Religion of Twenty (R20) yang merupakan “pemanasan” dari salah satu rangkaian dari pra Group of Twenty (G20) sekilas memesona. Ada banyak taburan harapan dari pergerakan global untuk menjadikan agama sebagai solusi setiap masalah kemanusiaan, politik, ekonomi, bahkan seni dan kebudayaan. Suksesnya perhelatan R20 di Nusa Dua, Bali, pada 2-3 November 2022 semakin menambah harapan tersebut.
Harapan semacam itu sejatinya semu. Ada panggung belakang (back-stage) yang tidak tampak di panggung depan (front-stage) oleh mata publik, seperti dalam teori dramaturgi dari Erving Goffman (1959). Pagelaran R20 hanya semacam pentas drama yang diaktori para tokoh agama dunia. Tujuannya tidak lain membungkus realitas yang nyata dengan harapan kosong di siang bolong.
Pertama, perlu dicatat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sudah berkomitmen untuk tidak terjun ke dalam arena politik kekuasaan. Prinsip semu itu digaungkan ketika dunia sedang dihantui perang dunia ke-3, yang sudah banyak diramal oleh para pengamat, antara Rusia dan Ukraina. Dengan tidak berpolitik praktis, lantas bagaimana agama bisa dijadikan solusi bagi krisis politik tersebut?
Ada jurang lebar yang menganga antara penyelesaian perang terbuka Rusia versus Ukraina dengan harapan R20 yang diinisiasi oleh PBNU untuk menjadikan agama sebagai solusi problem global. Terkecuali tabir pembatas antara dimensi politik dan dimensi agama tersebut dihapuskan, kemudian rekomendasi-rekomendasi yang akan dibuat oleh R20 menyentuh langsung jantung kebijakan politik. Dengan begitu, menjadikan agama sebagai solusi perang mungkin terbuka lebar.
Namun, sangat nampak keinginan menghapus tabir tersebut tidak pernah dibicarakan di Forum R20 kemarin. Buktinya, sama sekali tidak muncul rekomendasi apapun dari R20 di Bali untuk menghentikan Perang Rusia versus Ukraina. Tidak ada kecaman apapun atas penindasan China terhadap Muslim Uyghur, Myanmar terhadap Muslim Rohingya, Israel terhadap warga Palestina, Swayamsevak Sangh (RSS) atas Muslim India, atau perang saudara di Yaman yang telah berubah menjadi perang proksi.
Tidak adanya rekomendasi perdamaian apapun yang diterbitkan R20 selama meeting di Nusa Dua Bali adalah tanda bahwa perdamaian dunia bukan tujuan utama. Inilah isi panggung belakang mereka yang sesungguhnya, bukan visi ideal kemanusiaan yang digaungkan ke ruang publik. Seandainya perdamaian dunia memang tujuan utama mereka, tentu R20 akan memberikan rekomendasi-rekomendasi strategis terhadap G20 yang menjadi induk semangnya.
Kedua, R20 adalah agenda G20. Secara keorganisasian, G20 adalah induk semang R20. Kita semua tahun, G20 adalah forum ekonomi yang beranggotakan negara dan pemerintah negara-negara maju dan berkembang. Walaupun fokus pada aspek ekonomi, G20 juga pernah fokus pada isu perdamaian, ekstremisme,dan eksklusifisme. Misalnya, G20 tahun 2015 yang digelar di Turki dan tahun 2021 yang digelar di Italia sama-sama membahas isu terorisme dan keamanan nasional.
Namun, G20 kemarin lebih condong membahas pemulihan dampak Covid-19, seperti penguatan arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi (https://kemlu.go.id). Idealnya, R20 mengeluarkan isu-isu yang memperkuat agenda-agenda besar G20, bukan isu kemanusiaan berbasis agama yang tampak tidak relevan dengan proyek negara, dan juga menunjukkan tidak adanya kejujuran dalam perjuangan. Disebut tidak ada kejujuran, karena apa yang diperjuangkan R20 bukan rekomendasi pada G20.
Sebaliknya, bila ada rekomendasi kepada pemerintah-pemerintah G20, maka itu perlu sikap dari PBNU untuk terjun ke politik kekuasaan, yang selama ini ditolak. Paradoks semacam ini hanya bisa dipahami dengan sudut pandang drama di panggung depan dan belakang. Panggung belakang merujuk pada perilaku orang-orang yang berbeda dari perilaku kesehariannya. Di panggung depan, PBNU melalui R20 tampak ingin memperkuat peran agama sebagai solusi global.
Di panggung belakang, cita-cita luhur seperti itu tidak diwujudkan melalui kebijakan yang mengikat yang menjadi keputusan resmi negara dan pemerintah. Karena itulah, R20 tidak berani menyentuh ranah-ranah politik negara, walaupun kenyataan yang terjadi tidak sejalan dengan ajaran agama maupun kemanusiaan universal, seperti yang dilakukan Israel, China, Myanmar, dan India tersebut di atas. Ini bentuk lain dari ketidakseriusan R20 yang diinisiasi PBNU.
Ketiga, pengalaman pertama PBNU menggelar R20 tersebut tampak sekali sudah keluar dari prinsip-prinsip utama Nahdlatul Ulama (NU), yang tawassut, tasamuh, tawazun, dan I’tidal. Hal itu bisa kita lihat dari tidak adanya respons PBNU terhadap surat yang dilayangkan oleh beberapa organisasi internasional, antara lain: The Alliance to Protect America from Infiltration by Religious Extremists (ASPAIRE), Coalition of Americans for Pluralism in India (CAPI), dan North American Indian Muslim Association (NAIMA).
Organisasi-organisasi tersebut telah mengirim surat kepada PBNU yang akan menggelar R20 di Bali. Isi suratnya memohon kepada para elite PBNU, yang dikira sebagai think-thank Indonesia, agar tidak mengundang RSS ke Forum R20. Sebab, RSS adalah orang tua ideologis Bjaratiya Janata Party (BJP), yang kini mengantarkan Narenda Modi menjadi Perdana Menteri India. Seandainya PBNU berbuat adil (I’tidal), moderat (tawassut), dan toleran (tasamuh) maka pasti tidak saja mengundang RSS melainkan juga ASPAIRE, CAPI, dan NAIMA.
Dengan begitu, Forum R20 menjadi demokratis, tempat segala macam suara didengar, dan bukan tempat suara monolitik yang digaungkan. Tidak adanya ormas-ormas pembanding yang memiliki sudut pandang berbeda dari RSS besutan Ram Madhav tersebut adalah bukti bahwa R20 tidak untuk nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, R20 tampak menjadi ajang legitimasi kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh negara (Israel, China, Myanmar, dan India).
Nasi telah jadi bubur. Namun harapan kita memiliki dunia yang damai tidak akan pernah padam. Masih ada kesempatan yang panjang bagi PBNU untuk mewujukan visi-misinya menjadikan agama bagi seluruh persoalan global. Walaupun kita sudah menyaksikan sejak G20 diselenggarakan di Turki (2015) dan Italia (2021), pada kenyataannya radikalisme, terorisme, ekslusifisme, tetap menghantui kehidupan sehari-hari. Tentu saja, kita tetap berharap R20 akan berhasil di masa-masa mendatang. Semoga anomali ini bisa segera terjawab melalui bukti nyata perubahan global menuju perdamaian abadi. Wallahu a’lam bis showab. (*)
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.. (Sumber: Disway.id)