LIPUTAN9.ID – Semula polemik nasab Ba’alawi sangat ilmiah dan fenomenal. Namun tidak sampai seumur jagung, berubah menjadi provokasi. Nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan bergeser menjadi rasisme. Kiai Imaduddin Utsman al-Bantani, Ketua Komisi Fatwa MUI Banten (2022-2027), yang semula muncul sebagai ilmuwan berubah menjadi orator ulung di atas panggung.
Kiai Imad dengan perilaku seperti itu mirip tokoh fiktif karya Miguel de Cervantes, yaitu Don Quixote de La Mancha. Don Quixote seorang bangsawan Spanyol bernama Alonso Quixano, yang terlalu banyak membaca kisa dongeng ksatria. Ia pun kehilangan akal sehat dan mengidap halusinasi. Don Quixote pun bertingkah semakin aneh, berkuda, merekrut petani di desanya, berpetualang melintasi pedesaan Eropa, membantu gadis-gadis tersiksa dan tertindas, melawan raksasa, dan melawan ketidakadilan.
Tetapi, semua kisah epik ini hanya berkutat di kepala Don Quixote sendiri. Inti kisah Don Quixote adalah tentang otak manusia yang mengering karena terlalu banyak baca, sehingga tidak bisa memisahkan antara fantasi dan realita. Ini yang terjadi pada fenomena Kiai Imad. Semula banyak baca kitab, menjadi pintar, tetapi berakhir dengan halusinasi.
Perjalanan Kiai Imad bisa ditelusuri dari jejak-jejak digitalnya. Dalam sebuah ceramahnya, pada acara “Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1444 H, Haul Tuan Syekh abdul Qadir Jailani ke-2,dan Haul Syekh Ahmad Jauhari Umar,” pandangan-pandangan Kiai Imad sangat brilian. Dia menyampaikan, urusan mengaku-ngaku keturunan Nabi adalah urusan personal antara orang yang mengaku-ngaku dengan Allah. Tetapi, menciptakan keonaran atas nama Kanjeng Nabi adalah perkara sosial yang tidak bisa dibiarkan.
Lebih jauh, dalam kesempatan yang sama, Kiai Imad memandang sekelompok orang yang mengaku-ngaku keturunan Nabi menjadikan umat muslim sebagai ‘budak-buda’ manusia, bukan malah diangkat harkat martabat mereka. Kesimpulan itu dipertegas dengan kasus para Habaib yang mengajak umat muslim untuk berdemonstrasi, bukan demi kepentingan agama tetapi demi kepentingan kelompoknya sendiri.
Dengan demikian, kritik Kiai Imad memiliki preseden-preseden tersendiri. Misalnya, pada tahun 2019, demonstrasi digelar di depan gedung Bawaslu untuk mengawal laporan BPN Prabowo-Sandiaga atas dugaan kecurangan. Aktor di balik demonstrasi tersebut adalah Habib Hanif Alatas. Gelar ‘Habib’ betul-betul mampu menyihir dan mempengaruhi publik.
Tidak saja menyangkut politik praktis, pada bulan Maret 2019, viral penganiayaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh Habib Bahar bin Smith. Ketika Bahar bin Smith harus diadili, ratusan massa pendukung membanjiri Gedung Kearsipan dan Perpustakaan Kota Bandung, menuntut pembebasan Bahar bin Smith. Tidak saja menyihir kesadaran publik, aura mistis gelar ‘Habib’ juga mampu mendorong tindakan pembelaan terhadap kriminalitas dan tindak pidana oknum Habib.
Dengan melihat preseden-preseden semacam ini, maka tidak berlebihan apabila Kiai Imad pada akhirnya memutuskan untuk melakukan perlawanan akademik terhadap ‘arogansi’ oknum-oknum Habib yang telah ‘memperbudak’, mengadu-domba, dan memecah-belah orang-orang banyak. Pada konteks dan permasalahan semacam ini, Kiai Imad telah menyuarakan aspirasi publik berupa kritik terhadap perilaku oknum Habib.
Namun, seiring berjalannya waktu, kritisisme awal Kiai Imad tidak bertahan lama. Pada acara “Halal Bi Halal : Padepokan Dakwah Sunan Kalijaga (PADASUKA),” Kiai Imad yang semula kritis berubah menjadi provokatif. Gaya bicara seorang ilmuwan menjadi gaya bicara influencer.
Dalam pandangan Kiai Imad, banyak kalangan habaib yang ‘Nol-Prestasi’. Contohnya, pada masa perlawanan terhadap penjajah, “…keluarga-keluarga habaib” ini tidak memiliki peran penting. Kiai Imad pun ‘mengutuk’ keluarga-keluarga habaib yang Nol-Prestasi. Kalimat-kalimat Kiai Imad, yang ‘mengutuk’ keluarga-keluarga habaib ini, antara lain: “hei, kamu dan keluargamu, ketika 1926 rakyat Banten perang, kamu dan keluargamu ada dimana?!”
“…Ketika 1888 Cilegon perang, ente dan keluarga ente ngumpet dimana?! Ketika 1825 Perang Jawa, ente dan keluarga ente ade dimane? Ane cari kagak ade! Ketika Banten dan VOC, 1750, perang, acak-acakan Kunciran, hangus neraka itu Karawaci, Caringin hancur lebur, kita ingin mengusir penjajah, kita perang, leluhur kita mati, ente dan keluarga ente ada dimane?!”
“…Pada 1654 Perang Cisadane, dengan gaya Manuk Dadali, tentara kesultanan Banten mengusir penjajah VOC, merebut Cipondoh, merebut Kunciran, merebut Sudimara, merebut Pinang, agar kembali berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten, anak negeri sendiri, ketika itu ente dan keluarga ente ade dimane?!”
“…Ketika Sunan Ampel datang ke Banten, ditolak karena bukan orang Banten sendiri, Sunan Gunung Jati terpaksa mengejar Sunan Ampel hingga ke Surabaya. Ketika Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati bersusah payah mengajar Islam di Banten, ente dan keluarga ante dimane?…”
Melihat orasi Kiai Imad semacam itu, yang mempertanyakan peran sosial seseorang dengan mengungkit-ungkit nama keluarga, telah melanggar prinsipnya sendiri, yaitu mempersatukan bangsa Indonesia. Kiai Imad sudah tidak lagi logis-ilmiah, melainkan provokatif dan rasis. Steve Garner (2009) dalam “Racisms: An Introduction”, terbitan Sage Publications, 2012, menjelaskan rasisme bukan saja tindakan diskriminasi dan seperangkat ideologi, tetapi juga relasi kekuasaan yang hirarkis di antara kelompok-kelompok.
Seandainya, argumen historis Kiai Imad memanglah benar, keluarga Ba’alawi tidak termasuk orang-orang yang gugur membela tanah air Indonesia, maka menyudutkan keluarga Ba’alawi tidak dibenarkan. Sama halnya pada saat awal proyek Kristenisasi oleh kolonial Belanda, hanya ada umat muslim yang terus melakukan perlawanan, mulai dari abad 16-19 Masehi. Tetapi, umat muslim tetap tidak boleh mengambil keuntungan, dan berbuat rasis dengan menyudutkan peran umat Kristiani. Sebab, di sana akan tercipta hirarki kuasa sosial di antara kelompok masyarakat.
Kiai Imad telah ‘offside’ dengan mengutuk keluarga Ba’alawi, sekalipun memang benar keluarga mereka bukan bagian syuhada’ Nusantara. Sekalipun Mufti Batavia Habib Utsman bin Yahya terbukti sebagai antek kolonial, menyudutkan keluarga Ba’alawi adalah tindakan rasis. Kutukan hanya boleh dilayangkan pada oknum-oknum Ba’alawi yang menggunakan gelar ‘habib’ untuk memobilisasi massa demi kepentingan politik atau tindakan melanggar hukum lainnya. Tetapi, kutukan tidak bisa dilayangkan pada keluarga karena hal ini adalah rasisme. Wallahu a’lam bish shawab.
Artikel ini tayang juga di Tribunnews.com dengan judul yang sama Catatan Buat Kiai Imad Lagi, Tidak Ada Don Quixote dalam Islam, pada hari Kamis, 10 Agustus 2023.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Comments 2