Jakarta, LIPUTAN9.ID – Menjalani kehidupan sebagai perempuan Muslim di Prancis adalah ‘tantangan’ tersendiri. Negara yang menjunjung tinggi sekularisme tersebut telah berulang kali membidik tata busana Muslimah, termasuk hijab dan burka. Pada Ahad (27/23) lalu, Menteri Pendidikan Prancis Gabriel Attal mengatakan akan melarang penggunaan abaya di sekolah.
“Saya telah memutuskan bahwa abaya tidak lagi dikenakan di sekolah. Saat Anda masuk ke ruang kelas, Anda tidak seharusnya bisa mengidentifikasi agama murid hanya dengan melihat mereka,” kata Attal saat diwawancara stasiun televisi TF1.
Menurut Attal, abaya adalah isyarat keagamaan. Oleh sebab itu dia menilai, penggunaannya di sekolah harus dilarang. “Sekularisme artinya kebebasan untuk membebaskan diri melalui sekolah,” ujarnya.
Jika menengok ke belakang, Prancis tak hanya sekali ‘mempermasalahkan’ tata busana Muslimah.
Larangan penggunaan hijab
Pada 2004 pemerintahan mantan presiden Prancis Jacques Chirac memutuskan melarang semua simbol-simbol keagamaan di sekolah negeri. Artinya pemakaian hijab, simbol salib, dan kippa bagi orang Yahudi dilarang. “(Namun) hal ini sebagian besar ditujukan kepada anak perempuan yang mengenakan hijab,” kata seorang kolumnis di The Local France, John Lichfield.
Dalam UU tahun 2004 itu, pelarangan hanya berlaku bagi sekolah. Artinya mahasiswa tidak tercakup di dalamnya. Mahasiswi Muslim masih diperkenankan mengenakan hijab di lingkungan kampus.
Prancis sebenarnya tak memiliki larangan pemakaian hijab di ruang publik. Namun burka dan nikab dikategorikan berbeda oleh negara tersebut. Hal itu kerap mengundang kebingungan karena baik cadar maupun jilbab sering kali disebut sebagai voile dalam bahasa Prancis.
Pada 2010, Prancis memutuskan melarang total penggunaan pakaian yang menutupi seluruh wajah, termasuk burka dan nikab. Pakaian semacam itu tidak boleh dikenakan di ruang publik mana pun di Prancis. Pelanggarnya berisiko dikenakan denda 150 euro. Kala itu pelarangan burka dan nikab memantik kemarahan besar dari banyak komunitas Muslim di Prancis yang berjumlah 5 juta orang.
Namun hijab atau jilbab sepenuhnya legal di ruang publik Prancis termasuk toko, kafe, dan jalan-jalan. Menyaksikan perempuan Muslim berjalan-jalan dengan mengenakan hijab di kota-kota besar Prancis seperti Paris merupakan hal lumrah.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada pembatasan terhadap kebebasan perempuan dalam mengenakan hijab. Sejalan dengan UU Perancis tentang laïcité (sekularisme), dilarang mengenakan simbol agama secara terbuka, termasuk hijab, di gedung-gedung pemerintah, termasuk sekolah (dengan pengecualian pengunjung). Pejabat publik seperti guru, petugas pemadam kebakaran atau polisi juga dilarang mengenakan simbol agama mereka secara terbuka saat mereka bekerja.
Pada 2021, para Senator Prancis mengusulkan amandemen terhadap ‘RUU anti-separatisme’ pemerintah yang akan melarang anak perempuan di bawah 18 tahun mengenakan hijab di ruang publik. Beberapa amandemen lainnya juga menyasar perempuan Muslim, seperti pelarangan ibu mengenakan jilbab saat menemani perjalanan sekolah.
Namun semua amandemen tersebut kandas dalam Assemblée nationale. Oleh karena itu ia tidak menjadi UU.
Larangan berlaku bagi atlet
Pada Januari 2022, Senat Prancis memberikan suara 160 berbanding 143 untuk melarang pemakaian hijab dan simbol keagamaan lainnya dalam kompetisi olahraga menyusul usulan amandemen dari Les Républicains. Ia adalah partai sayap kanan yang berpendapat bahwa hijab dapat membahayakan keselamatan atlet yang memakainya.
Kala itu Senator Les Républicains, Jaqueline Eustache-Brinio, mengatakan bahwa Pemerintah Prancis harus memiliki “keberanian” untuk melawan apa yang disebutnya sebagai “cengkraman Islam” di negara tersebut. Les Républicains meyakini nilai atau praktik keislaman telah berpengaruh baik dalam olahraga maupun pendidikan.
“Kita harus memiliki keberanian, jika memungkinkan, untuk menjaga persatuan dan kohesi Republik,” kata Eustache-Brinio kepada RMC, mitra radio BFMTV yang berafiliasi dengan CNN.
Dia menilai, olahraga dan sekolah adalah dua tempat yang harus dibebaskan dari simbol-simbol keagamaan. “Olahraga adalah tempat di mana, baik Anda kaya atau miskin, berkulit hitam atau putih, ateis atau beriman, kita dapat berlatih bersama dan berbagi waktu,” ucapnya.
“Yang ingin kami lakukan adalah menerapkan pasal piagam Olimpiade yang ada, tapi tidak ada yang mau mendengarnya. Pasal 50 mengatur bahwa dalam olahraga tidak mengandung unsur politik dan agama. Saya pikir dalam olahraga dan kompetisi olahraga, kita harus menjaga netralitas sampai akhir,” tambah Eustache-Brinio.
Sebenarnya banyak atlet Muslimah yang telah berkompetisi di Olimpiade dengan mengenakan hijab. Berbagai desain hijab telah dikembangkan untuk memungkinkan perempuan Muslim berkompetisi dengan aman dengan kepala tertutup.
Menurut artikel The Local France saat ini beberapa federasi, seperti Federasi Sepak Bola Prancis, telah melarang pemainnya mengenakan jilbab, serta simbol-simbol agama mencolok lainnya seperti kippa Yahudi.
Sebuah kelompok atlet perempuan Muslim yang dikenal sebagai les Hijabeuses mengajukan gugatan hukum terhadap peraturan tersebut pada bulan November tahun lalu. Sementara itu cabang olah raga lain seperti bola tangan dan rugby mempunyai posisi yang lebih terbuka.
Larangan nikab langgar kebebasan beragama
Pada Oktober 2018, Komite HAM PBB menyatakan bahwa UU Prancis tentang larangan pemakaian cadar di ruang publik melanggar hak kebebasan beragama perempuan Muslim. Itu adalah pertama kalinya PBB mengeluarkan keputusan mengenai larangan penggunaan cadar dan dinilai dapat berdampak pada beberapa negara Eropa lainnya yang telah menerapkan UU serupa.
Dalam putusannya kala itu, Komite HAM PBB menyatakan keprihatinan atas dua kasus yang diajukan oleh perempuan Prancis yang didenda karena mengenakan nikab. Komite berpendapat bahwa larangan tersebut melanggar kebebasan beragama bagi perempuan Muslim yang mengenakan cadar.
Komite HAM PBB menilai bahwa larangan yang diterapkan Perancis ‘terlalu menyeluruh’ dan para pejabat Perancis tidak menjelaskan secara memadai mengapa perlu melarang pakaian seperti itu. Meskipun larangan tersebut dimaksudkan untuk melindungi perempuan, UU itu dinilai dapat menimbulkan dampak sebaliknya, yakni mengisolasi mereka.
“Mengurung mereka di rumah, menghambat akses mereka terhadap layanan publik, dan memarjinalkan mereka,” kata Komite HAM PBB dalam pernyataannya kala itu, dikutip laman DW.
Komite HAM PBB kemudian mendesak Pemerintah Perancis memberikan kompensasi kepada perempuan tersebut dan meninjau ulang UU tentang larangan penggunaan nikab.
Kendati demikian, dalam pernyataannya pada Oktober 2018 lalu, Komite HAM PBB, yang terdiri dari 18 pakar HAM independen dari seluruh dunia, menekankan, keputusan mereka tidak dimaksudkan untuk menentang sekularisme di Prancis.
“Keputusan ini tidak ditujukan untuk menentang gagasan sekularitas, juga bukan merupakan dukungan terhadap kebiasaan yang oleh banyak anggota komite, termasuk saya, dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan,” kata ketua Komite HAM PBB kala itu, Yuval Shany.
Prancis sudah kerap dilabeli sebagai negara yang Islamofobia. Label tersebut tampaknya masih akan kerap disematkan ke negara yang dikenal sebagai pusat mode dunia tersebut. (*)
Editor: Yuzep Ahmad
Sumber: Republika