Jakarta, LIPUTAN 9
Dalam ceramahnya di saat memperingati hari kesyahidan Sayidina Husain yang oleh masyarakat kita dikenal sebagai Asyura, beberapa tahun silam, Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj menyatakan, “kita seharusnya menghayati apa arti Asyura, apa arti peristiwa Karbala ini sebagai mas’alatil Islam wal muslimin, sebagai tragedi yang menimpa umat Islam dan ajaran Islam itu sendiri.” Pernyataan beliau sungguh tepat dan relevan di tengah maraknya propaganda proxy yang menggunakan isu sektarian belakangan ini yang memassifkan fitnah bahwa peringatan Asyura hanya milik golongan tertentu saja.
Sementara itu, menurut Ali Syari’ati, contohnya, peristiwa Tragedi Karbala sebenarnya telah memberikan kepada kita tentang tiga gambaran dan karakter individu dan masyarakat, yang mungkin tetap relevan di setiap masa. Kelompok pertama –adalah mereka yang menyadari sebuah situasi yang tak hanya memerlukan kejuhudan semata untuk melakukan perubahan masyarakat dan situasi ke arah yang lebih baik, tetapi memang harus dengan tenaga dan jihad dalam arti fisik (yang dalam hal ini kesadaran dan perjuangan mereka untuk melawan tirani dan rezim despotik). Kelompok pertama ini tak lain adalah Imam Hussain dan para pengikutnya, yang memang selain merupakan pribadi-pribadi yang juhud, juga adalah individu-individu yang telah matang di medan laga demi mempertahankan kehormatan dan tonggak masyarakat yang berdiri di aras kebajikan dan keadilan, keteguhan demi menegakkan diri berhadapan dengan tirani.
Kelompok kedua –adalah orang-orang yang cenderung mencari jalan aman dan kepentingan diri sendiri, hingga memilih tidak berpihak kepada dua sudut yang tengah berlawanan. Dan kelompok yang ketiga–adalah mereka yang menjadi budak tirani dan tak sanggup melakukan kesadaran, di mana kelompok ini digambarkan lewat tokoh Syimir sang jagal kesayangan Yazid bin Muawwiyah dan Marwan ibn Hakam sang broker politik.
KARBALA SEBAGAI LENSA SEJARAH
Di mata Ali Syariati, sang filsuf dan sosiolog itu, Karbala adalah sebuah lensa sejarah di mana ummat Islam atau masyarakat mana pun dapat melihat pantulan kesadaran dan pelajaran tentang semangat kebebasan, kemanusiaan, dan sejarah itu sendiri dari gambar yang ditampilkannya kepada kita saat merenungi dan membaca peristiwa dan tragedi yang sangat keji dan berdarah tersebut. Sementara itu, Imam Hussain sendiri tak ubahnya “figur” yang dipinjam sebagai seorang saksi (syahid = yang menyaksikan) akan pentingnya kesadaran dan perlawanan untuk menolak tirani. Dengan demikian, secara kiasi, Peristiwa Karbala merupakan sebuah perumpamaan yang telah ditampilkan oleh sejarah di mana kita dapat memetik pelajaran atau pun refleksi kemanusiaan darinya, yang salah-satunya adalah penolakan terhadap tirani dan rezim yang despotik.
Figur Imam Hussain, demikian lanjut Ali Syariati, tak diragukan lagi merupakan figur dan contoh seseorang yang juhud, namun sekaligus seorang yang memiliki visi politik yang bertolak-belakang dengan tirani dan rezim despotik ala Yazid bin Muawwiyah yang meraih kekuasaannya dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan cita-cita etis dan politik kekuasaan itu sendiri. Bila demikian, Yazid bin Muawwiyah adalah seorang fasis dan despotik dalam arti yang nyata, sedangkan kekuasaan politiknya itu sendiri merupakan bentuk pengingkaran terhadap semangat keadilan dan tujuan politik itu sendiri. Sebaliknya, Imam Hussain, adalah sebuah simbol di mana politik dan kekuasaan tidak bisa dipaksakan tanpa kerelaan dan persetujuan ummat.
Kita tahu, di Karbala ribuan tahun silam itu, Imam Hussain dan para pengikutnya berjuang dengan sekuat tenaga dalam keadaan kehausan, dikepung oleh ribuan pasukan rezim despotik Yazid bin Muawwiyah dari segala sudut. Menurut catatan sejarah, Imam Hussein beserta para keluarga dan pengikutnya yang hanya berjumlah puluhan orang, itu terpaksa berjuang mempertahankan diri melawan ribuan pasukan Ubaydullah ibn Ziyad, Gubernur Kufah yang sangat patuh kepada Yazid demi mempertahankan kedudukannya sendiri sebagai gubernur. Alhasil, pertempuran itu memang lebih merupakan ladang pembantaian paling sadis dan keji dalam sejarah yang menimpa Imam Hussain dan para pengikutnya, meski mulanya Imam Hussain dan para pengikutnya telah membuat gugur ratusan tentara rezim tiran Yazid bin Muawwiyah.
Karbala, demikian masih menurut Ali Syariati, di sisi lain, juga menggambarkan sebuah situasi politik dan kondisi masyarakat yang tengah berada dalam situasi yang sulit dan tengah mengalami krisis kesadaran. Sebuah situasi dan kondisi ketika masyarakat kehilangan kesadaran dan keberanian untuk melawan tirani, hingga nyaris menganggap “wajar” despotisme Yazid bin Muawwiyah itu sendiri. Dalam situasi seperti itulah, Imam Hussain dan para pengikutnya merupakan pengecualian. Di mana Imam Hussain dan para pengikutnya mencerminkan individu-individu yang memiliki kesadaran untuk mendapatkan dan meraih kondisi politik yang lebih baik, semacam hijrah dalam arti yang sebenarnya, dari situasi politik yang lalim dan tiranis menuju masyarakat yang menjunjung keadilan dan martabat kemanusiaan. Yang kira-kira kalau dibahasakan dengan bahasa yang sederhana, adalah masyarakat kreatif yang sanggup menolong dirinya sendiri.
Jika demikian, Tragedi Karbala, sebagai lensa sejarah, memiliki makna yang tidak remeh. Sejumlah ulama dan penulis bahkan meyakini Karbala memang sebagai cermin untuk direnungi, mirip sebuah ajaran kiasi, di mana figur Imam Hussain beserta keluarga dan para pengikutnya yang setia itu sengaja dipinjam oleh Tuhan agar menjadi contoh dan teladan agar kita menjadi individu dan masyarakat yang kreatif, dapat menolong diri sendiri, dan sanggup melawan situasi dan keadaan yang akan memandulkan kreativitas dan kesadaran kita. Singkatnya, para syuhada di Karbala itu merupakan gambaran orang-orang yang memiliki kesadaran dan menolak tunduk kepada tirani dan ketidakadilan yang tengah menjelmakan dirinya dalam bentuk figur Yazid bin Muawwiyah, yang memang dalam beberapa hal tak ubahnya metamorfosis Fir’aun di jaman Nabi Musa.
Begitulah, karena koherensi dan relevansinya yang melampaui sekat-sekat dan batas-batas antara Sunni atau Syi’ah, atau bahkan relevan untuk seluruh ummat manusia, sebagaimana ditegaskan Annemarie Schimmel dengan merujuk sejumlah puisi sufi di kalangan Sunni tentang Asyura, Tragedi Karbala memang merupakan peristiwa sejarah yang menjelmakan dirinya sebagai lensa sejarah dan kiasan nyata di mana kita dapat mengambil atau “memetik” untaian-untaian makna yang terkandung dari peristiwa nyata sejarah tersebut.
Dalam esainya yang mencerahkan itu, Annemarie Schimmel menyatakan, “Tema penderitaan dan kesyahidan menempati peran sentral dalam sejarah agama sejak zaman yang paling dini. Sudah sejak dalam mitos-mitos kuno di Timur Dekat, kita telah mendengar tentang seorang pahlawan yang terbunuh, yang kematiannya menjamin lahirnya kembali kehidupan. Nama-nama Attis dan Osiris dalam tradisi Babilonia dan Mesir masing-masing merupakan contoh terbaik tentang tilikan tajam bangsa-bangsa kuno, bahwa tanpa kematian tidak akan ada kelanjutan kehidupan, dan bahwa darah yang tertumpah demi tujuan yang suci adalah lebih berharga daripada apapun yang lain. Pengorbanan adalah sarana untuk mencapai tahap-tahap kehidupan yang lebih tinggi dan lebih luhur. Memberikan dengan ikhlas sebagian dari harta kekayaan yang kita miliki, atau mengorbankan anggota-anggota keluarga, akan meningkatkan derajat keagamaan seseorang. Kisah Injil dan Al-Qur’an tentang Ibrahim yang demikian percaya kepada Tuhan sehingga, tanpa menanyakan apapun, bersedia mengorbankan anak lelaki satu-satunya, menunjuk kepada pentingnya pengorbanan seperti itu. Iqbal pastilah benar ketika dia menggabungkan, dalam sebuah puisi yang terkenal –Bal-I-Jibril-(1936)- pengorbanan Ismail dan kesyahidan Husain, yang keduanya merupakan awal dan akhir kisah tentang Ka’bah.”
Di sana, meski terjadi ribuan tahun silam, masih tetap terpancar sebuah pesan sekaligus kiasan dan “ibrah” bagi kita tentang nilai-nilai martabat dan keutamaan untuk menjadi manusia yang merdeka dalam segala situasi dan kondisi, untuk menjadi manusia yang kreatif dan senantiasa memiliki kesadaran dan lanskap-wawasan demi terus-menerus sanggup menentukan pilihan kita sendiri agar senantiasa menjadi individu dan masyarakat yang merdeka, secara lahir maupun bathin.
*Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Rakyat Sumbar, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, Banten News, basabasi.co, biem.co, buruan.co, Dakwah NU, Satelit News, simalaba, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain.
Sulaiman Djaya, Pimpinan Pondok Pesantren Insanul Falah