Memandangi dan merenungi alam adalah mengakrabi keajaiban-keajaiban. Bagaimana angin yang gaib tapi demikian nyata membelai daun-daun dan menggerakkan batang-batang serta ranting-ranting pohonan, membantu penyerbukan bunga-bunga dan kuntum-kuntum yang hendak mekar, dan juga memberi kesejukan kepada kita.
Sementara itu, di atas hamparan sawah-sawah dan bentang pematang, capung-capung tampak gembira mengetarkan sayap-sayap mereka, mengambang bersamaan dan kadang terbang masing-masing ke tempat-tempat yang mereka singgahi. Sementara di sudut-sudut lain, sejumlah kupu-kupu singgah di rimbun belukar kecil dan yang lainnya di putik-putik bunga.
Kita hidup bersama mereka. Keberadaan mereka di Bumi adalah matarantai kehidupan, di mana kita sebagai manusia adalah salah-satunya –dari sekian banyak matarantai yang telah diketahui dan yang tak diketahui. Karena itu, yang merupakan sebuah hukum pasti, eksistensi mereka adalah eksistensi kita juga. Singkatnya, kita adalah mereka.
Di sore hari, ada capung-capung selepas hujan, juga riap sejumlah kupu-kupu yang adakalanya terbang dan adakalanya singgah di kelopak bunga. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan kita tentang kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan mereka asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca.
Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang merasa kedinginan, dingin yang meresap pada bulu-bulu mereka. Tentulah di saat-saat seperti itu matahari sudah enggan menampakkan diri. Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dalam cuaca seperti itu sebenarnya kita tak hanya dapat memandangi capung-capung yang yang dapatlah kita umpamakan sebagai para peri mungil, sesekali juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang.
Getaran-getaran sayap-sayap mereka yang tipis itu adalah kiasan dari kematian yang menyamar sebagai keindahan dan kelembutan. Saya tergoda untuk mengandaikan mereka adalah maut yang bermain-main itu sendiri. Saya akan menyebut capung-capung itu sebagai peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok kematian yang memang tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami oleh keintiman bathin kita.
Dan di antara langit dan bumi tempat kita berada, ada makhluk bersayap yang mengudara. Manusia mencipta pesawat terbang ketika mereka belajar dan berguru dari alam, dari para burung alias para unggas. Berusaha menemukan apa saja, faktor apa, dan bagaimana supaya pesawat yang akan atau ingin mereka ciptakan bisa terbang sebagaimana para burung atau para unggas terbang? Bahkan bisa lincah bergerak dan bermanuver seperti halnya para burung dan para unggas bergerak, berpindah posisi, dan bermanuver dengan bebas dan lincah di udara.
Mula-mula manusia membuat sayap tiruan alias melakukan imitasi sederhana dari alam –dengan “mesin” sederhana, seperti yang dilakukan Ibnu Firnas dan kemudian Leonardo Da Vinci. Itulah mula industri penerbangan atau aviation industry dalam skalanya yang masih sederhana –yang kini telah mampu menciptakan pesawat-pesawat antariksa dan jet-jet tempur super-cepat.
Ketika merenungi atau belajar dan berguru dari dan kepada alam itulah, manusia jadi tahu ada matematika, geometri, hukum gerak, formasi dan lain sebagainya di alam atau semesta. Dan ikhtiar merenungi dan upaya untuk mengetahui “hukum” dan “rumus” alam itu sudah dilakukan para filsuf kuno dan manusia-manusia di jaman ribuan tahun sebelum masehi, semisal oleh manusia-manusia yang kemudian menciptakan peradaban-peradaban Mesir, Babilonia, Assiria, Median, dan Persia.
Temuan dan hasil penelitian sejumlah arkeolog, geolog, ahli purbakala, dan para sarjana lainnya bahkan telah menunjukkan bahwa manusia-manusia di jaman ribuan tahun sebelum masehi itu sudah sangat cerdas (barangkali malah lebih cerdas dari kita saat ini), utamanya dalam ilmu perbintangan, konstruksi, dan arsitektur. Para ilmuwan dan sarjana itu, misalnya, terkagum-kagum tentang bagaimana Persepolis di Persia, Borobudur di Indonesia, dan Piramida di Mesir dibangun dengan skala raksasa atau skala megastructure.
Hanya saja, dalam konteks tulisan ini, kita barangkali akan bertanya: Kenapa mesti unggas? Dan pelajaran atau filsafat apa yang bisa kita dapatkan dengan merenungi dan membaca hidup mereka? Di sini, kita memang harus membuang ego antroposentrik kita yang terlampau memandang manusia sebagai pusat semesta, atau apa yang kita sebut “virus Cartesian” itu, dan karena kita hidup dalam sebuah dunia yang bukan hanya kita, manusia, yang sama-sama ada. Yah, salah-satu pelajaran atau filsafat yang dapat kita petik adalah sifat simpati, kerjasama, dan solidaritas mereka dalam hidup. Para unggas, pada dasarnya, adalah juga makhluk politis seperti kita. Dan juga, yang mungkin akan mengejutkan, pelajaran tentang formasi militer di udara.
Tak seperti elang yang cenderung menyendiri, unggas hidup berkawan. Mandi bersama, tidur bersama, dan mencari makan bersama. Bila dilihat secara sosiologis, mereka lebih mencirikan diri sebagai masyarakat kolektif, meski mereka tidak menyebut diri mereka seperti itu. Apapun istilah yang ingin dilekatkan oleh para ilmuwan atau para pengamat, yah silahkan saja, “yang penting kami selalu bersama”. Kira-kira begitulah sikap politik mereka.
Ini adalah isyarat alam yang dahsyat. Kita tidak pernah menyadari keberadaannya karena semua berlalu secara alami. Padahal unggas mengajarkan kita banyak hal tentang arti tata-tertib, kekompakan, dan pertemanan: “politik solidaritas”. Di musim dingin, mereka bermigrasi ke Selatan, dan di musim panas mereka kembali ke kediaman asalnya di Utara. Lalu lihatlah formasi yang mereka bentuk di saat terbang bermigrasi itu. Mereka membentuk formasi huruf V. Bukan tanpa alasan, karena para fisikawan mencatat bahwa tingkat resistensi terhadap angin akan lebih rendah, dalam formasi seperti itu, dibandingkan dengan terbang sendiri. Ini jauh lebih bermanfaat bagi mereka guna memacu kecepatan.
Selanjutnya, bila ada anggota yang sakit, atau sayapnya kelelahan, lalu terlempar dari formasi, maka akan ada unggas yang lain yang datang mengapit untuk tetap terbang dalam formasi huruf V kecil yang baru. Dukungan sosial ini begitu penting, dalam menjaga kekompakan dan keberlangsungan hidup, agar yang lemah bisa tetap terbang dan tidak terjatuh sendirian. Berangkat bersama, terbang bersama, hingga sampai di tujuan juga bersama-sama. Seakan begitu filosofi mereka. Terbang sendirian bukan hanya soal keamanan, tetapi juga soal efektivitas kecepatan dan kepakan sayap. Inilah solidaritas yang secara politis dalam rangka “menjaga kekuatan tanpa harus menyingkirkan yang lemah”.
Kemudian, dan ini yang terpenting, setiap unggas saling bergantian mengambil alih komando. Bila si A kelelahan, maka si B dengan spontan menggantikannya. Tidak ada ketamakan untuk terus menjadi komandan. Juga tidak ada keinginan untuk mengkudeta kekuasaan. Semua bertindak menjadi “Imam” yang baik dan makmum yang juga baik. Beginilah harusnya kerja sebuah tim dalam membawa misi kesuksesan. Di sini, saya teringat motto kebersamaan dan bagaimana komunitas akan menjadi kuat, “Laa quwwata illa bil jama’ah, wa laa jama’ah illa bil imamah.”
Sulaiman Djaya, Esais, Penyair, dan Pengurus Majelis Kebudayaan Banten