LIPUTAN9.ID – Semua orang menghendaki perdamaian. Bahkan perdamaian itu selalu diperjuangkan oleh seseorang dengan harapan hidupnya menjadi tentram, aman dan jauh dari perilaku saling merusak tatanan persaudaraan.
Tetapi untuk mewujudkan perdamaian itu memang sulit. Itulah kenapa harus diperjuangkan oleh banyak orang yang terlibat dalam ruang pergaulan sosial tertentu.
Tanpa sadar, mungkin seseorang melakukan hal-hal yang bisa merusak perdamaian tersebut dalam tatanan sosial tertentu. Begitulah musuh-musuh perdamaian selalu mengintai seseorang untuk berbuat kerusakan pada dirinya sendiri dan orang lain.
Petrarch, dalam “Renaissance Lives” menegaskan bahwa lima musuh perdamaian yang kadang mendiami hati seseorang adalah ketamakan, ambisi, iri hati, kemarahan, dan kesombongan. Kata Petrarch, jika lima hal ini bisa dikontrol bahkan dibuang dalam diri seseorang maka ia dapat menikmati kedamaian abadi dalam menjalani kehidupannya.
Diantara kelima musuh perdamaian yang berbahaya adalah iri dengki. Karena ini akan melahirkan kesombongan, kemarahan, kebencian tak beralasan, kebohongan, ambisi tak beretika, dan bahkan pengadu domba.
Karya sastra, Dante Alighieri, dalam “The Divine Comedy” menerangkan bahwa kesombongan, kebencian, kebohongan, dan ketamakan yang lahir dari iri dengki dapat menjadi percikan api yang bisa membakar hati semua orang untuk saling merusak, mencelakai, dan menghancurkan. Kata Dante, ruang surga yang penuh kedamaian berganti menjadi suasana penuh kekacauan laiknya ruang neraka.
Kata Dalai Lama, iri dengki tidak pernah menyelesaikan masalah seseorang. Menurutnya hanya kasih sayang, perhatian, dan rasa hormat yang dapat menyelesaikannya segala persoalan.
Marcus Aurelius, dalam “Meditations” jika seseorang dalam hidupnya tunduk kepada iri dengki yang melahirkan perilaku kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan atas kelebihan nasib orang lain, pun cemburu buta, marah dan benci atas takdir baik orang lain. Maka ia sedang melakukan penghinaan pada dirinya sendiri. Bahkan kata Marcus, ia harus mengakui bahwa dirinya tidak bijaksana.
Kata Honoré de Balzac, yang dikutip oleh Philippe Bertault, dalam “Balzac and The Human Comedy”, belajarlah memiliki hati yang mulia. Sebab hati mulia tidak iri dengki yang melahirkan takut, khawatir, marah bahkan benci atas nasib lebih yang didapatkan orang lain. Catatlah, iri dengki bisa menimbulkan keraguan, inkonsisten, dan prahara sosial karena penyakit picik.
Dalam perspektif Islampun, Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa penyakit hati yang harus dihindari seorang muslim adalah iri dengki yang selalu mendatangkan fitnah sosial. Fitnah sosial yang selalu merusak persaudaraan bahkan kedamaian dalam kehidupan.
Kata Ibnu Qoyyim, pada dasarnya dengki merupakan bentuk penentangan kepada Allah, karena orang dengki membenci nikmat yang telah diberikan Allah kepada hambanya. Sebagaimana gambaran perilaku iblis menjadi musuh Allah yang paling besar, karena dosanya bersumber dari iri dengki dan kesombongan.
Sebagian penafsiran surat An Nisa ayat 32, iri dengki itu maknanya mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain dan berpindah kepadanya.
Bahaya iri dengki ini diingatkan oleh baginda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, “iri dengki itu dapat memakan (menghabiskan) kebaikan, sebagaimana api melahap kayu bakar.”
Begitupun baginda Rasulullah pernah bersabda, “janganlah kalian saling mendengki, jangan saling memutuskan tali persaudaraan, dan jangan saling membenci, dan jangan pula saling berseteru (membelakangi). Dan jadilah kalian hamba Allah sebagai saudara, sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu,” (HR Bukhari dan Muslim).
Hati seorang mu’min terlalu berharga untuk membiarkan iri dengki bersemanyam didalamnya. Sebab seorang mu’min menyadari bahwa iri dengki itu, bisa membakar amal kebaikan dan menjadi sumber penyakit hati. Karenanya, seorang mu’min selalu memohon perlindungan kepada Allah dari jeleknya iri dengki. Karena perasaan itu penyebab dosa pertama di langit dan bumi.
Seorang mu’min akan selalu bersyukur dengan apa yang sedang dijalani dan selalu mendoakan saudara yang lain ketika mendapatkan kelebihan dengan kalimat, “Barakallah, Allahumma Zid Hu Min Fadhlika Wa A’thini Afdhala Minhu”. Hati damai dan kehidupan penuh kedamaian. Musuh kedamaian tidak mendapat ruang dalam hati dan kehidupan sosial. Sebuah refleksi di teras hening.
Dr. H. Dudy Imanuddin Effendi, M.Ag, Wakil Dekan 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.