JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, setiap pasangan akan menghadapi berbagai ujian dan takdir dari Allah SWT. Salah satunya adalah perpisahan, entah karena kematian atau perceraian. Ketika hal itu terjadi, syariat Islam menetapkan masa iddah bagi seorang wanita dan mengharamkannya menikah di masa tersebut. Lalu, bagaimana jika melamar wanita yang masih menjalani masa iddah?
Dalam kitab Mausu‘atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah dijelaskan secara rinci hukum melamar wanita atau janda yang masih menjalani masa iddah. Penjelasan tersebut mencakup dua hal, yaitu (1) cara menyampaikan lamaran dan (2) jenis iddah yang dijalani. Kedua hal tersebut akan berdampak pada hukum melamar wanita iddah.
Lebih lanjut, para ulama fiqih membagi cara penyampaian lamaran menjadi dua bentuk. Pertama, lamaran secara tashrih atau terang-terangan, yaitu ucapan yang jelas menunjukkan keinginan menikah. Misalnya dengan ungkapan: “aku ingin menikah denganmu”.
التَّصْرِيحُ بِالْخِطْبَةِ: هُوَ مَا يَقْطَعُ بِالرَّغْبَةِ فِي النِّكَاحِ وَلاَ يَحْتَمِل غَيْرَهُ، كَقَوْل الْخَاطِبِ لِلْمُعْتَدَّةِ: أُرِيدُ أَنْ أَتَزَوَّجَكِ، أَوْ: إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُكِ تَزَوَّجْتُكِ
Artinya: “Lamaran secara terang-terangan adalah ucapan yang secara tegas menunjukkan keinginan untuk menikah dan tidak mengandung kemungkinan makna lain, seperti ucapan seorang laki-laki kepada wanita yang sedang menjalani iddah: ‘Aku ingin menikah denganmu,’ atau ‘Jika masa iddahmu telah selesai, aku akan menikahimu.’” (Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait: Dzatus Salasil: 1410 H], cetakan II, juz 19, hlm. 191).
Kedua, lamaran secara ta’ridl atau sindiran, yaitu ucapan halus yang tidak secara langsung menyatakan lamaran, tetapi mengandung makna keinginan menikah. Misalnya dengan mengungkapkan: “banyak lelaki yang berharap mendapatkan wanita sepertimu” atau “aku berharap Allah mempertemukanku dengan wanita sepertimu.”
وَعَرَّفَ الشَّافِعِيَّةُ التَّعْرِيضَ بِالْخِطْبَةِ بِأَنَّهُ: مَا يَحْتَمِل الرَّغْبَةَ فِي النِّكَاحِ وَغَيْرِهَا كَقَوْلِهِ: وَرُبَّ رَاغِبٍ فِيكِ، وَمَنْ يَجِدُ مِثْلَكِ؟
Artinya: “Ulama Syafi‘iyyah mendefinisikan lamaran secara sindiran sebagai ucapan yang masih mengandung kemungkinan makna keinginan menikah atau makna lain, seperti perkataan: ‘banyak orang yang ingin (menikah) denganmu,’ atau ‘siapa yang bisa mendapatkan wanita sepertimu?’” (Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, hlm. 192).
Setelah memahami dua bentuk penyampaian lamaran tersebut, para ulama kemudian menjelaskan hukum melamar wanita yang masih dalam masa iddah berdasarkan jenis iddah yang dijalani, yaitu sebagaimana berikut:
1. Iddah Talak Raj‘i
Wanita yang sedang menjalani masa iddah karena talak raj’i, yaitu talak satu atau talak dua yang masih bisa rujuk tanpa akad nikah baru, hukum melamarnya adalah tidak boleh, baik secara terang-terangan (tashrih) maupun sindiran (ta‘ridl). Alasannya adalah karena suaminya berhak melakukan rujuk kapan saja selama masa iddah wanita tersebut belum berakhir.
2. Iddah Talak Bain Kubra
Wanita yang dicerai tiga kali (talak bain kubra) tidak boleh dilamar secara terang-terangan, namun boleh dengan sindiran. Hal ini karena hubungan pernikahan dengan suaminya benar-benar telah terputus, mantan suaminya pun tidak memiliki hak untuk rujuk. Kecuali jika wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, lalu berpisah secara sah dan alami. Dalam kondisi demikian, mantan suami pertama boleh menikahinya kembali dengan akad baru.
3. Iddah Nikah Faskh
Bagi wanita yang mengalami pembatalan pernikahan (faskh) karena sebab tertentu, seperti murtad, impotensi, atau sebab syar‘i lainnya, hukum lamarannya tergantung pada kondisi pernikahannya. Jika faskh terjadi setelah adanya hubungan suami istri (dukhul), maka wanita tersebut tidak boleh dilamar secara terang-terangan, namun boleh dengan sindiran, karena ia tetap wajib menjalani masa iddah. Sebaliknya, jika faskh itu terjadi sebelum dukhul, maka dia boleh dilamar secara terang-terangan maupun dengan sindiran karena tidak ada masa iddah baginya.
4. Iddah Cerai Mati
Wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya wajib menjalani masa iddah selama 4 bulan 10 hari atau hingga melahirkan jika ia sedang hamil. Selama masa tersebut, wanita ini tidak boleh dilamar secara terang-terangan, namun boleh dengan cara sindiran. Hal ini karena hubungan pernikahan telah berakhir dengan kematian suaminya.
Dengan demikian, semua wanita yang masih menjalani masa iddah tidak boleh dilamar secara terang-terangan (sharih), karena ia masih terikat dengan pernikahan sebelumnya. Adapun lamaran dengan sindiran (ta’ridl) hanya dibolehkan bagi wanita yang tidak lagi dapat dirujuk oleh suaminya, seperti janda karena talak bain kubra, pembatalan nikah (faskh), atau kematian suami. Wallahu a’lam.
























