Jakarta, LIPUTAN9.ID – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah mengusut dugaan suplai senjata secara ilegal oleh perusahaan Badan Usaha Milik Negara atau BUMN ke junta militer Myanmar di bawah Jenderal Min Aung Hlain.
Menurut Koalisi, pengiriman senjata ini diduga berlangsung pada durasi terjadinya pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. Sebab itu, tentang distribusi alutista, Koalisi menuding pemerintah Indonesia turut terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di Rohingya.
“Yang artinya, ada jejak darah etnis Rohingya di tangan pemerintah Indonesia termasuk keseluruhan instansi tersebut,” kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, pada Kamis, 5 Oktober 2023.
Pada Senin, 2 Oktober 2023 lalu, Mantan Jaksa Agung RI Marzuki Darusman bersama Myanmar Accountability Project dan Chin Za Uk Ling (Pegiat HAM) melaporkan dugaan penjualan illegal senapan serbu, pistol, amunisi, kendaraan tempur dan peralatan militer lainnya kepada Junta Militer Myanmar di bawah Jendral Min Aung Hlain, pada durasi terjadinya pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.
Dugaan keterlibatan BUMN sebagai penyuplai senjata berdasarkan penandatanganan nota kesepahaman PT Pindad dengan True North Co. Ltd, perusahaan broker senjata di Myanmar. True North adalah perusahaan milik Htoo Shein Oo, putra kandung Menteri Perencanaan dan Keuangan Junta Militer Myanmar, Win Shein.
Marzuki dkk merujuk pada data perusahaan perantara senjara True North, Co. Ltd., bahwa 3 perusahaan BUMN Indonesia yakni PT. Pindad, PT. PAL dan PT Dirgantara Indonesia, terus mentransfer amunisi setelah percobaan kudeta Pemerintah Myanmar.
“Koalisi menilai masih terdapat ‘missing link’ dari 2021 ketika kudeta terjadi sampai tahun 2023. Pada 2020 jumlah produksi sebesar 400 juta peluru dan sebagian besar dikirim ke Myanmar,” kata Julius, yang tergabung bersama CENTRA Initiative, Imparsial, KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, itu.
Koalisi menduga, peluru yang dipakai dalam kudeta itu peluru dari Indonesia. Dugaan Koalisi muncul saat Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta peningkatan ekspor senjata. “Pada Juli 2023 Presiden Joko Widodo berkunjung ke Pindad dan menyatakan bahwa ekspor senjata dan amunisi harus ditingkatkan,” katanya.
Koalisi menjelaskan, dugaan keterlibatan itu berbanding terbalik dengan gimmick pemerintah Indonesia. Pemerintah selama ini, membicarakan solidaritas kemanusiaan kepada komunitas muslim etnis Rohingya. Pembicaraan itu melalui diplomasi luar negeri Indonesia yang dijalankan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi Hanafi.
Tiga perusahaan di bidang Pertahanan ini, menurut Koalisi, bertindak dengan persetujuan instansi di bidang pertahanan, seperti Kementerian Pertahanan dan Kementerian Koordinator Polhukam, termasuk Tentara Nasional Indonesia.
“Indonesia sebagai negara anggota PBB termasuk negara pihak dalam Deklarasi Universal HAM, Kovenan Ekosob dan Kovenan Sipol, terikat secara penuh tidak melakukan dan terlibat kejahatan kemanusiaan atau genosida,” ujarnya.
Holding BUMN Industri Pertahanan (DEFEND ID) angkat bicara soal tuduhan yang dialamatkan ke tiga perusahaan pelat merah menjual senjata ilegal ke Myanmar. Defend ID menegaskan, pihaknya tidak pernah melakukan ekspor produk industri pertahanan ke Myanmar setelah 1 Februari 2021.
“Sejalan dengan Resolusi Majelis Umum PBB nomor 75/287 yang melarang suplai senjata ke Myanmar,” kata Defend ID dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Rabu, 4 Oktober 2023.
Defend ID lewat PT Len Industri (Persero) sebagai induk holding serta beranggotakan PT Dahana, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL Indonesia, mendukung penuh resolusi PBB dalam upaya menghentikan kekerasan di Myanmar.
Editor: Yuzep Ahmad
Sumber: Tempo.co