“UNTUK apa dan bagi siapakah menulis itu penting? Jawabannya ternyata telah diberikan sejarah peradaban manusia itu sendiri.”
Jakarta, Liputan9 – Dulu kala, bangsa-bangsa yang telah membangun peradaban-peradaban besar, yang jejak dan warisan atau artefak peninggalan mereka masih ada hingga saat ini, meski sebagian besar telah musnah, mereka menuliskan pikiran-pikiran dan pengetahuan-pengetahuan mereka, bahkan tulisan-tulisan mereka dipahat di monumen-monumen, bangunan-bangunan, dan sejumlah tempat yang mereka bangun, yang dengan tulisan-tulisan mereka itu mereka juga hendak bercerita dan ‘mengabarkan’ apa dan bagaimana mereka menjalani hidup.
Bangsa-bangsa itulah yang kelak kita kenal telah menciptakan hieroglif, huruf paku, angka-angka, simbol-simbol dan yang sejenisnya, seperti bangsa Mesir, Mesopotamia, Babilonia, Persia, China (yang dikenal sebagai bangsa yang pertama-kali menciptakan kertas dan mesiu itu) hingga bangsa kita sendiri, Indonesia yang telah melahirkan para pujangga kerajaan semisal Ronggowarsito hingga pujangga pemikir era Islam semisal Hamzah Fansuri.
Bahkan mereka yang telah kita klaim sebagai manusia-manusia berperadaban primitif pun menulis, semisal menulis dan menggambarkan kehidupan mereka dan apa yang mereka lakukan dalam hidup mereka, dengan narasi yang menggunakan media gambar, simbol, lukisan, namun intinya mereka telah bersikap historis dan mempraktikkan dokumentasi, yang karenanya mereka memberi ‘data’ dan ‘fakta’ kepada kita sebagai manusia-manusia penerus mereka yang menempati Bumi ini, sehingga kita pun jadi tahu, meski tidak semuanya, apa dan bagaimana kehidupan mereka di masa silam itu.
Dengan ilustrasi tersebut, praktik ‘menulis’ memang membuat kita tidak sama dengan binatang yang lainnya, dan karena itu kita yang lazim disebut manusia ini, dalam istilah Bahasa Arab (dalam ilmu manthiq), disebut ‘al-hayawan al-nathiq’: binatang yang berpikir (bernalar) dan berbahasa, binatang yang menulis, yang artinya bahwa menulis adalah ciri dan aktivitas binatang yang beradab dan memiliki peradaban.
Singkat kata, menulis adalah atribut dan kapasitas ‘binatang berperadaban’ yang kebetulan binatang itu adalah manusia, dan yang dengan tulisan itulah, pengetahuan dan peradaban manusia terus berkembang, berbeda dengan binatang yang bukan ‘al-hayawan al-nathiq’.
Dan seperti kita tahu, seiring dengan perkembangan sejarah, zaman, dan kebutuhan manusia yang kian kompleks, menulis pun dipraktikkan dan berkembang bersamaan dengan semakin beragam pula kepentingannya, yang contoh-contohnya telah disebutkan, semisal demi kepentingan historis dan dokumentasi serta mengembangkan pengetahuan manusia itu sendiri seperti yang telah saya sebutkan itu.
Praktik menulis-lah yang akan membedakan orang yang terpelajar dan yang tidak terpelajar. Dalam hal ini, kemampuan menulis adalah ciri dan atribut orang-orang yang literer dan terdidik, sebagaimana kejeniusan para ilmuwan, filsuf, dan para pujangga terpancar, dibuktikan, dan tercermin dari tulisan-tulisan mereka, hingga bahkan ukuran kecerdasan dan kejeniusan para ilmuwan, para filsuf, dan para pujangga itu sendiri diukur dari tulisan-tulisan mereka dan karangan-karangan mereka, selain karena sebab tulisan-tulisan mereka itulah pengetahuan dan kecerdasan manusiawi itu dapat disebarkan kepada yang lain yang pada saat bersamaan terdokumentasikan, yang karenanya kecerdasan dan pengetahuan pun menjadi maju dan berkembang, dan karena itu pula dapat dikatakan bahwa praktik dan laku menulis adalah rahim peradaban itu sendiri.
Ketika orang menulis, pada saat itu ia juga melakukan aktivitas berpikir, menyusun, mengarang, dan merangkai apa yang ingin ia katakan, apa yang ingin nyatakan, apa yang ingin ia ungkapkan, apa yang ingin ia argumentasikan melalui tulisannya dengan bahasa dan kata-kata sebagai medium dan instrumen penyampaiannya, dan karenanya kemampuan menulis beriringan dengan kecakapan dan kecerdasan berbahasa itu sendiri. Bagaimana pengetahuan mereka (yang menulis) dapat dikomunikasikan kepada orang lain, kepada para pembacanya.
Menulis membutuhkan energi dan pikiran yang jauh lebih besar ketimbang membaca tulisan, juga tenaga dalam arti dan pengertian fisikal, karena ketika seseorang menulis-lah ia melakukan aktivitas berpikir, seperti bagaimana ia harus menyusun dan merangkai argumentasi serta menata tuturan dan narasi tulisannya agar sistematis dan dapat dipahami oleh para pembaca.
Menulis merupakan praktik dan laku berpikir (aksi meditatif) yang sifatnya kognitif dan intelektual serta kerja fisik pada saat bersamaan, dan dalam hal inilah para penulis adalah pekerja peradaban, mereka yang bekerja dan mengabdikan hidupnya untuk perkembangan dan kemajuan sejarah ummat manusia dan peradabannya, sejarah dan kebudayaannya. Dan seperti telah dikatakan, karena manusia binatang yang berpikir dan berbahasa (al-hayawan al-nathiq), maka dengan bahasa itulah manusia dapat mengembangkan pengetahuan, kecerdasan, dan peradabannya secara terus-menerus dan berkelanjutan.
Dengan tulisan pula-lah pengetahuan dan kecerdasan manusiawi itu diajarkan, diwariskan, dan dikembangkan kepada dan oleh generasi manusiawi selanjutnya. Kita bisa tahu, misalnya, bangsa-bangsa yang maju secara kultural, saintifik, dan historis adalah bangsa-bangsa yang paling produktif menulis dan paling banyak menerbitkan buku, di mana pada saat bersamaan (entah ini kebetulan koheren atau bukan) bangsa-bangsa yang maju secara sains dan tekhnologi adalah bangsa-bangsa yang telah melahirkan para pujangga besar, seperti Rusia, Jerman, dan Persia, sekedar untuk menyebut sedikit contoh saja.
Demikianlah, di masa silam, bangsa-bangsa yang berhasil membangun peradaban-peradaban agung dan sejumlah mahakarya adalah bangsa-bangsa yang menuliskan pengetahuan dan kecerdasan mereka, dari Mesir, Babilonia, Mesopotamia, Persia, China, hingga Yunani.
Apa Itu Literasi Dan Siapa Manusia Terpelajar?
SEKARANG ijinkan saya untuk membincang apa itu literasi, atau yang secara sederhana sering dikatakan sebagai melek tulis-baca. Secara gamblang dan sederhana, literasi pada dasarnya adalah “kemampuan berbahasa, yang juga dapat dikatakan sebagai fasahah”, di mana fasahah dan kemampuan berbahasa ini terdiri dari empat unsur, yaitu: Pertama, menyimak atau mendengarkan. Kedua adalah berbicara. Ketiga adalah membaca. Keempat adalah menulis.
Dalam hal yang demikian, secara natural, kodrati, atau secara alami, kemampuan berbahasa bersifat manusiawi, dalam arti merupakan sifat alami manusia, sebagaimana akal pun mengalami perkembangan, persis seperti yang dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah: “Akal adalah potensi yang semakin bertambah dengan ilmu dan pengetahuan” (Lihat Amirul Mu’minin Ali kw, Al-Huda 2008, hal. 369). Contohnya adalah bayi yang seiring bertambahnya usia akan belajar berbahasa tanpa diajarkan, belajar berbahasa melalui imitasi dan adaptasi.
Namun, berbeda dengan kemampuan berbicara dan mendengarkan atau menyimak dengan indra pendengaran kita, kemampuan membaca dan menulis hanya dapat diperoleh dengan mempelajarinya secara khusus atau secara spesifik, melalui pembelajaran yang sangat terkait dengan perkembangan sains dan ilmu pengetahuan. Dan tepat di sinilah akan terletak perbedaan antara seseorang “yang literate atau terdidik” dan seseorang “yang illiterate, tak terdidik atau tidak terpelajar”.
Dengan demikian, seseorang baru bisa dikatakan terpelajar atau dapat dikatakan literate apabila ia memiliki kemampuan menguasai atau “mempraktikkan” empat unsur kemampuan berbahasa, yaitu: Pertama kemampuan menyimak atau mendengarkan, kedua kemampuan berbicara, ketiga kemampuan membaca, dan keempat kemampuan menulis. Tanpa memiliki kemampuan membaca dan menulis tersebut, seseorang tak dapat dikategorikan sebagai “orang yang terdidik atau seseorang yang literate”.
Kemampuan membaca dan menulis tersebut pada akhirnya akan saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Kemampuan membaca pada gilirannya akan mempengaruhi kemahiran menulis, semisal sebuah kendaraan yang meniscayakan adanya bahan-bakar.
Malangnya, literasi tersebut belum menjadi tradisi dalam institusi-institusi pendidikan kita. Para siswa, contohnya, setiap hari hanya dihadapkan pada latihan soal yang sifatnya repetitif atau mengulang belaka. Para peserta didik di institusi-institusi pendidikan kita, sebagai contohnya, hanya dijejali informasi-informasi sebanyak-banyaknya, di mana pendidikan ala bank pada kenyataannya bukan malah mencerdaskan, melainkan hanya “dogmatisasi” atau bersifat mengulang-ulang yang tak dibarengi progress atau kemajuan.
Terkait yang demikian, pendidikan semestinya memberikan “pancing” kepada para murid, bukan memberikan ikan, yaitu melatih dan “mengajarkan” kemampuan untuk mencari dan menggali informasi dan pengetahuan secara inovatif dan kreatif, yang dengan demikian, pendidikan kita akan melahirkan orang-orang yang terpelajar.
Manusia Sebagai Makhluk Literate
Adalah Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang bertajuk Man and Universe (yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh RausyanFikr Institute menjadi Falsafah Agama & Kemanusiaan) dengan sangat bagus menggambarkan dan menerang-jelaskan “posisi” dan “keunikan” atau “kekhususan” manusia dibanding makhluk lainnya, misalnya dibanding binatang. Marilah kita simak apa yang ditulis dan dikemukakan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari berikut ini:
“Pada hakikatnya, manusia adalah sejenis binatang yang memiliki banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Kendati demikian, manusia juga memiliki serangkaian ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lain. Serangkaian ciri inilah yang menempatkan manusia lebih unggul dari binatang….Ciri-ciri tersebut pada gilirannya menentukan sifat-sifat manusiawi manusia. Ciri-ciri ini juga merupakan sumber dari apa yang disebut sebagai kebudayaan manusia yang berhubungan dengan dua hal: sikap dan kecendrungan….Sebagaimana binatang lainnya, manusia juga mempunyai banyak keinginan. Dengan bekal pengetahuan dan pengertiannya, manusia bersusah payah mewujudkan keinginannya. Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Perebedaannya manusia lebih tahu, lebih mengerti…” (Lihat Murtadha Muthahhari, Falsafah Agama & Kemanusiaan, RausyanFikr Institute Yogyakarta, hal.1).
Dalam paparan selanjutnya, Syahid Murtadha Muthahhari dengan cukup eksplisit menyatakan bahwa yang membuat manusia lebih unggul dari binatang adalah karena manusia mampu mengembangkan bahasa dan inteligensi-nya itu sendiri. Bahasa dan inteligensi inilah yang adalah juga modal manusia memiliki modal dan kecakapan literer dan mengembangkan serta memajukan kriya dan kreativitas estetik dan kebudayaannya. Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari mengemukakan:
“Seekor binatang hanya mengetahui dunia melalui indra luarnya (seperti: mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan merasakan sesuatu secara naluri –penerj.). Itulah sebabnya: Pertama, tingkat pengetahuannya dangkal. Pengetahuannya ini tidak sampai menguasai detil segala sesuatu dan tidak memiliki akses ke hubungan-hubungan internal yang terjadi dalam segala sesuatu itu. Kedua, pengetahuannya bersifat parsial dan khusus, tidak universal dan tidak umum. Ketiga, pengetahuannya bersifat regional (terbatas pada wilayah tertentu), karena terbatas pada lingkungan hidupnya dan tidak lebih dari itu. Keempat, pengetahuannya terbatas pada saat sekarang dan tidak berkenaan dengan masa lalu dan masa mendatang. Sebab, binatang tidak mengetahui sejarahnya sendiri atau pun sejarah dunia, binatang tidak berpikir tentang masa depannya dan juga tidak merancang masa depannya” (Ibid, hal. 2).
Jika kita cermati dengan seksama apa yang dikemukakan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari di atas tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hanya manusia-lah yang dalam dirinya memiliki potensi-potensi literer dan intelektual, yaitu potensi berbahasa dan literasi yang mengalami perkembangan, seperti kemampuan menulis, kesanggupan mengembangkan bahasa, hingga kemahiran dalam capaian sains dan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam konteks tulisan ini, kita dapat mengatakan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sanggup mengembangkan dan memajukan potensi tersebut dengan metode pendidikan yang terlibat atau partisipatoris, pendidikan yang tidak cenderung monologis tetapi dialogis, persis seperti ketika Sokrates menuntun lawan debat dan sahabat dialognya untuk berusaha “mencapai” kebenaran oleh dirinya sendiri, atau membiarkan para lawan dialog dan debatnya menggali pengetahuan secara mandiri, di mana Sokrates hanya berfungsi tak ubahnya seorang “bidan” yang membantu melahirkan.
Oleh: Sulaiman Djaya, penyair dan pengasuh Program Sastra Malam di Udara Radio Serang Gawe 102.8 FM