Jakarta, Liputan9 – Negeri indah bernama Indonesia ini sangat majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama, dan golongan, yang rentan sekali terjadi gesekan bernuansa SARA, yang akan mengancam kedamaian dan keutuhan bangsa.
Kita ingat, negeri ini telah beberapa kali dilanda konflik berlatar belakang SARA. Kita ingat di era orde baru, peristiwa tanjung Priok, pembakaran gereja di Tasikmalaya dan Situbondo, konflik etnis Madura dengan Dayak di Sambas Kalbar. Di era Gus Dur terjadi konflik Ambon dan Poso. Di era SBY pengusiran penganut Syiah Sampang Madura. Sedangkan di era Jokowi penyerangan jama’ah shalat idul Fitri oleh kelompok Pemuda Gereja GIDI di Tolikara, Papua, serta terakhir pembakaran Wihara di Tanjung Balai Sumatera Utara.
Diperkirakan konflik-konflik bernuansa SARA akan terus dan akan ada di negeri ini, terlebih orang semakin bebas bicara di media sosial. Meski sudah ada UU ITE, namun intoleransi dan radikalisme yang berpotensi menyulut konflik SARA masih saja marak di medsos.
Namun perlu dicatat, dalam ingatan dunia, Indonesia termasuk negara yang berhasil meredam konflik SARA. Kita berpengalaman mengelola konflik-konflik SARA hingga tak membesar menjadi konflik nasional. Selama ini konflik-konflik tersebut hanya bersifat lokal, tak sampai menjadi konflik berskala nasional yang mengakibatkan perang saudara berkepanjangan seperti yang terjadi di negara-negara Timur Tengah. Kini, Suriah, Irak, Libya, Afghanistan kini porak poranda akibat konflik sektarian dan politik.
Mengapa Indonesia mampu meredam konflik SARA?
Ulama berperan penting dalam mencegah terjadinya konflik SARA, dan ulama juga berperan dalam mendamaikan kelompok yang bertikai. Kecintaan terhadap bangsa ini, agar bangsa ini tetap utuh, mendorong para ulama terlibat aktif dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial. Pada sisi yang berbeda masyarakat Indonesia masih menaruh hormat kepada para ulama, karena para ulama itu adalah representasi Nabi Muhammad dalam membimbing umat.
Ulama yang berkarakter pendamai dan penyejuk umat secara umum dilahirkan dari tradisi pesantren, lebih khusus lagi pesantren tradisional. Pesantren-pesantren tradisional di Nusantara ini seluruhnya mengajarkan paham ahlussunah Wal jama’ah dan menerapkan laku tasawuf dalam metode pembelajaran.
Sebaimana kita tahu Aswaja adalah paham Islam yang menekankan prinsip Tawassuth atau moderat. Ketaatan kepada kiyai, keberkahan ilmu bergantung pada keridhoan guru, akhlak lebih utama daripada ilmu, riyadhoh, tarekat, adalah unsur-unsur tak terpisahkan dari doktrin pembelajaran di pesantren-pesantren tradisional. Hasil dari metode pendidikan demikian melahirkan ulama-ulama berkarakter moderat, toleran, santun, dan rekonsiliatif. Dan semuanya ulama-ulama tersebut mengabdi di Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).
Perbedaan pendapat di antara ulama (produk pesantren tradisional) sudah pasti ada, namun sebagaimana kita tahu perbedaan di antara mereka tidak menjadikan perpecahan dalam tubuh NU, juga tidak membuat sesama mereka saling mencaci maki dan menjauhi satu sama lain. Jalinan silaturahim di antara mereka tetap terjalin, meski dalam forum mereka berdebat sengit.
Sebagai contoh, dahulu pernah terjadi konflik yang terjadi antara KH. As’ad Syamsul Arifin dengan Gus Dur, yang menyebabkan Kiyai As’ad mufaraqah dari kepemimpinan Gus Dur. Juga antara KH. Bisri Syamsuri dengan ulama sepuh NU yang soal soal Pancasila. Dan masih banyak lainnya yang turut mewarnai perjalanan Jam’iyah NU.
Namun berbeda dengan ulama-ulama produk pesantren tradisional, di negeri ini ada juga ulama-ulama yang justru menjadi provokator. Ceramah-ceramahnya sering provokatif dan membakar emosi massa, serta menebar kebencian kepada kelompok yang berseberangan dengan mereka. Mereka malah memprovokasi rakyat, yang tragisnya di saat pemerintah dan ulama lainnya sedang berupaya meredakan konflik. Mereka suka mencaci maki pihak yang berbeda pandangan politik.
Biasanya ulama yang seperti ini bukan lahir dari rahim pesantren tradisional. Rata-rata kiblat keagamaan ulama model seperti ini langsung ke Timur Tengah, yang, sebagaimana kita tahu bangsa Arab kental dengan tradisi konflik.
PESANTREN, PEMEGANG TONGKAT ESTAFET DAKWAH WALISONGO
Sanad nasionalisme dan metode dakwah santun, toleran, dan akomodatif terhadap budaya, merujuk kepada Wali Songo. Wali Songo adalah para ulama yang membawa ajaran ahlussunah Wal jama’ah ke Nusantara. Oleh karena itu, proses islamisasi yang dilakukan oleh wali songo berjalan secara soft dan natural, sesuai dengan karakter ajaran Aswaja itu sendiri yang mengakomodir kebudayaan lokal.
Wali Songo berhasil mendialogkan ajaran Islam yang berasal dari Arab dengan tradisi masyarakat Nusantara. Mereka tidak merubah tradisi masyarakat yang sudah ada dan berlangsung, tetapi mewarnai sehingga melahirkan tradisi baru keislaman masyarakat nusantara. Maka tak salah jika Clifford Gertzs menyebut walisongo itu bukan hanya sekedar dai yang menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga sebagai cultural broker, makelar kebudayaan.
Untuk mencetak kader-kader dakwah di era selanjutnya, Wali Songo mendirikan pesantren. Dahulu pesantren adalah tempat pendidikan para calon pemuka agama Hindu. Walisonngo kemudian mengadopsi sistem tersebut untuk menggembleng calon-calon penerus dakwah Islam dan pemimpin umat.
Tercatat, Sunan Ampel mendirikan Pesantren Ampel Denta di Surabaya. Santri-santrinya antara lain, puteranya sendiri, Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Ainul Yaqin atau Raden Paku (Sunan Giri), putera angkat Nyi Ageng Manila, seorang saudagar kaya dari Gresik.
Istilah Santri, menurut Zamakhsari Dhofier mengutip C.C. Berg, berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang-orang yang tahu kitab-kitab suci Agama Hindu. Kata Sasthri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Kata Pesantren diambil dari kata santri, berarti tempat tinggal para santri.
Sepeninggal Wali Songo, para ulama penerus ajaran Wali Songo juga mendirikan pesantren. Maka, banyak kita temukan pesantren-pesantren tua yang telah berdiri sekian abad yang lalu, baik di Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Jawa Barat. Sebagiannya justru masih eksis hingga kini, seperti Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Pesantren Langitan di Tuban, dan Pesantren Buntet di Cirebon yang sudah berdiri sejak permulaan abad 18.
Keberadaan pesantren pasca Wali Songo memiliki sangat vital di tengah-tengah masyarakat. Kiyai dan pesantren bahkan melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya. Sehingga budaya masyarakat ikut dipengaruhi oleh pesantren. Pada akhirnya pesantren menjadi sub kultur, demikian Gus Dur.
SANAD NASIONALISME SANTRI BERSAMBUNG KE WALISONGO
Jargon hubbul Wathon minal iman, cinta tanah air bagian dari iman telah mengemuka sejak permulaan abad 20. Adalah kalangan santri dan pesantren yang diwakili oleh Hadratussyekh Hasyim Asy’ari yang mempopulerkan jargon ini pertama kali.
Saking populernya jargon ini, sampai-sampai dianggap sebagai hadis. Hubbul Wathon minal iman, adalah sebuah pandangan yang tak memisahkan antara ajaran agama dan nasionalisme, ibarat dua sisi mata uang yang saling menguatkan. Pandangan ini muncul disaat kelompok-kelompok Islam yang ada bingung memutuskan antara apakah berjuang membela tanah air termasuk jihad fi Sabilillah.
Konsep Hubbul Wathon minal iman menginspirasi lahirnya Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 NU yang dipimpin oleh Hadrotussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Isi resolusi jihad intinya adalah, bahwa memperjuangkan tanah air sama halnya dengan memperjuangkan agama karena agama Islam ini hidup di bumi Indonesia. Bahwa membela tanah air dari penjajahan belanda hukumnya adalah fardhu ‘ain dan mati mempertahankan tanah air hukumnya mati syahid.
PENUTUP
Pada akhirnya, wajar jika NU yang lahir dari rahim pesantren, menjadi garda terdepan dalam membela dan memperjuangkan bangsa ini dari rongrongan penjajah dan ideologi-ideologi yang ingin menghancurkan keutuhan bangsa ini. Sederhananya, NU punya saham yang besar atas bangsa ini.
Habib Lutfi bin Yahya, membuat analogi sederhana tentang bagaimana menjaga Indonesia. Indonesia ini ibarat sebuah botol yang terisi air. Aswaja adalah airnya. Jika botolnya pecah maka tentu saja airnya akan tumpah. Nah, menjaga Indonesia dari perpecahan sama halnya dengan menjaga Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Oleh karena itu, maka wajib hukumnya menjaga keutuhan bangsa ini.
Oleh: KH. M. Imaduddin, Sekretaris Majelis Dakwah Nusantara (MADINA)