Karesidenan Banten (Residentie van Bantam) tahun 1945 menjadi yang unik jika membandingan dengan karesidenan lain yang ada di Indonesia, satu hal yang unik tersebut adalah residen-nya adalah kiai. Pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan terbentuknya kabinet pemerintahan baru Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 18 Agustus 1945, dan usai sidang BPUPKI (dochuritsu zunbi cusokai) diteruskan penunjukan langsung gubernur-gubernur sebagai pemerintah daerah, hingga kemudian khusus terhadap Karesidenan Banten include dalam Provinsi Jawa Barat telah diberikan hak istimewa yakni special authority (kewenangan khusus), beberapa yang khusus itu adalah Presiden Soekarno menunjuk Kiai TB Ahmad Khatib (seorang ulama sufi menantu Kiai Asnawi Caringin) untuk menjabat sebagai Resdien (setingkat di bawah Gubernur), dan kewenangan membuat alat tukar uang sendiri selain uang Republik yakni uang OERIDAB (Oeang Republik Indonesia Daerah Bante).
Penunjukan langsung dari Presiden Soekarno ini tentu bukan tanpa alasan, karena figur ini dinilai cakap dan cocok untuk Banten (wilayah yang dikenal radikal kala itu). Kiai Ahmad Khatib tentu tidak menginginkan hanya seorang diri dalam menjalankan amanat Presiden tersebut, maka ia segera bergerak cepat mengundang kiai-kiai se-Banten untuk mengisi jabatan-jabatan Bupati dan sesegera mungkin untuk mengusir tentara-tentara Jepang yang masih bercokol di Serang. Untuk kebutuhan rencana pengusiran tersebut maka dibentuklah BKR Divisi 1000 yang dikomandoi oleh Brigjen KH. Syam’un ex offecio Bupati Kabupaten Serang.
Dalam buku Catatan Masa Lalu Banten yang ditulis oleh duo sejarawan Banten Halwani Michrob dan Mudjahid Chudori terbitan tahun 2007, dalam penggalan catatannya tentang Banten di zaman revolusi kemerdekaan cukup terdeskripsi jelas, bahkan saya nilai sistematis dan detail mengurai pergolakan di masa revolusi fisik saat mana para pejuang kita dengan patriotisme yang kuat merebut kemerdekaan dari Dai Nippon.
Tepatnya di bulan Agustus tahun 1945 setelah terdengarnya berita proklamasi yang dibawa dari Jakarta terjadi konsentrasi masa pergerakan yang didominasi kaum muda. Dari unsur pelajar, santri, kiai-kiai, pemuda-pemuda kampung hingga barisan tentara PETA (tentara bentukan Jepang) yang telah bermetaformosis menjadi BKR (Badan Keamanan Rakyat).
Sebelum Serangan Umum (SU) yang direncankan di akhir Agustus 1945, rapat-rapat dan briefing tentunya dijadwalkan secara rahasia. Sebab tentara Jepang dengan polisi rahasia-nya (heiho) masih berkeliaran di Serang. Brigjen KH. Syam’un atas anjuran KH. Tb. Ahmad Khatib memimpin rapat-rapat tersebut dengan sangat hati-hati untuk menghasilkan strategi serangan yang efektif.
Dalam salah satu briefing-nya terdapat pula santrinya yang dilibatkan sebgaai kurir untuk menyampaikan surat dan kode-kode isyarat kepada para tentara PETA/BKR, seperti kiriman surat kepada Mayor Sema’un Bakri (senior di PETA), Letnan Soewandi, Mayor Ali Amangku. Santri Citangkil binaan KH. Syam’un ini bertumbuh agak kecil dampak, kira-kira berusia 19 tahun. Anak ini sangat lincah, gesit dan selalu luput dari intaian Polisi Rahasia Jepang yang persetiap jam mondar mandir dari Jalan Kantin (bilangan Royal) hingga memutar ke alun-alun dengan Sepeda Ontel-nya.
Pada saat hari yang ditentukan yakni serangan umum (SU) pengusiran tentara Jepang yang bermarkas di Selatan Alun-Alun (belakangan markas itu adalah kini Gedung Juang 45). Sementara perwira-perwira Jepang bermarkas di kantor Residentie (kini kantor Gubernur Banten), Brigjen KH. Syam’un telah mematangkan rencana aksinya tersebut dan telah dikoordinasikan dengan Kiai Khatib. Dari arah Barat pasukan dipimpin oleh Mayor Ali Amangku, sebelah Timur di bawah pimpnan Mayor Sema’un Bakri dan Kapten Juhdi, dari arah Selatan dipimpin oelh Letnan TB. Soewandi, dan di front tengah langsung dipimpin oleh Brigjen KH. Syam’un dan didampingi Yusuf Martadinta. Hari itu pecah perang dalam rangka pengusiran tentara Jepang dari wilayah Serang.
Satu kejadian heroik yang luput dari catatan sejarah adalah peran santri KH. Syam’un yang sedari pertama banyak dilibatkan dalam rencana-rencana militer sebagai upaya merebut kemerdekaan dari Jepang, pagi buta saat hari serangan umum yang sudah ditentukan oleh Komandan Brigade 1000 Maulana Yusuf, santri tersebut diperintahkan untuk menyusup ke lorong-lorong barikade tentara Jepang untuk mengetahui kekuatan dan jumlah tentara Jepang.
Beberapa dari tentara Jepang melihat ada yang mencurigakan di bawah barikade ( timbunan karung pasir dan kawat berduri ), secepat itu menembaki santri yang tengah mengendap-endap. Santri itu lari meski peluru meluncur deras dari bayonet tentara Jepang, dan rupanya masih di lindungi yang maha kuasa, santri masih selamat hingga bisa melapor ke Kiai Syam’un tentang kondisi dan keberadaan tentara Jepang. Walau dalam hati kecil Kiai Syam’un bercampur aduk perasaan ketika santri cukup lama dalam pengintaian tentara Jepang.
Setelah laporan sang santri inilah isyarat penyerangan disampaikan ke seluruh Danyon ( Komandan Bataliyon ) masing-masing arah yang sudah ditentukan. Maka terjadilah perang besar antara tentara BKR yang dibantu para pemuda Serang dengan bala tentara Jepang yang bersenjatakan lengkap. Dan atas izin Allah yang maha kuasa akhirnya mampu mengalahkan tentara Jepang dengan semangat api jihad yang berkobar-kobar di dada para pejuang kemerdekaan meski kebanyakan para pemuda hanya bersenjatakan bambu runcing.
Sosok santri yang diceritakan di atas sering dipanggil “ kancil putih “ baik oleh Brigjen KH. Syam’un maupun tentara-tentara BKR lainnya. Santri Brigjen KH. TB Syam’un itu sebenarnya nyantri di Pondok Pesantren Al-Khaeriyah Citangkil selama 2 tahun sejak 1944, belakangan santri yang terkenal “ kancil putih “ itu adalah KH. Syanwani, ulama NU Banten, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Ashhabul Maimanah Sampang Susukan Tirtayasa yang wafat pada hari Sabtu 17 April 1993.
KHM. Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten, Sekretaris komisi Haub MUI Banten, dan Sekretaris Tsani Idaroh wustho Jam’iyah Ahlith Thoriqah Mu’tabaroh An-Nahdliyah Jatman Banten.