Jakarta, Liputan9 – RABU, 1 Juni 2022 bangsa ini kembali memperingati hari yang cukup bersejarah, yakni Hari Lahir Pancasila. Peringatan tersebut hendaknya dapat dijadikan momentum untuk selalu meneguhkan kecintaan kita terhadap Pancasila sekaligus komitmen untuk selalu merawatnya .
Bila melihat sisi sejarahnya, Hari Lahir Pancasila tidak lepas dari pidato Presiden pertama Indonesia, Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (BPUPKI). Pidatonya pertama kali mengemukakan konsep awal Pancasila yang menjadi dasar Negara Indonesia. Soekarno menyampaikan ide dan gagasannya terkait dasar Negara Indonesia, yang dinamai Pancasila. Panca artinya lima, sedang sila artinya prinsip atau asas. Lima dasar tersebut meliputi Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, serta Ketuhanan yang Maha Esa.
Hingga kini Pancasila telah menjadi dasar negara, ideologi, falsafah hidup bangsa, serta sumber kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila juga merupakan simpul pemersatu, serta rumah bersama bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumah bersama yang menaungi setiap kemajemukan yang ada di dalamnya.
Negeri dengan segudang kemajemukan tentu saja penting untuk selalu dijaga dan dirawat agar setiap warganya dapat hidup rukun serta penuh toleransi. Kemajemukan menjadi potensi berkah apabila dikelola dengan baik. Berbagai ragam etnik, suku, ras, agama, dan budaya adalah kekuatan suatu bangsa yang saling melengkapi satu sama lain, serta menjadi keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Dengan melihat fakta keberagaman tersebut, maka diperlukan sikap saling memahami, menghormati, serta menghargai satu sama lain.
Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, Pancasila sudah teruji menjadi satu-satunya ideologi yang paling cocok dengan karakter dan kepribadian bangsa Indonesia. Kita tidak perlu meniru maupun mengimpor ideologi bangsa lain untuk dijadikan pijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perdebatan mengenai hubungan Pancasila dengan agama juga telah lama selesai di republik ini. Pancasila dan ajaran agama merupakan dua hal yang tidak perlu dipertentangkan satu sama lain. Pancasila mengayomi setiap pemeluk agama di negeri ini dapat bebas menjalankan ajaran agamanya, sementara substansi ajaran agama menjadi ruh yang mengilhami nilai-nilai luhur Pancasila. Apabila dicermati, sila-sila dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan substansi ajaran agama itu sendiri. Nilai-nilai ketauhidan, kemanusiaan, persatuan (ukhuwah), kerakyatan, musyawarah, serta keadilan. Semua itu merupakan substansi ajaran agama.
Organisasi sosial keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah telah lama menyudahi perdebatan mengenai relasi Pancasila dan agama. NU dalam muktamarnya tahun 1984 di Situbondo mengakui secara resmi Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan agama dan menjadikannya final sebagai dasar negara.
Tidak perlu lagi ada kelompok yang justru menguras energi dengan memperdebatkan kembali hubungan Pancasila dan agama. Energi yang dimiliki setiap elemen bangsa lebih baik difokuskan untuk membangun bangsa ini guna menggapai cita-cita dengan meningkatkan kualitas SDM, baik jasmani maupun rohani, serta melakukan inovasi di berbagai bidang kehidupan.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, beragama secara substansi tentu penting untuk ditekankan, daripada tindakan yang selalu menggunakan label formalitas agama. Bila kemaslahatan umum telah diterapkan dalam suatu tempat, maka sesungguhnya di situ telah dijalankan praktik beragama. Sebuah sistem yang di dalamnya muncul ketertiban, keteraturan, disiplin, amanah, tidak korupsi, menjalankan kebijakan secara adil, maka hal tersebut merupakan wujud praktik beragama secara baik.
Sejarah justru mencatat bahwa upaya mengganti Pancasila dengan ideologi tertentu, seperti paham komunis maupun konsep khilafah, telah menimbulkan pertikaian panjang sesama anak bangsa. Hal yang justru sangat merugikan karena setiap komponen bangsa tidak pernah bisa beranjak untuk dapat membangun negeri ini.
Belum dapat terselesaikannya setiap masalah bangsa, baik dalam aspek politik, hukum, ekonomi, maupun dalam bidang lainnya lebih disebabkan karena belum dilaksanakannya nilai-nilai luhur Pancasila secara konsisten. Pancasila belum dicintai dengan seutuhnya. Bila praktik berbangsa dan bernegara masih selalu mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan, tentu saja hal tersebut masih jauh dari mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Rakyat tentu membutuhkan komitmen dan kesungguhan setiap penyelenggara negara, baik unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dapat memberikan keteladanan dalam mencintai Pancasila seutuhnya. Konsistensi merawat dan mencintai Pancasila seutuhnya memerlukan pengorbanan serta jiwa kenegarawanan. Sebuah praktik menjalankan kebijakan negara yang selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila, bukan atas dasar kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan.
Oleh: Ma’muri Santoso, Instruktur Nasional JATMAN dan Alumnus Standardisasi Kompetensi Dai Lembaga Dakwah PBNU.