JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Juru Bicara Amnesty International Indonesia Haeril Halim menilai langkah pemerintah menominasikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional merupakan bentuk pengkhianatan terbesar terhadap mandat reformasi.
Menurut Haeril, pemberian gelar tersebut sama saja dengan mengingkari perjuangan rakyat yang pada 1998 berhasil menjatuhkan rezim otoritarian Orde Baru.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam konferensi pers bertajuk Penolakan Gelar Pahlawan Soeharto: Impunitas dan Kejahatan Hak Asasi Manusia di Kantor KontraS, Jalan Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2025).
Haeril menegaskan bahwa upaya menominasikan Soeharto justru mengancam nilai-nilai reformasi yang selama ini diperjuangkan masyarakat Indonesia.
“Kami menganggap menominasikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional itu sebagai pengkhianatan terbesar terhadap mandat reformasi. Menghidupkan Soeharto lewat penganugerahan Pahlawan Nasional sama saja dengan mengakhiri reformasi itu sendiri,” ujar Haeril, dikutip dari NU Online, Jumat (07/11/2025).
Ia menambahkan bahwa catatan sejarah dan kajian akademik yang telah dipublikasikan menunjukkan keterlibatan Soeharto dalam berbagai pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta kerusakan lingkungan selama 32 tahun pemerintahannya.
“Nama Soeharto bukan hanya tidak layak dianugerahi gelar pahlawan, tetapi juga tidak pantas masuk dalam daftar nominasi,” terangnya.
Haeril juga menyoroti proses politik di balik usulan tersebut. Ia menilai keputusan akhir berada di tangan Istana dan Dewan Gelar yang saat ini diisi sejumlah tokoh yang memiliki kedekatan dengan keluarga Soeharto maupun Presiden Prabowo Subianto.
“Ini adalah ekosistem impunitas sempurna yang sedang dipertontonkan pemerintah,” tegasnya. “Dengan semua catatan kelam itu, bagaimana mungkin Soeharto yang menjadi simbol otoritarianisme dan pelanggaran HAM berat justru dinominasikan sebagai Pahlawan Nasional?” tambahnya.
Selain itu, Haeril menilai terdapat upaya sistematis untuk membersihkan sejarah kelam Orde Baru pada masa pemerintahan saat ini. Hal tersebut terlihat dari penulisan ulang sejarah, serta pernyataan sejumlah pejabat, seperti Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal kasus pemerkosaan massal pada 1998, dan Menteri Koordinator Yusril Ihza Mahendra yang tidak mengakui tragedi 1998 sebagai pelanggaran HAM berat.
Senada, Aktivis Asia Justice and Rights (AJAR) Kania Mamoto menilai bahwa nominasi tersebut mencerminkan budaya impunitas yang telah mengakar dalam sistem pemerintahan Indonesia.
“Soeharto ini adalah bentuk impunitas sempurna. Ketika gelar ini diberikan oleh Kementerian Kebudayaan, berarti impunitas menjadi budaya kita. Namun, apakah budaya Indonesia memang budaya impunitas budaya tanpa pertanggungjawaban ketika yang korup, yang salah, dan yang melakukan kekerasan tetap bisa memiliki kekuasaan?” ucapnya.
Menurut Kania, pemberian gelar tersebut tidak hanya melukai rasa keadilan para korban, tetapi juga mengancam integritas sejarah bangsa. Ia menilai langkah tersebut berpotensi menormalisasi kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi pada masa Orde Baru.
“Penghormatan nasional seperti gelar pahlawan harus dijalankan dengan integritas sejarah dan keadilan bagi korban. Bagaimana mungkin seorang pelaku yang membuat penderitaan rakyat Papua, Timor Leste, hingga Aceh, alih-alih dihukum dan dimintai pertanggungjawaban, justru mendapatkan gelar Pahlawan Nasional,” tegasnya.
Kania menekankan bahwa selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, tidak pernah ada proses hukum maupun akuntabilitas terhadap berbagai pelanggaran berat yang terjadi.
“Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan tanpa proses hukum dan tanpa akuntabilitas yang jelas hanya akan melemahkan kepercayaan publik terhadap demokrasi serta sistem hak asasi manusia di Indonesia,” pungkasnya.
Sumber: NU Online
Editor: Yuzep Ahmad
























