BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Secara garis besar, skenario Kudeta Bung Karno itu adalah: Pertama, para jenderal pendukung Bung Karno (Ahmad Yani dkk) harus dihabisi. Kedua, kekuatan politik pendukung Bung Karno (PKI, Partindo, PNI dll) harus dihancurkan. Dan ketiga, pengikut dan pendukung Bung Karno harus dipisahkan, dicerai-beraikan, seperti penangkapan para menteri Kabinet Dwikora, termasuk Soebandrio, para anggota MPRS, DPR-GR, DPA dan Front Nasional.
Untuk memungkasi skenario tersebut, dibuatlah drama dan narasi bahwa yang berusaha mengkudeta Bung Karno dan membunuh para jenderal itu adalah PKI. Dengan demikian, Soeharto dkk akan dianggap sebagai hero atau pahlawan ketika menghajar PKI. Padahal pelaku kudeta tersebut adalah militer, –di mana para elit TNI AD yang loyal kepada Soeharto yang kemudian belakangan terungkap, setelah para peneliti sejarah dan para sejarawan meneliti lalu kemudian menuliskannya, entah kemudian dipublikasi dalam bentuk buku atau pun dalam bentuk jurnal dan publikasi lainnya.
Bersamaan dengan itu, kemudian, tersibak pula tragedi pembantaian massal terhadap 3.000.000 (menurut pengakuan Sarwo Edhi sebagai komandan eksekutor lapangan) mereka yang dituduh PKI dan simpatisan PKI, yang menurut pengakuan sejumlah kyai NU yang menyaksikan peristiwa eksekusi-eksekusi terhadap mereka yang dituduh PKI dan simpatisan PKI di masa-masa itu, ternyata tidak semuanya simpatisan PKI.
Skenario untuk meng-kudeta Bung Karno itu disusun Amerika selama bertahun-tahun, sejak Bung Karno berkuasa, sembari terus menunggu perkembangan dan moment yang tepat untuk dijalankan. Amerika bisa terus belajar dari kegagalan pemberontakan terhadap Bung Karno, seperti oleh PRRI-Permesta di Sumatera. Terus menggali informasi dan memantau perkembangan politik dan konflik kekuasaan di dalam negeri Indonesia. Amerika sadar, menggulingkan Bung Karno dengan metode separatisme tidak berguna, dan terbukti tidak berhasil di lapangan.
Bagi Amerika, Bung Karno, Ahmad Yani, dan Soebandrio adalah tritunggal. Intelijen CIA pun rajin memberikan laporan kepada Washington. Amerika menilai Bung Karno yang kerapkali menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, tidak mengijinkan eksploitasi kekayaan sumber daya alam (SDA) Papua, dan sejumlah kebijakan lainnya yang menutup pintu kepentingan ekonomi Amerika, dinilai akan merugikan Amerika secara ekonomi, dan secara politik-ideologi akan merugikan Amerika pula karena dibawah pimpinan Bung Karno, Indonesia akan menjadi Negara sosialis terbesar di Asia Tenggara, dan karenanya akan mempengaruhi kawasan Asia Tenggara, dan akan menjadi penghalang pengaruh ideologi kapitalisme Amerika.
Sangat jelas, di masa-masa itu, untuk menghentikan pengaruh sosialisme di Asia Tenggara, bagi Amerika, adalah dengan melengserkan Bung Karno dari tampuk kekuasaan Indonesia sebagai jantungnya Asia Tenggara. Itulah satu-satunya pilihan politik luar negeri Amerika di masa itu untuk ‘menanggulangi’ dan ‘mengendalikan’ Indonesia agar bisa berada di bawah pengaruh Amerika yang kapitalis, dan bukan berada di bawah pengaruh Uni Soviet atau pun Tiongkok yang sosialis.
Dalam kadar demikian, kita harus membaca Indonesia sebagai korban geopolitik –lepas dari cengkeraman Belanda lalu jatuh ke jebakan Amerika yang tak kalah mengerikan dalam hal menguras dan merampok kekayaan Indonesia, apa yang Bung Karno menyebutnya sebagai ancaman neo-kolonialisme. Bangsa yang masih tertatih setelah lepas dari ancaman dan cengkeraman Belanda kemudian jadi mangsa predator yang lebih kuat, yaitu Amerika.
Kudeta itu berlanjut menjadi tragedi, ketika TNI AD memanfaatkan benih-benih konflik horizontal di masyarakat akar rumput demi kepentingan politis rezim dan kekuasaan yang kemudian dikenal sebagai rezim orde baru, selain TNI AD sendiri yang langsung membantai mereka yang dianggap anggota dan simpatisan PKI, semisal di Purwodadi yang dikenal sebagai salah-satu basis PKI. Pemberantasan (baca: pembantaian) mereka yang dianggap menganut ideologi (paham) sosialisme dan anggota partai komunis itu sendiri sejalan dengan misi dan visi politik luar negeri Amerika yang menganut ideologi kapitalisme, di seluruh dunia, termasuk di Asia Tenggara, yang mana Indonesia merupakan Negara terbesar di kawasan ini.
Satu-satunya presiden Indonesia yang peka dan memahami secara mendalam luka tragedi yang mengerikan ini adalah Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid), budayawan-agamawan yang memang humanis dan berwawasan luas tajam dan mendalam. Sementara presiden Prabowo Subianto justru malah anti-tesis atau lawan dari visi Gus Dur tersebut. Prabowo Subianto malah terlihat jelas ingin memalsukan sejarah Indonesia itu sendiri –mengingkari luka yang mestinya disembuhkan, yang justru dilakukannya malah menambahkan luka tersebut.
Pengabaian Negara atas Tragedi 1965 menunjukkan bahwa bangsa ini sesungguhnya bangsa pengecut, dan menyingkap watak sejati Negara dan para elite-nya yang menganggap tidak ada dan tidak berharganya hidup dan nyawa rakyat, yang justru merupakan inti utama adanya Negara.
Meski demikian, kepengecutan tersebut tidak boleh diwariskan kepada generasi selanjutnya, bahkan generasi saat ini, dan karena itu satu-satunya hal yang paling rasional dan paling mewakili kesejatian kita sebagai generasi muda penentu masa depan bangsa ini adalah melawan dan menolak impunitas –menolak penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhi. Sebab penganugerahan tersebut sama atinya dengan membenarkan pembantaian terhadap rakyat dan warga Negara.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan
























