusan hukum yang dikeluarkan NU atas suatu rezim yang zalim disahkan untuk didemo, diunjuk rasa. Hal ini membawa arti bahwa ada keinginan penegakan keadilan dan perbaikan dari perilaku kezaliman-kezaliman rezim Soeharto, sampai batas tertentu, tidak ada jalan lain selain demonstrasi dan unjuk rasa. Oleh karena itu, maka sah dilakukan demonstrasi dan unjuk rasa dengan syarat-syarat. Batas-batasnya yang diberikan termasuk soal menghindari “mafsadah” adalah tanggung jawab agama yang diemban dan disampaikan NU dalam mengelola nilai agama untuk keadilan di ranah publik.
Pada tahun 1997 itu ditambahi lagi keputusan maudhuiyah berjudul “Nasbul Imam dan Demokrasi” menyatakan “negara yang demokratis yang merupakan perwujudan syura dalam Islam menuntut para pemimpinnya bukan saja bersedia untuk dikontrol, tetapi menyadari sepenuhnya bahwa kontrol sosial merupakan kebutuhan kepemimpinan yang memberi kekuatan moral untuk meringankan beban dalam mewujudkan pemerintah yang adil, bersih dan berwibawa” (Ahakamul Fuqaha: Solusi…., 2007: 639)
Dalam praktiknya, banyak anak-anak muda NU terlibat dalam proses gerakan 1998. Mereka juga mendapatkan restu dari guru-gurunya atau setidaknya berkomunikasi dengan mereka. Saya merasakan ini di Yogyakarta, basis ketika saya mendapati masa itu. Hal ini membawa suatu pandangan baru dalam politik, tidak membuta mendukung pemerintah yang sah secara formal, apalagi yang dikenal zalim dan menindas masyarakat.
Dalam pandangan anak-anak muda NU saat itu, pemimpin yang sudah keterlaluan menindas masyarakat dan mengakumulasi kekuatan, atau memonopoli kekuasaan dalam ekonomi-politik, dimaklumi, atau minimal diberi jalan untuk diperbaiki oleh rakyat. Kalau nasihat-nasihat sudah tidak didengarkan dari yang paling minimal sampai yang maksimal, pemimpin zalim boleh dijatuhkan oleh gerakan rakyat.
Realitas yang terjadi saat itu adalah Soeharto diturunkan rakyat. Hal ini juga membawa kesadaran baru pada soal fiqih politik dan kekuasaan, dari khazanah yang telah melekat: untuk “taat kepada penguasa yang sah”. Pandangan ini tidak diubah, tetapi ada nuansanya, ada dinamikanya dalam praktik. Pada saat yang sama, “kimia sosial” di masyarakat berjalan menurut reaksi-penetrasi-aksi hingga berhasil menjatuhkan simbol rezim Soeharto. Rezim yang jatuh dilegitimasi dan disahkan kembali. Ini membawa arti pula, bila ada sebuah gerakan rakyat yang bisa menjatuhkan pemerintah sah secara formal, dan muncul pemerintah baru, ia diakui sah bila tidak ada kekuatan lain yang mendeklarasikan diri dalam kepemimpinan bangsa.
NU dan Nahdliyin telah melewati masa ini dan mengubur masa silam dengan menerima masa yang baru, harapan baru akan ada perbaikan, dan kehendak adanya perubahan-perubahan yang lebih adil di tingkat publik dan kenegaraan. Adanya masa reformasi (terlepas dari situasinya sekarang, bagaimanapun soal penilaiannya), adalah penguburan terhadap tatanan, kebudayaan, dan praktik-praktik kekuasaan lama, dan Soeharto adalah simbol yang demikian, simbol yang dikubur dari semua proses itu.
Soeharto sendiri kemudian dituntut secara hukum dan diduga melakukan korupsi, dengan titik masuk kasus pada 7 yayasan yang didirikannya, tetapi kemudian di SKP3-kan pada Mei 2006 oleh Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, kasusunya dihentikan. Pada Juni 2006 kasus praperadilan Soeharto yang diajukan beberapa organisasi, diputuskan hakim PN Jaksel ang menetapkan tidak sahnya SKP3 menurut hukum. Akan tetapi, Soeharto sendiri meninggal setelah sakit dan tidak diproses secara hukum. Dan, uniknya pada 27 Januari 2008 ketika Soeharto wafat, ia dibacakan tahlil yang dipimpin seorang kiai.
Dalam hal ini, sebagai manusia, orang maaf-memaafkan adalah suatu kebaikan dan bagian nilai Islam dan tarekat yang penting. Akan tetapi, persoalan publik dan birokrasi, hal ini dikelola melalui standar-standar kenegaraan dan nilai-nilai pemerintahan, yang harusnya ada kesinambungan dengan nilai-nilai dasar penegakan negara yang bermartabat berdasarkan Pancasila. Dalam hal inilah, nilai-nilai negara bermartabat hanya akan memberikan sebuah anugerah kepada mereka yang benar-benar berjasa kepada negara, kepada masyarakat, dan rakyat.
Pada hari-hari ini santer Soeharto disandingkan dengan Gus Dur, akan diangkat atau sedang diupayakan sebagai pahlawan nasional. Tokoh NU ada yang terlibat dalam urusan itu.
Itulah kenyataannya, Nahdlah Kedua NU yang dilakukan angkatan Gus Dur, telah berkembang secara lebih jauh, dan kini mulai kehilangan ruh kebangkitan Nahdlah Kedua, sehingga terpolarisasi ke dalam berbagai irisan-irisan kepentingan kekuasaan-partai, partai yang berbeda-beda, strukutural NU dan nonstruktural, di tengah kecambah revolusi digital dan kebebasan media sosial. Sementara pusering jagad yang disebut keadilan terus menerus memerlukan posision NU yang berwibawa dan bermartabat.
Polarisasi-polarisasi di kalangan ini akan terus menerus terjadi, sampai tumbuhnya Nahdlah Ketiga NU. Meski telah muncul lapisan-lapisan profesional, ilmuwan-ilmuwan NU, politisi-politisi NU, dan pemimpin-pemimpin komunitas di tingkat kultural dan struktural NU, tetapi dinamika polarisasi ini muncul dalam isu-isu hubungannya dengan keadilan, kekuasaan politik, kritik terhadap penguasa, Baalawi non-Baalawi, dan lain-lain. Hal ini akan terus berlanjut, bila Nahdliyin tidak memiliki ingatan lama terhadap NU dan menjaga kesinambungannya, dan hanya membawa simbol jabatan NU saja, dan NU tidak memiliki kemandirian ekonomi kebudayaan dan politik.
Kondisi polarisasi ini akan melahirkan Nahdlah Ketiga NU, bila ia direstorasi menjadikan NU berdaulat secara ekonomi, kebudayaan, dan politik. Hari ini belum terjadi: bisa besok, lusa, lusanya lagi, dan seterusnya. Atau NU dan Nahdliyin di komunitas-komunitasnya, hanya akan menjadi proksi kekuatan luar dirinya dan politik kekuasaan, yang terus melemahkan NU, keuntungannya diambil person-person dan klik kecil. Berbangga bahwa NU disangga oleh banyak para auliya, ulama, ilmuwan, dan didirikan oleh orang-orang linuwih, tidaklah cukup. Sebab, Kesultanan Demak, Pajang, dan Mataram, bahkan kekuasaan Baghdad Dinasti Abbasyiyah saja bisa hancur, meski di sana ada para ulama, auliya, dan wali-wali Allah yang banyak.
Kasus Soeharto yang diproses menjadi Pahlawan Nasional yang di dalamnya ada keterlibatan tokoh NU, mengingatkan soal ini, bahwa ingatan masa lalu akan NU dan nasibnya, belum bisa menjadi jangkar kebudayaan sebagian pimpinan jam’iyah. Hal-hal lain tentu saja bisa dikiaskan, dan jumlahnya banyak. Sementara orang-orang bawah NU hanya memerlukan keteladanan para pimpinannya agar ada ketaatan terukur dalam organisasi, sebab dalam hal-hal penguatan ekonomi masyarakat bawah, NU belum dapat melakukannya, kecuali yang menggunakan dan dengan atas nama NU memperoleh jabatan di kementerian-kementerian, dan hanya beredar dari situ ke situ saja.
Keadaan polarisasi internal dan proksi dari luar ini, lagi-lagi menghendaki adanya Nahdlah Ketiga NU: kedaulatan ekonomi, kebudayaan, dan sosial-politik.
Nur Khalik Ridwan, aktif di Syuriyah Ranting NU Sitimulyo, Piyungan, Bantul dan penulis buku-buku tenang sejarah Jawa-Islam
























