Cirebon, LIPUTAN9.ID – Masa depan Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama bertumpu pada teladan yang diberikan para tokoh yang terjun secara langsung di tengah masyarakat. Salah satu elemen yang diharap banyak memperkuat norma-norma tersebut adalah para santri yang telah menempuh pendidikan di pondok pesantren.
Anggota Dewan Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat, KH Muhammad Buya Ja’far menjelaskan, santri memiliki modal keintegritasan yang bisa diandalkan dalam menata kehidupan masyarakat yang lebih baik.
“Ada pembeda antara karakter santri dan lainnya. Santri selalu memikirkan nasib masyarakat. Apapun profesi yang dilakoninya, dan di manapun tempat ia mengabdi setelah menempuh pendidikan di pesantren, santri senantiasa menjunjung integritas dan mencurahkan sebagian pikirannya untuk memberdayakan masyarakat,” ungkap Kiai Muhammad Bj, sapaan akrabnya, saat memberi tausiyah dalam acara Khatmil Qur’an dan Juz ‘Amma di Majlis Taklimul Mahalli (MTM) Kalibangka, Pangenan, Cirebon, Ahad, 17 September 2023, malam.
“Dari sinilah kemudian kerja-kerja perbaikan moral tidak hanya bertumpu di pesantren, tetapi justru bergantung pada peran tokoh, ustaz, atau kiai di kampung yang notabene merupakan alumni pondok pesantren,” lanjutnya.
Menurut Kiai Muhammad, kiai kampung menjadi garda terdepan dalam menjaga moral bangsa. Mereka juga memiliki andil besar dalam melakukan perbaikan-perbaikan nilai-nilai dalam masyarakat yang mulai tergerus zaman.
“Para santri yang menjadi tokoh di desanya masing-masing sangat berperan dalam menjaga tata nilai masyarakat sebagai bangsa yang bermoral, cinta ulama, dan menjunjung tinggi norma-norma agama,” tuturnya.
Di tengah perubahan zaman yang begitu gesit dan menantang, lanjut Kiai Muhammad, santri merupakan sosok terpelajar yang lahir lewat metode pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Kurikulum pendidikan di pesantren mengutamakan kualitas sanad (kesinambungan silsilah keilmuan). Ini penting dengan tujuan agar ilmu yang diberikan itu bernilai autentik dan bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Al-Qur’an, Shalat, dan Moral Masyarakat
Salah satu metode pembelajaran yang masih dipertahankan pesantren hingga hari ini adalah teknik musyafahah (bertatap muka).
“Hanya melalui cara inilah, seorang guru bisa mengerti dan memahami bagaimana seorang santri bisa menangkap hasil pembelajaran. Terutama dalam pembelajaran Al-Qur’an,” katanya.
“Karena apa? Karena di pesantren, terutama yang kami asuh, yakni Pesantren KHAS Kempek, mengajarkan Al-Qur’an denhan prinsip biqaraatin fasihatin sahhat min asshalat. Yakni menghasilkan bacaan fasih yang menjadikan sahnya salat,” tegas Kiai Muhammad.
Kiai Muhammad juga menjelaskan, salat memiliki dua kategori rukun, yakni fi’lan (gerakan) dan qaulan (ucapan/bacaan). Sementara dalam hitungan secara lebih menyeluruh, rukun salat didominasi dengan rukun qaulan.
“Jika mengajarkan rukun fi’lan, mungkin orang bisa berlatih atau paham cukup dengan cara melihat. Tetapi untuk rukun qaulan, harus melewati cara pembelajaran yang saksama dan mendalam,” paparnya.
“Jadi, jika salat adalah pencegah kemungkaran, maka pesantren dengan metodologi pembelajaran yang bersambung, serius, dan saksama. Hal ini, turut berandil besar dalam menjaga moral masyarakat Indonesia,” sambung pengasuh Ponpes Madinah Shalwat KHAS Kempek tersebut.
Editor: Hamdi Zatnika
Sumber: Ikhbarcom