BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Sejumlah teman dan akademisi berseloroh bahwa NKRI itu akronim dari Negara Kepolisian Republik Indonesia. Seloroh mereka tak sepenuhnya keliru, sebab sejak Jokowi berkuasa, Dwi Fungsi POLRI, sebagai polisi dan pejabat di luar lembaga kepolisian hingga menduduki banyak jabatan penting di korporasi nyata adanya.
Tapi ada juga beberapa teman yang berseloroh bahwa NKRI itu singkatan dari Negara Korporasi Republik Indonesia, bahkan Negara itu sendiri sudah menjelma korporasi swasta. Candaan yang ini juga benar adanya, mengingat telah terjadi banyak kasus kolaborasi (kolusi) antara korporasi (swasta) dengan rezim yang menggusur lahan dan hajat hidup rakyat di tanah air tercinta Indonesia kita, sejak era orde baru hingga saat ini.
Dan lagi-lagi, terlebih dalam tragedi banjir Sumatra, pernyataan meledek itu juga pas adanya. Karena kayu gelondongan yang ada nomornya yang terbawa banjir dan longsor itu tidak mungkin jatuh dari langit. Bukit Barisan yang membentang dari Aceh hingga Sumatra Barat, menurut pakar alam dan ilmuwan, tidak sama dengan pegunungan di Jawa. Di sana butuh resapan air yang lebih luas dan besar bila hujan tidak diinginkan menjadi longsor besar.
Sudah tentu pula, praktik lempar batu sembunyi tangan hingga cuci tangan sudah menjadi tradisi elit Indonesia kita. Di DPR ribut dan ada debat panas. Perwakilan Partai Gerindra menolak apologi Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang ‘membela diri’ bahwa otoritas dan kewenangan politik sepenuhnya ada di tangan presiden. Tidak lupa pula, Kepala BNPB dalam rangka untuk berupaya memberikan alasan untuk tidak adanya status tragedi itu sebagai bencana nasional, menyatakan bahwa tragedi itu hanya mencekam di media sosial saja.
Sontak saja, publik jagat mayantara langsung geram dengan kelakuan para elit kita itu, yang bahkan ada yang sampai berkomentar bahwa mereka tak lebih para pejabat dungu. Dan sepertinya memang, uang korporasi terlalu menggoda untuk diabaikan para elit yang kognisi-nya sudah sangat American Materialism. Kalau kata ustadz, hubbud dunya. Mencintai kemewahan dan kadung nyaman dengan laku hedonisme, rahim subur benih-benih keserakahan.
Beberapa akun di media sosial mengunggah postingan bahwa sangat mungkin tidak ditetapkannya status bencana nasional untuk tragedi banjir Sumatra adalah karena diantara pemilik perkebunan sawit yang semula hutan itu adalah juga Prabowo Subianto. “Kan kalau ditetapkan sebagai bencana nasional, perusahaan bapak presiden juga perlu diselidiki dan diaudit”, demikian salah-satu komentar di jagat mayantara itu, “kalau terbukti bersalah, yah harus menerima konsekuensi dan hukuman dong…”
Membaca ragam postingan dan komentar-komentar di jagat mayantara itu, masyarakat Indonesia, terutama yang memiliki akses informasi dan para pengguna media sosial, sudah tidak bisa dibohongi elit yang suka berkelit dan menggunakan ragam modus dan isu untuk mengelabui. Begitu pula jurnalisme warga terbukti lebih cepat pula menyebarkan informasi ketimbang media.
Jadi di mana pengamalan amanat konstitusi tertinggi republik yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat itu?” Tentu, sudah lama hanya jadi arsip dan artefak belaka, sejak orde baru Soeharto. Elit kita sudah ‘menghamba’ kuasa swasta dan privatisasi, bukan mengabdi kepada konstitusi.
Saat ini, Republik Indonesia sedang tidak berjalan dan beroperasi dalam koridor dan laku daulat rakyat sebagaimana yang dititipkan etos dan spirit revolusi kemerdekaan serta para bapak bangsa, tapi dalam daulat korporasi dan privatisasi swasta. Lebih liberal bahkan diibanding Negara-negara pencetus liberalisme itu sendiri. Jadi, yang mengkhianati cita-cita kemerdekaan dan nilai-nilai serta spirit perjuangan bangsa ini yah para elit republik ini.
Menjelang satu abad usia Indonesia sejak diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Negara dan bangsa yang merdeka, kekayaan yang ada di atas bumi dan di dalam buminya dikuasai korporasi swasta (asing), sejak Soeharto berkuasa. Terpusat di lingkaran kecil elit, yang di era orde baru bahkan berbagi dan berkolaborasi (berkolusi) dengan keluarga penguasa. Paska Soeharto lengser, yang terjadi bukan pergeseran atau keterputusan, tapi keberlanjutan, hingga kini. Singkatnya, siapa pun presidennya, korporasi swasta adalah para dalang di balik layarnya.
Dalam soal konsesi perkebunan sawit, Presiden Soekarno dan Megawati adalah dua presiden Indonesia yang nol konsesi. Gus Dur yang paling sedikit memberikan konsesi, dan yang paling banyak memberikan konsesi adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Memang mengkhawatirkan bila daulat korporasi (swasta dan privatisasi) telah mengambil alih daulat rakyat. Bukan cuma menyalahi dan mengkhianati konstitusi, tapi juga nantinya Negara akan memperlakukan rakyatnya tak lebih sebagai pasar dan konsumen, bukan para peserta dan penyusun kontrak sosial sebagaimana cikal-bakal terbentuknya Negara itu sendiri. Yang lebih mengerikan, Negara bukan tidak mungkin justru akan menjadi monster bagi rakyatnya.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan
Imam Besar Masjid Istiqlal: Tokoh Lintas Agama Jangan Dijadikan Pemadam Kebakaran
























