LIPUTAN9.ID – Ketika aku merasa kesepian hidup di Jakarta, kuputuskan untuk sesekali pulang ke kampung halaman. Tanah kelahiran yang telah begitu menyatu dengan hatiku karena kenangan-kenangan yang telah kualami dan yang kini hanya fiksi belaka. Tentu saja keadaannya sudah berubah dan tidak lagi sama. Seperti lampu-lampu sebuah pabrik kertas, karena tampak berkerlap-kerlip dan berkerumun, lebih mirip sebuah kota kecil yang tak pernah tertidur. Dan memang sudah hampir tengah malam ketika pintu ruang bacaku masih terbuka. Juga, meski cukup jauh, suara-suara mesin pabrik kertas itu seolah datang dari setapak pematang di belakang rumah. Tak terasa, aku sudah bertahun-tahun hidup di dunia yang tak lagi sama seperti ketika aku masih kanak-kanak. Memang, sesuatu acapkali telah berubah secara pelan-pelan ketika kita tak sedang memikirkannya, atau ketika kita, entah sengaja atau tidak sengaja, tak menyadarinya.
Sementara itu, malam tetap lengang seperti biasanya, tak ada bising atau keriuhan selain suara-suara katak dan serangga. Namun, ketika aku masih kanak-kanak, tempat yang kini menjadi kawasan pabrik kertas itu adalah sejumlah rawa-rawa dan hutan belukar yang menjadi rumah bagi berbagai jenis ular dan binatang-binatang lainnya. Di tempat itu pula, dulu sering kulihat gerombolan-gerombolan bermacam-macam burung dan unggas yang singgah atau kembali terbang.
Aku baru terbangun dari tidur sebelum aku membuka pintu dan memandangi lampu-lampu pabrik kertas itu, dan karenanya aku sengaja menahan dingin angin selepas hujan. Sedangkan di antara atau di sekitar lintasan-lintasan pematang dan hamparan sawah-sawah, gelap terasa kental dengan kebisuannya yang menyerupai kiasan maut yang tengah terlelap karena cuaca lembab. Tetapi, ingatanku tentang masa silam, muncul ketika kupandangi barisan angka-angka pada kalender yang terpampang dan berdiri di atas meja bacaku, di antara beberapa buku, jurnal dan majalah yang terhampar dengan tenang, juga seperti kematian dan masa silam. Masa-masa yang bagiku seperti lorong-lorong keheningan yang panjang.
Sebelum pabrik kertas itu dapat hadir dengan megah seperti sekarang ini, ada sebuah cerita tentang Nyi Randa, yang kemudian menjadi nama tempat yang kini telah digantikan pabrik kertas itu, yaitu Tegal Nyi Randa. Dan ketika pabrik kertas mulai dibangun di tegal itu, orang-orang bercerita tentang sepohon besar yang berdiri kokoh kembali keesokan harinya setelah dirobohkan. Pohon besar itulah yang oleh orang-orang dipercaya sebagai jelmaan Nyi Randa bertahun-tahun kemudian setelah ia melarikan diri ke rawa-rawa dan gugusan hutan belukar ketika seorang jawara membunuh suaminya tak lama setelah dilangsungkan resepsi pernikahan Nyi Randa dan suaminya yang terbunuh itu. Sebab, setelah kejadian itu, seperti cerita orang-orang di sekitar sungai Ciujung, Nyi Randa tak lagi ditemukan.
Mendapati pohon besar yang telah dirobohkan dengan menggunakan alat berat itu berdiri kokoh kembali keesokan harinya, pihak perusahaan pun merobohkan lagi pohon besar itu. Tetapi hasilnya tetap sama, pohon besar itu kembali berdiri seperti semula. Kejadian itu pun segera menyebar luas di masyarakat, dan memunculkan dua pendapat: pihak perusahaan tetap ngotot untuk melenyapkan pohon tersebut, sementara sebagian masyarakat menginginkan agar pohon besar tetap ada di tempatnya seperti telah bertahun-tahun ada. Butuh waktu berhari-hari bagi pihak perusahaan untuk mewujudkan keinginan mereka sebelum akhirnya mereka berhasil membayar para dukun dan beberapa orang untuk melenyapkan pohon besar tersebut dengan bayaran yang cukup besar bagi orang-orang yang tak memiliki pekerjaan resmi.
Namun ceritanya tak hanya sampai di situ saja. Beberapa hari setelah pohon besar itu berhasil dilenyapkan, pihak perusahaan dikagetkan dengan banyaknya kehadiran ular-ular yang datang tiba-tiba entah dari mana ke setiap sudut dan tempat di kawasan pabrik kertas yang sedang dibangun itu, hingga beberapa pekerja pun meninggal karena serangan ular-ular tersebut. Sementara, di waktu malam, para pekerja seolah selalu mendengar suara seorang perempuan tengah bersenandung dan beberapa pekerja terjatuh dari konstruksi bangunan karena efek teror nyanyian gaib tersebut.
Dan seperti pada kejadian-kejadian sebelumnya, orang-orang pun mempercayai bahwa perempuan yang selalu bersenandung di waktu malam itu adalah Nyi Randa yang tengah merana dan merasakan kesepian karena telah terusir untuk kedua kalinya. Aku jadi teringat kembali tentang kisah Nyi Randa itu ketika kupandangi lampu-lampu pabrik kertas, yang dulunya adalah rawa-rawa dan habitat para unggas, burung-burung, dan binatang-binatang Tuhan lainnya. Sejumlah burung-burung dan para unggas, yang ketika terbang melintasi cakrawala pagi atau senja, membuatku membayangkan diri ingin seperti mereka yang dapat pergi dan terbang kapan saja. Sementara itu, di sudut-sudut rumah kami, nyala-nyala lampu minyak (damar totok) telah digantikan sejumlah neon dan bohlam yang tampak lebih riang. Damar yang di rumahku dinyalakan oleh ibuku. Nyala-nyala mungil lampu minyak yang kembali teringat dengan sendu olehku di saat kupandangi nyala-nyala lampu pabrik kertas di antara pematang-pematang sawah.
Masa-masa itu adalah masa-masa di tahun 1980an, tentu saja ketika aku masih kanak-kanak seperti yang telah kuceritakan di awal-awal esai naratif dan risalah filsafatku ini. Masa-masa ketika aku menggunakan penerangan selampu minyak di meja belajarku, lampu minyak yang juga digunakan untuk rumah-rumah orang-orang di kampungku. Di rumah dan keluargaku sendiri, yang setiap hari melakukan tugas menyediakan lampu-lampu minyak itu adalah ibuku. Setiap menjelang malam, kira-kira beberapa menit sebelum adzan magrib berkumandang, ibu-ku mulai bekerja mengisi tabung lampu-lampu minyak dengan minyak tanah atau minyak kelapa yang dibuatnya. Antara dua minggu atau satu bulan, karena aku tak lagi ingat dengan tepat, ibuku juga akan mengganti sumbu lampu-lampu minyak yang terbuat dari kain-kain bekas pakaian.
Lampu-lampu minyak itu, bila keluargaku sedang menjalani malam-malam di musim hujan, harus bertarung dengan hembusan angin ketika hujan turun di waktu malam. Biasanya, ibuku akan melindungi nyala-nyala api lampu-lampu minyak itu dengan menggunakan pelindung dari plastik yang juga dibuatnya. Pada saat itulah, aku yang tengah belajar di meja belajarku, diberi anugerah untuk mendengarkan pecahan-pecahan hujan di halaman dan di genting-genting rumah. Mungkin, saat itu, aku membayangkan pecahan-pecahan hujan itu sebagai para peri yang tengah riang menari dan bernyanyi di hening malam. Kadang-kadang, sebagaimana angan-anganku merekonstruksinya saat ini, kala aku telah menjadi seorang lelaki dewasa, aku berhenti sejenak untuk sekedar menyimak suara-suara riuh angin dan gerak dedaunan yang diombang-ambing angin dan hujan. Sesekali aku juga membiarkan saja tetes air hujan yang menitik di ruanganku, hingga ibuku merasa kecewa dengan sikapku itu.
Di masa-masa itu, aku hanya dibolehkan bermain dengan teman-temanku sampai jam delapan malam saja. Berbeda dengan sekarang ini, ketika itu jam delapan malam sudah terasa sangat sunyi dan hening sekali. Apalagi dengan keberadaan pepohonan rindang sepanjang jalan dan sungai yang terasa sunyi dan terjaga dalam kebisuan. Bagiku, masa-masa itu adalah masa-masa ketika aku sedemikian akrab dengan kesunyian dan keheningan malam. Terlebih di bulan-bulan selama musim hujan, ketika hujan adakalanya turun di waktu subuh atau tengah malam. Sedemikian akrabnya dengan selampu minyak yang asap hitamnya menghitamkan bilahan-bilahan bambu penyangga genting-genting rumah. Dan bila hujan malam itu usai, maka giliran binatang-binatang malam, semisal para serangga dan katak, yang akan mengambil alih keheningan yang dingin itu dengan suara-suara riuh mereka. Namun anehnya, suara-suara mereka itu malah semakin menambah keheningan itu sendiri sedemikian nyata dan akrab.
Adakalanya aku membayangkan suara-suara mereka tak ubahnya sebuah orkestrasi yang tengah digelar di sebuah tempat yang jauh, meski mereka hanya beberapa meter jaraknya dari belakang rumah. Suara-suara konser yang datang dari pematang-pematang kegelapan malam itu sendiri, yang kutafakkuri dari meja belajarku bertemankan senyala mungil lampu minyak, yang seperti secuil waktu yang terjaga itu. Tanpa sadar, aku dan nyala mungil selampu minyak di meja belajarku ternyata sama-sama tengah saling merenungi diamnya waktu kala itu. Waktu, yang saat ini, kupahami sebagai keabadian itu sendiri: ingatan dan kenangan.
Sulaiman Djaya, (Budayawan)