Jakarta, Liputan9.id – Setelah saya melemparkan narasi tentang daulah yang dibangun Nabi Muhammad saw beserta para sahabat di Madinah adalah Daulah Nabawiyah, bukan khilafah/khilafah tahririyah, muncul dua dalih yang kemukakan oleh orang HTI untuk membela kesalahan mereka dalam merujuk metode (thariqah) menegakkan khilafah/khilafah tahririyah.
HTI merasa perlu membantah narasi tentang Daulah Nabawiyah karena masalah ini sangat krusial bagi Hizbut Tahrir. Dimana di semua kitab resmi, selebaran dan tanya jawab dari Amir Hizbut Tahrir mengatakan bahwa Hizbut Tahrir meneladani metode dakwah Rasulullah saw dalam mendirikan khilafah/khilafah tahririyah berdasarkan sirah nabawiyah. Realitas tentang perbedaan antara Daulah Nabawiyah dengan khilafah/khilafah tahririyah menyingkap hoaks yang selama ini ditanamkan oleh Hizbut Tahrir ke dalam benak para syabab, dan mengungkap hoaks yang selama ini disebarkan oleh aktivis HTI kepada para tokoh, ulama dan umat.
Dalih pertama, bahwa Muhammad saw mendirikan daulah di Madinah dalam kapasitas sebagai manusia biasa, bukan sebagai Nabi yang mendapat wahyu dari Allah swt. Mendirikan daulah termasuk perbuatan jibiliyah, merujuk keterangan Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam.
Dalih ini sangat lemah dan mengada-ngada. Sebab, jangan kan soal mendirikan daulah di Madinah, untuk menentukan kapan saat yang tepat untuk berangkat hijrah ke Yatsrib pun, Muhammad saw menunggu petunjuk dari Allah swt. Hal ini berkenaan dengan pertanyaan Abu Bakar kepada Rasulullah saw setelah melihat para sahabat sudah berangkat ke Yatsrib.
Dalih kedua, bahwa daulah yang didirikan oleh Rasulullah saw di Madinah adalah khilafah/khilafah tahririyah, karena daulah tersebut tercakup ke dalam definisi khilafah yang dikarang oleh Taqiyuddin an-Nahbani. Menurut an-Nabhani khilafah adalah ri’asah ‘ammah (kepemimpinan umum) bagi seluruh kaum Muslim untuk menerapkan Islam di dalam negeri dan mendakwahkan Islam di luar negeri.
Definisi tersebut selain tidak sesuai fakta daulah di Madinah seperti yang saya bahas pada artikel saya tentang kelemahan definisi khilafah menurut an-Nabhani, akan tetapi juga, definisi itu bertentangan dengan hadits-hadits Nabi saw terkait periode pemerintahan umat Islam. Semua hadits tentang periode pemerintahan umat Islam menyatakan bahwa periode pertama adalah nubuwwah, bukan khilafah/khilafah tahririyah. Khilafah baru hadir setelah Nabi Muhammaad saw wafat. Dengan kata lain, tidak ada khilafah selama Rasulullah saw masih hidup.
Yang menamakan daulah yang didirikan Nabi saw di Madinah dengan nama “nubuwwah” adalah Nabi saw sendiri. Nabi saw tidak menamakan daulahnya dengan nama khilafah, pasti karena Nabi saw mengetahui perbedaan antara daulah nabawiyah dengan daulah khilafah/khilafah tahririyah. Pada hadits berikut, dengan sangat jelas Nabi Muhammad saw menamakan daulah-nya dengan istilah nubuwwah, bukan khilafah/khilafah tahririyah.
«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ»
“Di tengah-tengah kalian berlangsung masa kenabian sesuai dengan yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Kemudian (akan) berlangsung masa Kekhilafahan yang bersandar kepada minhaj Nabi sesuai dengan kehendak Allah, lalu Allah pun mengangkatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu muncul masa para penguasa yang menggigit (zalim), dan berlangsung sesuai dengan kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu datang lagi masa para penguasa diktator (yang bengis), dan berlangsung sesuai dengan kehendak Allah, lalu Allah pun mengangkatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Kemudian akan (muncul) masanya Kekhilafahan (lagi) yang bersandar pada minhaj nabi. Dan kemudian Rasulullah terdiam.” (Musnad Imam Ahmad No. 17680)
Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan ahli hadits terkait status hadits di atas, shahih atau dha’if, saya ingin menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw menamakan masa pemerintahannya dengan nama nubuwwah, bukan khilafah/khilafah tahririyah. Hal ini diperkuat oleh beberapa hadits lagi yang redaksinya senada dan seirama.
Cukup dengan menampilkan hadits riwayat Imam Ahmad yang di-shahih-kan oleh Shiddiq al-Jawi (ustadz HTI), dua dalih dari orang HTI untuk mejustifikasi perjuangan mereka mendirikan khilafah tahririyah, terbantahkan. Sebenarnya hoaks HTI terkait metode dakwah mereka tidak perlu dibahas, sudah sangat jelas salah, ngarang, ngawur dan maksa. Dengan kata lain, HTI sudah salah, kok masih membela diri. Kalau sudah terbukti salah, harusnya ya bertaubat, ruju’ ila Indonesia.
Oleh: Ayik Heriansyah, Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT