Di era medsos dan digital ini, kita punya tantangan sekaligus kesempatan untuk menghadirkan Islam yang ramah dan rahmatan lil ‘alamin bagi siapa saja. Kreativitas dan kecakapan adaptif terhadap perkembangan tekhnologi informasi dan media menjadi salah- satu kuncinya. Dakwah memasuki ruang-ruang baru sebagai akibat dan dampak dari kemajuan tekhnologi dan peradaban manusia saat ini hingga di masa depan. Dakwah tak lagi hanya di majlis-majlis ta’lim, tapi telah dipaksa memasuki ruang-ruang dan media-media baru semisal televisi, YouTube, situs hingga jejaring sosial semisal facebook dan yang sejenisnya. Tentu saja, selain keniscayaan penguasaan materi dakwah dari ragam ilmu keislamman, kemahiran dan kecerdikan adaprif terhadap perkembangan tekhnologi informasi serta inovasi dan kreativitas dalam ranah industri budaya dan media.
Saat ini, soal-soal keagamaan tak dapat dilepaskan dari aktivitas dan keasyikan orang-orang berselancar di media sosial di mana yang memprihatinkan kita media sosial itu pula yang menjadi ‘media’ penyebaran doktrin-doktrin yang diklaim sebagai ajaran dan nilai religius yang setiap saat melakukan agitasi dan penghasutan kepada para pengguna media sosial, padahal sesungguhnya tak sesuai dengan semangat keagamaan yang sebenarnya. Yang kedua, dan ini juga tak kalah pelik dan memprihatinkan kita, media sosial itu seakan telah menjadi ‘pesantren’ singkat tak resmi, yang sayangnya lebih sering menyebarkan teologi yang devian, dan yang lebih buruknya lagi, adalah justru telah melahirkan budaya oral ketimbang membuat orang-orang terbiasa melakukan analisa, berpikir kritis, dan membaca narasi panjang yang bernas.
Baca juga: Agama Zaman Digital
Setiap hari, media sosial menghadirkan ‘bujukan’ informasi yang sifatnya kilasan dengan pergantian dan durasi yang demikian cepat, semisal di fesbuk, instagram, twitter, dan yang sejenisnya, yang oleh orang-orang yang tak punya daya kritis dan analitis yang memadai akan ditelan mentah-mentah begitu saja, meski informasi-informasi itu ternyata tak lebih hasutan, propaganda, atau hoax. Inilah tantangan sekaligus peluang kita mengisi dakwah di ruang-ruang baru tersebut untuk menyebarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin atau Islam yang ramah dan mengkomunikasikan spirit Islam asli yang welas-asih.
Bila tak diisi dan dimanfaatkan oleh kita yang menjaga dan merawat moderatisme Islam, maka masyarakat akan terbiarkan begitu saja menjadi korban agitasi dan hasutan para penceramah yang mengajarkan dan mengujarkan kebencian hingga membenarkan persekusi atas dan terhadap ke-liyan-an. Mereka yang menjadi ‘korban’ hasutan dan propaganda yang tersebar di media sosial itu kemudian menjadi para penyebar propaganda dan hoax pula dan begitu seterusnya. Mereka membagikan terus-menerus propaganda, hoax, dan hasutan tersebut, seperti di fesbuk, yang ketika sedemikian menjadi massif lalu akan dianggap sebagai ‘kebenaran’ yang tak terbantahkan. Di sini sesungguhnya harus juga disadari bahwa ketika media-media atau situs-situs yang narasi dan isinya adalah hasutan, bahkan ujaran kebencian tersebut begitu mudah dianggap sebagai ‘kebenaran’, publik terpengaruh dan mereka seakan memiliki ‘pembenaran’ atau laku membenci pihak lain yang ‘difitnah’, dan ujung-ujungnya mereka merasa memiliki ‘dasar’ yang sah untuk mempraktikkan kekerasan.
Di era digital dan zaman android sekarang ini, ketika orang-orang lebih sibuk dan lebih senang berselancar menghabiskan waktu keseharian mereka untuk asyik-masyuk di media sosial: facebook, instagram, twitter dan yang sejenisnya, ketimbang membaca buku, betapa mudahnya hasutan dan propaganda ‘ceramah dan narasi’ kebencian dan intoleran disebarkan dan lalu dikonsumsi banyak orang. Tak jarang orang-orang begitu mudahnya menganggap yang hoax sebagai fakta dan kebenaran, yang tak lain adalah mereka yang menjadi korban hasutan tersebut, tiba-tiba merasa yang paling benar dan paling beriman. Inilah jaman ketika akal dan analisis dibunuh oleh tekhnologi internet, yang justru diciptakan manusia, bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi mesin perang yang berubah menjadi zombi-zombi yang akalnya mati sebelum tubuh mereka sendiri menjadi jenazah atau mayat, semisal mereka yang menjadi para pelaku teror, bom bunuh diri dan pelaku praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Baca juga: Sains, Imajinasi, Sastra
Tak diragukan lagi, di jaman ketika mesin telah membunuh akal dan intelegensia, yaitu era android dan internet kita saat ini, para pendakwah dan para penulis, kaum akademik dan intelektual, mestilah menjalankan tugas ‘profetik’ sebagai para pencerah, dan tentu saja menjadi para penyuluh masyarakat yang sanggup memberi lentera dan pelita bagi hidupnya akal manusia melalui kiprah dan karya-karya mereka, yang mereka tuliskan, yang mereka terbitkan dan mereka bukukan. Sebab jika tidak, intelek dan bahkan jiwa manusia akan remuk ditelan teknologi internet yang diciptakannya sendiri, yang belakangan menjadi medan penyebaran hoax, hasutan, ujaran kebencian, propaganda politik dan perang, di saat internet tersebut juga menjadi media penyebaran ‘budaya oral yang instant’.
‘Terbunuhnya’ intelek inilah yang membuat orang mudah diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran dan ujaran-ceramah kebencian dan memiliki pandangan bahwa agama tidak memiliki kekariban dan koherensi dengan akal. Di sini, saya teringat apa yang pernah dinyatakan Sayidina Ali, yang kira-kira bunyinya: “Kadar keberagamaan seseorang sesuai dengan kadar akalnya.” Bukankah dalam Islam, sebagai contoh, syarat kelayakan ibadah seseorang adalah ketika ia ‘aqil balig? Kita tidak diwajibkan berpuasa Ramadhan, misalnya, ketika kita belum aqil balig. Hidupnya intelek ini dimungkinkan dengan aktivitas daras dan membaca, mengaji dan mengkaji, terkait dengan kapasitas literer seseorang. Menurut Sayidina Ali bin Abi Thalib, akal atau intelek ini terbagi dua: “akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi (eksperimentasi dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini memberikan manfaat dan faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini bahwa ia memiliki akal dan agama” (Biharul Anwar jilid 78 hal 128).
Nilai dan materi dakwah yang sesuai dengan visi Islam Moderat atau moderatisme Islam adalah nilai, ajaran dan materi dakwah yang mengajak dan mengajarkan semangat dan sikap toleran, solidaritas dan welas-asih kepada sesama, sesuai dengan makna kata dakwah itu sendiri yang mengajak dengan hikmah kepada kebajikan dan kemasalahatan, bukan menyebarkan ujaran dan sikap kebencian dan intoleransi. Kita sadar betul banyak muslim yang mudah terhasut dan terprovokasi karena ke-awaman mereka secara keagamaan. Banyak muslim yang keagamaan mereka sekedar patuh secara ritual saja. Banyak dari mereka orang-orang baik dan lugu lalu menjadi tidak baik setelah mendengar ceramah-ceramah sektarian yang memassifkan ujaran kebencian dan sikap intoleran, termasuk dalam retorika pemaknaan jihad belakangan ini yang seringkali disalah-gunakan untuk membenarkan teror dan kekerasan.
Dalam ceramahnya di Chicago Humanities Festival, Garry Wills mengutip pernyataan Patricia Crone bahwa pelaku terorisme sudah pasti mereka yang tidak paham agama mereka sendiri. Kutipan itu dilontarkan Garry Wills dalam rangka mengemukakan pembacaannya bahwa dalam Quran tidak ada kata ‘pedang’ ketika banyak orang Barat menuduh Islam mengajarkan agressi dan kitab sucinya sebagai ayat-ayat pedang dan menganjurkan agressi atau terorisme. Kenyatannya dalam Quran, hanya perang dalam rangka membela diri (mempertahankan diri) yang dibenarkan dan sama-sekali tidak ada ayat yang membenarkan terorisme apalagi bom bunuh diri.
Bersamaan dengan itu pula, lanjutnya, kata jihad dalam makna esensinya pun acapkali disalah-pahami banyak orang di Barat dan di sisi lain dibajak oleh para teroris dan kaum ekstrimis dalam rangka ‘membenarkan’ tindakan kekerasan mereka. Jihad tentu saja bermakna kesungguh-sungguhan, semangat dalam pengertian budaya Barat, ungkap Garry Wills, untuk melakukan tindakan-tindakan positif dan bermanfaat bagi kehidupan.
Memang, seorang muslim yang peka tentu saja akan merasa prihatin dengan peristiwa-peristiwa mutakhir yang berkenaan dengan Islam sebagai sebuah kepercayaan dan pandangan hidup muslim, yang akhir-akhir ini dilekatkan dengan kejadian-kejadian teror dan kekerasan, yang menemukan titik klimaks pertamanya pada peristiwa 11 September 2001, atau yang lazim disebut sebagai Black September yang mengakibatkan kematian banyak jiwa, bebeberapa tahun silam.
Dan belakangan tindakan-tindakan teror tersebut untuk sebagiannya masih menggunakan retorika-retorika jihad dan kesyahidan. Berangkat dari peristiwa-peristiwa tersebut, barangkali kita perlu sejenak bertanya: “Benarkah tindakan-tindakan bunuh diri dan serentetan peristiwa-peristiwa kekerasan itu sejalan dengan semangat dan doktrin Islam? Benarkah kata dan terminologi jihad dan kesyahidan hanya dimaksudkan dalam konteks-konteks peperangan fisik, dan bukan yang lebih bermakna kultural dan intelektual?”
Namun, sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, ada baiknya kita mempertimbangkan apa yang pernah dikatakan Akbar S. Ahmed sejauh menyangkut tantangan ummat Islam saat ini. Di abad 21, demikian tulis Ahmed dalam bukunya yang berjudul Posmodernisme, Bahaya dan Harapan bagi Islam (Mizan, 1993), interaksi dan bahkan konfrontasi antara Islam dan Barat melahirkan dilemma internal di antara keduanya, dan khusus bagi kaum muslim itu sendiri adalah bagaimana melestarikan esensi pesan-pesan Al-Qur’an tanpa harus sekedar mereduksinya hanya semata-mata nyanyian usang dan hampa dalam adaptasinya dengan konteks kekinian ummat Islam itu sendiri.
Juga bagaimana, lanjut Ahmed, kaum muslim dapat berpartisipasi dalam peradaban global tanpa harus menghapus identitas mereka sebagai muslim. Dengan kata lain, ummat Islam mau tak mau dan tak mungkin menghindarinya telah berada di persimpangan jalan, berada dalam dilemma bagaimana mendayagunakan vitalitas dan komitmen keimanan dan keislaman mereka dalam memenuhi tujuan mereka di pentas dunia tanpa harus meninggalkan Islam itu sendiri.
Dilema kekinian kaum muslim sebagaimana yang dikemukakan Akbar S. Ahmed di atas memang bukan isapan jempol semata dan masih terasa sampai detik ini bila kita melihat tantangan Islam saat ini berkaitan dengan isu-isu dan peristiwa-peristiwa terorisme dan kekerasan yang acapkali dirujukkan kepada Islam sebagai ajaran, ideologi, dan kepercayaan. Dan itu pula yang dapat kita sebut sebagai situasi epistemik yang dihadapi dan mau tidak mau mesti dihidupi kaum muslim saat ini, yang bila meminjam frasenya Jurgen Habermas bagaimana orang-orang beriman dapat hidup selaras di tengah dunia yang telah mengakui dan menerima kemajemukan dan toleransi sebagai dasar institusi sosial dan politiknya, tanpa mesti orang-orang beriman meninggalkan keyakinan agamis mereka di dalam dunia yang menuntut toleransi dan tidak lagi menginginkan praktik-praktik kekerasan.
Dan bila dilihat secara umum, tantangan tersebut juga dihadapi semua agama, bukan hanya Islam, seperti yang dikemukakan William McInner dengan ceramahnya pada tahun 1989 dalam suatu konferensi di Jepang (Jurnal Ulumul Qur’an Vol.II 1990, h. 76-83). Di mana agama di abad 21 mau tidak mau harus menerima kenyataan fragmentaris yang bisa menjadi lawan sekaligus menjadi kawan, seperti semakin diterimanya sikap-sikap dan pandangan-pandangan positivisme-ilmiah dan privatisasi. Yang selanjutnya menurut McInner, agama juga menghadapi kekuatan-kekuatan sinkretisasi yang berusaha mencari dan menemukan sintesis-sintesis dari doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama dengan cita-cita humanisme sekular dan positivisme abad ini. Yang bila disederhanakan dan disingkat, agama seakan-akan dituntut untuk berdamai dengan realitas kefanaan yang terus berubah, dan kadang terlampau cepat dan mengagetkan paradigma orang-orang beriman yang masih menganggap doktrin dan bunyi-bunyi verbal kitab suci mereka sebagai pijakan segala-galanya.
Apa yang dikemukakan Akbar S. Ahmed dan McInner tersebut juga tengah dihadapi dan sedang berlangsung dalam kehidupan kaum muslim, ketika kaum muslim harus mampu mencapai kemajuan peradaban dan intelektualnya, di satu sisi, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan identitas kemuslimannya, yang pada saat yang sama kaum muslim dituntut untuk memperkecil kesenjangan antara doktrin Islam dan kenyataan kefanaan yang dihidupinya. Bahkan, sedemikian rupa, ummat Islam mau tak mau mesti menyelaraskan dirinya dengan perbedaan-perbedaan dan identitas-identitas kebangsaan dan keagamaan di luar dirinya.
Baca juga: Sastra dan Islam?
Persis dalam konteks itu pula, identitas kemusliman dan kesalehan tentu saja tak hanya menemukan jawaban dan aplikasinya dalam ortodoksi, yang selama ini sekedar memandang dan memahami Islam sebatas sejumlah doktrin dan ajaran pewahyuan yang dikonsentrasikan pada ritualitas murni (mahdhah) semata, Islam yang dijauhkan dari wacana pemikiran. Kecenderungan-kecenderungan seperti itu hanya akan mengarahkan pada pemahaman dan sikap hidup yang dapat membuat Islam seolah-olah tidak terbuka pada ikhtiar pemikiran kritis (ijtihad) untuk selalu menyikapi dengan lapang dada arus-arus perubahan dan mengafirmasi realitas kefanaan yang dihidupi dan dialami dalam keseharian ummat Islam.
Kita pun sama-sama maphum, kedatangan Islam itu sendiri dalam sejarahnya merupakan counter culture atas keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi sosial-politik di mana Islam diperjuangkan oleh Nabi Muhammad, ketika Islam menolak paganisme dan penguburan bayi perempuan dalam keadaan hidup, sebagai contohnya. Penolakan dan perlawanan terhadap praktek-praktek paganisme dan penguburan bayi perempuan dalam keadaan hidup itu pada jamannya telah membuka wawasan baru tentang humanisme dan martabat manusia.
Contoh-contoh dan pendapat-pendapat di atas telah membuktikan bahwa Islam tak hanya sebuah agama ritualis, tetapi lebih dari itu, ia merupakan semangat emansipasi dan pencerahan, sebuah agama yang tak cuma mengajarkan jihad dalam artiannya yang semata fisik dan berbau kekerasan, tetapi adalah sebuah nilai dan semangat hidup agar manusia terus menerus melakukan kebajikan yang tak semata-mata dipahami secara egoistik dan chauvinistik, melainkan agar menjadi rahmat bagi semua ummat manusia di muka bumi ini.
Jihad yang sesungguhnya adalah bagaimana kaum muslim mengentaskan dirinya dari kemiskinan dan ketertinggalan kultural dan struktural, adalah bagaimana ummat Islam tak cuma menjadi ummat yang bisa mengkonsumsi tanpa mencipta, ummat yang kreatif dan produktif hingga berperan aktif dalam cita-cita peradaban dan perdamaian ummat manusia, sebagaimana yang dibayangkan Akbar S. Ahmed. Idealnya, ummat Islam harus mengaktualkan diri dalam konteks kemajuan humanisme, sains dan peradaban.
Barangkali kita juga harus instrospeksi atau melakukan kritik diri yang konstruktif. Tepat, dalam hal ini, kiranya relevan kita menyimak “pembedaan” dua corak dan bentuk iman dan agama, sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant, yang tentu saja sekedar dipinjam sebagai cermin, di mana dalam traktat-nya yang berjudul Religion within the Limits of Reason Alone itu sebagaimana disitir Jacques Derrida dalam dialognya dengan Giovanna Borradori ihwal agama dan terorisme, Kant mendistingsikan atau mengkontraskan antara iman reflektif dan iman dogmatis. Yang pertama, atau iman reflektif, adalah iman yang tidak menutup akal dan nurani, yang kalau meminjam bahasanya Soren Kierkegaard, adalah iman yang dihayati. Sedangkan sebaliknya, yaitu iman dogmatis, adalah iman yang telah kehilangan kepekaan, alih-alih malah menyuburkan kebencian.
Belakangan ini, seperti sama-sama kita tahu, yang tentu saja tak mungkin kita anggap remeh, adalah maraknya paham-paham teologis yang gandrung menyebarkan kebencian. Mereka bahkan “menghalalkan darah”, bukan hanya kepada yang berbeda agama, tetapi kepada yang se-agama dengan mereka. Mereka juga gandrung sekali “memassifkan fatwa dan tuduhan” sesat dan kafir kepada kelompok dan ummat yang bukan dari mazhab mereka. Sebagai nama sementara, mereka kita kenal sebagai kelompok Takfiri. Di Suriah belum lama ini, misalnya, kelompok ini, bila kita baca sejumlah media cetak dan media non-cetak, menjadi kelompok pemberontak dan tak segan-segan “memerangi dengan senjata canggih yang mereka dapatkan” dan “membantai”, seperti yang telah dikatakan, bukan hanya orang yang tak se-agama dengan mereka, tapi juga orang yang bukan dari mazhab atau golongan mereka.
Islam sendiri, seperti sama-sama kita tahu, adalah agama yang visi dan nilainya menekankan agama yang memberi rahmatan lil ‘alamin, yang bolehlah kita terjemahkan juga sebagai rahmat untuk seluruh alam dan segala kalangan. Setidak-tidaknya, visi humanis dan kesalehan sosial kita juga terkandung dalam doktrin dan nilai-nilai Islam, yang seperti telah disebut, menjadi muslim yang mempraktekkan ihsan kepada sesama dalam hidup. Di sini, saya teringat syair Sa’di, pujangga muslim dari Persia itu, di mana salah-satu puisinya yang kini diabadikan di dinding gedung PBB berbunyi, “Anak adam satu raga satu jiwa, tercipta dari muasal yang sama. Jika satu anggota ummat manusia terluka, semua akan merasa terluka. Engkau yang tak berduka atas luka manusia, tak layak menyandang nama manusia”.
Pesan moral tentang solidaritas kemanusiaan puisi Sa’di tersebut membuatnya menjadi istimewa bagi semua kalangan, relevansinya melampaui batas-batas etnik, agama, dan bangsa, meski ditulis oleh seorang muslim yang dikenal sangat arif, saleh, dan tentu saja berwawasan luas. Dan seperti telah disebutkan, puisi itu pun disematkan di gedung PBB atau United Nations sebagai simbol welas asih dan perdamaian sesama ummat manusia. Sa’adi sebenarnya hanyalah salah-satu contoh ketika dunia Islam menyumbangkan kearifan dan melahirkan penyair-penyair yang menjadi teladan Timur dan Barat, semisal Attar, Hafiz, Rumi, Khayyam, dan yang lainnya. Dunia Islam telah menorehkan kegemilangan peradaban dan humanisme melalui para penulis, filsuf, dan penyair seperti mereka.
Sebenarnya, bila dikaji dan ditelusuri lebih seksama, ajaran humanisme Islam, yang barangkali dapat juga kita sebut sebagai nilai-nilai kesalehan sosial tersebut, telah lahir bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri melalui dan bersamaan dengan ajaran Islam dan Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan perawi hadits masyhur, Muslim itu, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan, dan sesiapa yang tidak berbuat kebajikan maka bukanlah orang beriman”. Pesan singkat ini memiliki makna yang dalam dan universal, di mana basis dan dasar keimanan seseorang adalah berbuat kebajikan yang akan bermanfaat, dan universalisme terasa saat hadits tersebut tidak melabelkan agama atau etnik tertentu. Hadits tersebut hanya menyebutkan, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan”.
Pesan dan ajaran serupa juga diteruskan oleh para imam ahlul bayt (keluarga dan keturunan Nabi SAW) semisal tercermin lewat ajaran Imam Hussain, sang cucu kesayangan Nabi SAW yang syahid di Karbala itu. Dikisahkan oleh para ulama dan perawi Hadits, sebelum syahid di Karbala, Imam Husain pernah berpesan kepada putranya, Imam Ali Zainal Abidin as Sajjad, “Wahai anakku, berhati-hatilah dari berlaku zalim terhadap seseorang yang tidak menemukan pembela di hadapanmu kecuali Allah.” Pesan Imam Husain tersebut, tak ragu lagi, adalah penegasan dan penafsiran fasih dari pesan dan ajaran akhlaq kekeknya, yaitu Nabi Muhammad, tentang ukuran keimanan seseorang adalah berbuat kebaikan sebagaimana telah disebutkan.
Mungkin tak salah dalam konteks ini kita tidak boleh lupa bahwa sebagai rahim dan pencipta kegemilangan intelektual dan peradaban di era keemasan dulu, Islam telah memberikan sumbangan yang diakui Timur dan Barat, sebagai pioneer. Bahkan ketika Eropa tengah berada dalam tidur lelap abad kegelapannya, Islam-lah yang membangunkan dan mencerahkannya, saat Islam menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani dan melakukan inovasi sains, semisal yang disumbangkan Albiruni, Omar Khayyam, Ibn Haitham, Alkhawarizmi, dan yang lainnya. Dan salah satu ruh kegemilangan peradaban Islam tersebut tak lain adalah spirit humanis yang disumbangkan para pujangga, seperti Attar, Hafiz, Rumi, Firdausi, Sa’di, Khayyam, dan yang lainnya, selain tercermin dalam ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad Saw dan ahlul baitnya. Dari mereka lah, para pujangga raksasa Timur dan Barat belajar dan menimba kearifan, seperti Goethe, Emerson, dan Tagore, sebagaimana diakui oleh para penyair besar tersebut.
Jika di masa itu ummat Islam menjadi pioneer dan pelopoer inovasi sains dan kreator peradaban, bukan tak mungkin kita saat ini bisa melakukan raihan dan prestasi serupa di saat ini dan di masa yang akan datang bila kita bekerja keras untuk menggapai pengetahuan dan sains dalam rangka membentuk diri kita sebagai inovator, produsen yang tak cuma jadi konsumen belaka.
Sulaiman Djaya, Esais, Penyair, dan Pengurus Majelis Kebudayaan Banten