LIPUTAN9.ID – Fatimah Az-Zahra adalah wanita semesta, bersama Maryam binti Imran, Asiyah istrinya Fir’aun dan Khadijah Al Kubro. Ia adalah teladan perempuan semesta serta simbol kegigihan, keberanian, kesetiaan sekaligus kesalehan.
Riwayat hidupnya bersama Imam Ali bin Abi Thalib as bahkan menjadi inspirasi romantis remaja muslim di seluruh dunia.
Dan tarikh ini dicatat dalam catatan-catatan lintas mazhab, utamanya dalam catatan Syi’ah dan Sunni, baik dari kalangan muhaddits hingga para sejarawan yang semasa atau yang hidup di jaman berikutnya. Memang, ada satu kejanggalan, ketika mayoritas ummat Islam barangkali tidak pernah bertanya ‘di mana gerangan makam Fatimah Az-Zahra as?’ Berikut penggalan singkat riwayat pemakamannya.
Sebuah rombongan (kafilah) kecil yang terdiri dari orang-orang yang setia dan patuh pada wasiat Rasulullah tampak berjalan gontai. Segukan tangis lirih terdengar dari mereka. Wajah-wajah mereka yang tertunduk tersembunyi dalam tutup-tutup kepala yang jatuh menaungi kepala-kepala mereka.
Rombongan (kafilah takziah) itu berjalan tanpa mengeluarkan bunyi ke sebuah tempat sunyi yang khusus untuk menguburkan salah seorang manusia suci yang mereka cintai. Mereka berjalan dalam kegelapan malam pada bulan Jumadil Tsani, hari ketiga di tahun 11 Hijriah. Rombongan itu menyusuri jalan-jalan kota Madinah Al Munawwarah.
Terasa segar dalam ingatan, baru beberapa lama lewat mereka melakukan hal yang sama untuk manusia suci lainnya, Rasulullah Muhammad Al-Mustafa. Sekarang giliran putrinya tercinta, Fatimah Az-Zahra (as).
Dalam rombongan itu ada anak-anak dengan ayah mereka beserta teman-teman dekat dari sang ayah. Mereka semua berjalan dalam kebisuan dan kesabaran. Pada wajah-wajah mereka tampak kepasrahan dan keridhoan akan apa yang telah menimpa mereka selama beberapa hari ini. Akan tetapi meskipun begitu, sesekali masih terdengar tangis yang tertahan di tenggorokan, meski air mata yang mengucur deras dengan tangisan yang lirih sekali hampir tak terdengar, seakan ingin menyembunyikan kepedihan yang telah menimpa mereka agar tidak ada orang yang mendengar mereka di kegelapan malam, karena memang mereka tidak ingin seorangpun tahu di kota Madinah itu bahwa mereka sedang melakukan sebuah perbuatan yang akan direkam baik oleh sejarah, terutama tetap hidup di kalangan para pecinta mereka saat ini.
Seorang ayah yang tadi disebutkan di atas ialah Imam Ali bin Abi Thalib (as), sementara anak-anak yang turut bersamanya ialah putra-putrinya. Ada Imam Hasan (as) di sana, ada Imam Husain (as), ada Zainab, dan ada Umm Kultsum yang berjalan gontai dalam kebisuan di belakang ayahnya.
Bersama mereka ada para sahabat pilihan yang sangat setia kepada Nabi saw, baik ketika Nabi masih hidup atau ketika sesudah wafat. Mereka adalah Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad al-Aswad, dan Salman Al-Farisi dari Isfahan, Iran.
Ketika setiap mata dari penduduk Madinah tertutup, ketika tak ada suara sedikitpun dari mereka, rombongan surga itu meninggalkan rumah Imam Ali bin Abi Thalib (as) membawa usungan tandu berisi jenazah suci dari puteri sang Nabi, Fatimah Az-Zahra (sa). Anak-anaknya sekarang mengantar jenazah ibunya itu ke sebuah pemakaman yang sunyi yang sudah ditentukan. Akan tetapi di manakah ribuan penduduk kota Madinah yang seharusnya ada di tempat? Seakan mereka tidak tahu peristiwa penting ini, bahkan kaum muslimin saat ini sepertinya tidak pernah ingin tahu di mana gerangan Fatimah Az-Zahra dimakamkan?
Ketika iringan pengantar jenazah putri Nabi itu lewat, mengapa tak seorangpun dari mereka datang melawat? Mengapa pemakamannya dilangsungkan pada saat dianggap sangat tidak tepat? Mengapa pemakaman itu harus dilangsungkan di kegelapan malam yang pekat?
Sayyidah Fatimah Az-Zahra (sa) memang merencanakan itu semua sebelum wafatnya, dan telah memberi wasiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib as agar para penduduk kota Madinah itu tidak datang ke pemakamannya. Ia ingin dikuburkan pada malam hari dan ingin agar kuburannya disembunyikan dari pengetahuan penduduk kota Madinah.
Ada kesunyian dan keheningan yang mencekam di sana, namun tiba-tiba terdengar tangisan agak keras dan parau memecah kesunyian tersebut. Tangisan itu datang dari pahlawan padang pasir yang musuh manapun pasti akan ngeri dan menyingkir saat berhadapan dengannya. Tapi tangisan itu tiba-tiba terdengar lebih keras seakan ingin menuntaskan rasa penasaran, setelah sebelumnya berusaha ditahan sekuat tenaga dan perasaan.
Anehnya lagi, riwayat kematian Fatimah Az-Zahra as dan penyebabnya pun jarang dikisahkan oleh para penceramah agama. Seakan ada rahasia yang tidak ingin mereka ungkapkan ke khalayak ummat ayahnya. Bahwa tulang rusuk Fatimah Az-Zahra as yang patah hingga kandungannya yang keguguran adalah akibat perbuatan zalim sekelompok orang yang ngotot ingin mendapatkan baiat Imam Ali bin Abi Thalib as demi menjadikan orang yang mereka dukung sebagai khalifah. Sebuah perbuatan sekelompok orang yang mengingkari wasiat Rasulullah.
Sekelompok orang yang mendobrak dan membakar pintu Fatimah Az-Zahra as demi kekhalifahan yang tak sempat diantisipasi Imam Ali bin Abi Thalib as.
Setelah memakamkan Fatimah Az-Zahra (as), rombongan berisi keluarga dekat Nabi Saw dan para sahabat pilihannya itu pun segera bergegas kembali ke rumahnya masing-masing, sementara tidak ada satu orang pun di kota Madinah yang tahu di mana Fatimah Az-Zahra as dikuburkan (dimakamkan).
Sesampainya mereka di rumah, anak-anak itu dengan segera sadar bahwa mereka telah ditinggalkan oleh ibunya tercinta, wanita penghulu semesta. Mereka merasakan kesepian serta duka yang menghunjam mengingat ibu tercinta mereka sebelum wafatnya mengalami sakit parah akibat kezaliman.
Imam Ali bin Abi Thalib as segera menghibur mereka supaya kesedihan tak terlalu larut membawa pikiran mereka. Akan tetapi memang pada kenyataannya hal itu tidak mudah dilakukan.
Pada saat itu, Imam Ali mencoba menenangkan diri mereka dan kemudian ia sendiri masuk ke dalam kamar dan kemudian larut dalam tangisan yang sendu.
Sang pahlawan Badar, Uhud, Khaybar, Khandaq dan beberapa perang lainnya itu seakan merasakan keletihan yang luar biasa dalam menahan nestapa dan akhirnya ia lampiaskan juga dalam tangisan. Tangisan karena rasa cinta dan kehilangan, bukan tangisan manja dan penuh keputus-asaan.
Sulaiman Djaya, (Budayawan)





















