LIPUTAN9.ID – Meletusnya perang Gaza, Palestina dan sebelumnya Operasi Militer Rusia di Ukraina, seharusnya dibaca sebagai upaya perjuangan bangsa-bangsa non Barat untuk meraih kemerdekaan dan kebebasan mereka dari upaya keangkuhan penyamarataan Barat. Alexander Dugin, sebagai contoh, menyebutnya sebagai upaya dan perjuangan untuk melahirkan tatanan multipolaritas sejarah dan peradaban.
Siapa pun yang mencermati kondisi politik dunia saat ini dengan benar dan tepat, sudah pasti menyimpulkan bahwa sedang terjadi pergeseran politik dunia dan gerak baru sejarah dengan tampilnya kekuatan-kekuatan yang mengimbangi, bahkan berkonfrontasi dengan unipolaritas Barat (Amerika, Israel, NATO) dkk. Kekuatan-kekuatan baru yang tampil itu, misalnya, Rusia (yang sebenarnya pemain lama dalam kompetisinya dengan Amerika, minimal sejak era Perang Dingin), Cina (yang juga pemain lama meski kedigdayaan ekonomi dan politiknya saat ini sangat signifikan) dan Iran (yang merepresentasikan kesadaran politik Islam yang jelas, ideologis, dan terarah bila meminjam analisisnya Samuel Huntington dan Alexander Dugin).
Gagasan dan kemudian gerakan menciptakan tatanan dunia yang multipolar (beragam) sebagai tanggapan atas unipolarisme liberalisme Barat pun semakin terealisasi dalam sejumlah pembentukan aliansi lintas benua seperti BRICS yang dimotori Rusia dan Cina.
Dalam pandangan Alexander Dugin, sebagai salah-satu penyuara paling lantang multipolarisme, sebagai misal paling keras, keangkuhan liberalisme Barat yang ingin menyamaratakan dunia menurut versi mereka harus dilawan dengan kuat bila kekayaan dan keragaman kultural dan keagamaan kita ingin lestari sebagai jatidiri kita yang bukan mereka (Barat). Dalam hal ini, Dugin memuji Iran sebagai representasi Islam yang sadar diri dengan ke-Islam-annya di saat Islam di luar mazhab Iran seakan tak berdaya menghadapi unipolarisme Barat. Secara kebetulan, jika bukan karena watak dan kebanggaan kultural yang tidak jauh berbeda, baik Cina, Rusia dan Iran berseberangan secara geopolitik dengan unipolarisme Barat.
Meski dihujat dan dicaci Barat dan kaum liberalis, termasuk liberalis Indonesia, sebagai fasis dan ultranasionalis, pandangan geopolitik Alexander Dugin, sangat menarik untuk disimak dan dipahami. Tuduhan yang dinisbatkan kepada dirinya sebagai fasis dan ultranasionalis pun sesungguhnya lebih merupakan tuduhan tendesius yang tidak proporsional. Mengingat Alexander Dugin menentang Naziisme dan Fasisme yang menurutnya sama-sama dilahirkan watak otoritarianisme dan diktatorisme tersembunyi Barat yang acapkali berlindung dengan mengemukakan retorika yang berbeda. Standar ganda, demikian bahasa singkatnya. Buktinya, baik Naziisme dan Fasisme dipraktikkan oleh Barat (Eropa).
Menurut para komentator Barat yang tidak tendensius gagasan multipolarisme Alexander Dugin adalah sebuah pandangan yang riang dan optimis dalam rangka melahirkan peradaban ummat manusia yang menghargai dan menerima keragaman kultural dan politik, bukan keseragaman liberalisme unipolar Barat di mana bangsa-bangsa ‘dipaksa’ dan dipengaruhi mengikut Barat demi kepentingan ekonomi dan geopolitik Barat. Sebuah kondisi sejarah di mana keragaman budaya dan peradaban hidup dengan merdeka. Berbeda dengan liberalisme unipolar Barat yang menggiring bangsa-bangsa menjadi imitasi mereka tapi untuk menjadi merana dan tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan kebangsaan dan kultural.
Pandangan geopolitik Alexander Dugin yang terkenal adalah ‘Teori Politik Keempat’ yang merupakan judul bukunya. Ia mengkritik proyek modernitas Barat secara umum terutama tiga ideologi utamanya: liberalisme, fasisme dan komunisme. Ideologi kapitalisme liberal menurut Alexander Dugin bertumpu pada nilai-nilai palsu yang melahirkan ilusi dan keterasingan manusia. Masyarakat dalam kapitalisme liberal menjadi budak pasar dan komoditas. Kesenjangan, tirani dan ketimpangan pada kenyataannya terjadi dalam masyarakat yang menggambarkan diri mereka sebagai masyarakat demokratis liberal karena liberalisme kapitalis menghancurkan narasi liberal tentang kemajuan, rasionalitas dan kesetaraan.
Hasrat dan watak keangkuhan kehendak menyamaratakan masyarakat dunia juga terkandung dalam komunisme, yang menurut Dugin merupakan dogma yang sebenarnya tidak memiliki karakter revolusioner untuk mengubah masa depan, alih-alih menjadi diktatorisme aparatur Negara. Sementara fasisme dan naziisme adalah ideologi statisme yang tidak ada hubungannya dengan sosialisme. Mereka malah memobilisasi komponen sosial dengan metode represif untuk kepentingan elitis sepihak pemegang kekuasaan Negara sebagaimana dicontohkan Hitler dan Mussolini di Eropa.
Sedikit atau banyaknya, landasan filosofis pandangan geopolitik Alexander Dugin menyerap wawasan filsafatnya Martin Heidegger, terutama tentang dasein, menyangkut dunia yang pluralistik dan bermoral di mana agama, tradisi, dan keluarga dalam wawasan dan cakrawala pandangan hidup setiap bangsa dihormati, terbebas dari indoktrinasi sentralisme liberalisme Barat yang berusaha memaksakan atau mempengaruhi bangsa-bangsa lain menjadi imitasi mereka. Dalam hal ini, jelas sekali Dugin menolak liberalisme Barat dan kaum globalis yang berusaha menanamkan nilai-nilai versi mereka secara sepihak kepada bangsa-bangsa di luar mereka.
Dengan dasar dan landasan wawasannya itulah Dugin mengemukakan dan mengajukan teori keempatnya tentang ‘Konservatisme Reolusioner’ untuk melahirkan masa depan peradaban manusia yang menghargai keragamaan dan perbedaan bangsa-bangsa. Secara keagamaan, pandangan geopolitik Dugin menyerap nilai-nilai dan wawasan religius Kristen Ortodoks yang banyak dianut di Rusia meski sempat dipersekusi pada era Uni Soviet. Dugin memandang unipolarisme liberalisme Barat tak lebih kediktatoran yang gandrung jualan demokrasi.
Terkait dengan Perang Gaza, Palestina yang bermula dari insiden 7 Oktober 2023 lalu, Dugin menilai hal itu telah menyatukan dunia Islam, meski tidak secara keseluruhan. Dan tentu saja mendatangkan simpati bagi Palestina secara global dari seluruh warga dunia mengingat warga dunia tidak lagi dapat dibohongi standar ganda liberalisme Barat. Ia juga memuji Houthi-Ansarullah Yaman yang didukung Iran sebagai kebanggaan dan harga diri Islam yang sesungguhnya ketika menjadi penyokong Palestina di wilayah kuasa mereka untuk melakukan perang martim terhadap Israel dan Barat yang mendukung Israel.
Sekali lagi, perang Gaza dan apa yang dilakukan Hizbullah Libanon, Houthi-Ansarullah Yaman yang didukung Iran, bagi Dugin mestilah dibaca sebagai upaya dan gerakan untuk melahirkan tatanan dunia multipolar. Alexander Dugin menegaskan bahwa tatanan dunia multipolar dibangun atas dan didasarkan pada pengakuan kesetaraan peradaban dan budaya atas bangsa-bangsa lain, yang sudah tentu menolak dominasi dan tekanan adidaya mana pun.
Begitu juga, menurut Dugin, Barat tidak berhak untuk memaksakan dan mengindoktrinasi bangsa-bangsa lain untuk menganut dan meyakini nilai-nilai mereka. Singkatnya, setiap bangsa dan peradaban memiliki sistem dan paradigma nilainya sendiri, logonya sendiri dan identitasnya sendiri. Tidak ada aturan universal sepihak untuk semua bangsa dan peradaban, apalagi jika jelas motifnya adalah dominasi dan imperialisme. Dan begitu juga tidak ada peradaban yang memiliki hak untuk memaksakan secara sepihak aturan mereka sendiri atas lainnya tanpa penghargaan dan penghormatan sebagai sesama pelaku sejarah dan pencipta peradaban.
Sulaiman Djaya (Esais dan Penyair)
























