LIPUTAN9.ID – Pilpres 2024 sudah usai. Hasil hitung cepat semua lembaga survei kredibel mengungkap pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menang telak. Di kisaran angka 58 persen. Perolehan suara yang sangat fantastis di luar prediksi banyak kalangan. Kesimpulan utama dari kemenangan paslon nomor dua ini terletak pada rekonsiliasi politik Jokowi dan Prabowo Subianto. Bertemunya loyal voter dari dua sosok yang memiliki magis elektoral tak tergantikan sepanjang sepuluh tahun terakhir ini.
Meski hasil hitung cepat bukan hasil resmi KPU, dan hanya bagian partisipasi politik rakyat sesuai UU Pemilu nomor 7 Tahun 2017, tapi jika menilik quick count pilpres sebelumnya, secara sahih tak bisa dibantah bahwa hasil hitung manual KPU dan hitung cepat nyaris sama. Tak ada perbedaan signfikan. Presisi dan sangat meyakinkan bahwa bisa dipastikan pilpres 2024 satu putaran untuk kemenangan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka.
Terlepas dari sekian banyak kontroversi sepanjang pilpres 2024 berlangsung, namun satu hal yang menarik, semua politisi harus belajar banyak dari Prabowo Subianto. Figur sentral yang selalu menjadi spotlight pembicaraan politik papan atas sepanjang 15 tahun belakangan. Sepertinya Prabowo punya filosofi hidup yang melekat kuat ‘Tentara Tak Pernah Mati’. Satu gambaran politik tentang pentingnya pengabdian dan pertarungan politik untuk negeri.
Di berbagai kesempatan Prabowo selalu menegaskan siap menghibahkan seluruh hidupnya untuk bangsa dan negara. Siap mempertaruhkan jiwa dan raga memperbaiki negeri. Satu spirit yang melekat bahwa Prabowo tak pernah menyerah untuk menjadi orang nomor satu di negara ini. Tiga kali ikut pilpres kalah tak membuat Prabowo tumbang. Kini, di pertandingan pilpres yang keempat kalinya, takdir politik itu menjadi nyata. Prabowo potensial terpilih menjadi presiden RI 2024.
Kesabaran Revolusioner
Tak banyak orang, aktor politik, dan politisi yang memiliki kesabaran revolusioner seperti Prabowo Subianto. Kalah pilpres 2009 saat menjadi cawapres Megawati Sukarnoputri tak membuat Prabowo patah arang. Di dua pilpres setelahnya, yakni pilpres 2014 dan 2019, Prabowo maju ke gelanggang politik melawan Jokowi. Meski kalah di dua momen politik elektoral itu, tak lantas membuat Prabowo surut ke belakang.
Kalah Pilpres 2014 Prabowo langsung deklarasi memimpin barisan oposisi. Berada di luar kekuasaan. Meski partai politik pengusungnya saat itu terutama PPP, Golkar, dan PAN pindah haluan merapat ke Jokowi, tapi Prabowo Bersama Gerindra tetap memilih jalan sunyi di jalur oposisi. Pilihan tak mudah memang, pahit, rumit, dan sepi. Prabowo ditinggal teman koalisinya. Hanya PKS yang setia tak ikut masuk barisan kaolisi pemenang.
Prabowo juga kalah di pilpres 2019 saat kembali menantang Jokowi untuk yang kedua kalinya. Prabowo terus dikritik, bully, dihina, direndahkan, dan seterusnya karena kalah politik untuk yang ke sekian kalinya. Beda dengan pilpres 2014, tak lama setelah pilpres 2019 usai, Prabowo langsung mengumumkan koalisi politik pendukungnya dibubarkan. Partai pendukungnya dibiarkan bebas menentukan pilihan politik masing-masing.
Di masa awal kekuasaan kedua Jokowi, Prabowo memutuskan berkoalisi dengan Jokowi. Langkah politik yang membuat semua kalangan terhenyak. Bagaimana mungkin dua figur kunci yang menjadi simbol pembelahan Cebong dan Kampret bersatu dalam koalisi Bersama. Tak masuk akal, tak rasional, sulit difahami logika awam. Tapi itulah realitas politiknya. Jokowi dan Prabowo menyatu atas nama rekonsiliasi politik nasional demi menghindari pembelahan politik yang kian ekstrem.
Terbukti memang, setelah Prabowo memutuskan berkoalisi dengan Jokowi, didapuk sebagai Menhan, resistensi dan ketegangan politik tak seperti 2014. Suasana politik kondusif, landai, dan tanpa hingar-bingar berlebihan. Menyatunya Jokowi dan Prabowo seakan menjadi berkah, semacam modal sosial, bagi bangsa yang tak lama setelah itu menghadapi badai Pandemi Covid yang mengerikan.
Bisa dibayangkan jika Prabowo masih oposisi dan terus melawan Jokowi. Betapa suasana mencakam Covid makin menyedihkan karena elit saling berseteru. Justeru di masa Covid Prabowo terlihat paling banyak diandalkan Jokowi. Terutama untuk mencari akses terkait cara menanggulangi wabah pandemik mematikan itu.
Dari sinilah kemudian mulai terlihat bulan madu politik Jokowi dan Prabowo terbangun. Posisi Prabowo yang nota benenya ketua umum Gerindra membuat Jokowi terasa nyaman. Bukan hanya lolayalitas tanpa batas yang kerap dipertontonkan Prabowo ke Jokowi, tapi ‘backingan’ politik Gerindra penting bagi Jokowi di tengah naik turun hubugan politiknya dengan PDIP. Jika pada suatu waktu Jokowi tampak tak happy dengan PDIP, pada saat bersamaan Prabowo dengan Gerindra memberikan rasa nyaman.
Pelajaran Penting
Banyak pelajangan penting yang bisa dipetik dari kemenangan Prabowo di pilpres 2024 versi hitung cepat. Pertama, Prabowo mempraktikkan satu diktum politik bahwa dalam politik tak ada lawan dan kawan abadi yang abadi adalah kepentingan itu sendiri. Terlepas apapun motif politik Prabowo bergabung dengan Jokowi, di situ bisa berdebat panjang, namun satu hal yang pasti, Prabowo mampu meyakinkan Jokowi mengajak gerbong politiknya mendukung Prabowo yang salah satunya tentu karena faktor Gibran Rakabuming Raka.
Kedua, Prabowo mengajarkan semangat pantang menyerah bahwa dalam politik tak ada ‘kematian abadi’. Boleh sekali mati dalam politik, setelah itu bisa hidup berungkali. Setelah tiga kali kalah pilpres sejak 2009 hingga 2019, publik meyakini karir politik Prabowo tamat bin wassalam. Nyata tidak. Prabowo bangkit, lalu mendapat momentum politik, didukung Jokowi, setelah itu menang pilpres meski sejauh ini versi hitung cepat. Praktis kartu politik Prabowo hidup kembali secara otomatis. Ke dapan, Prabowo pasti akan menjadi figur paling sentral determinan dalam menentukan konfigurasi politik elektoral.
Ketiga, kesabaran revolusioner. Entah kesabaran apa yang Prabowo punya, dari perjalanan politiknya yang begitu panjang, Prabowo dihadapkan pada situasi tak menguntungkan. Bahkan dalam banyak hal sangat merugikan dirinya. Prabowo dua kali kalah pilpres berhadapan dengan Jokowi yang pernah ia dukung maju pilkada DKI Jakarta. Pernah juga ada cerita soal pengingkaran kerjasama batubulis yang merugikan Prabowo.
Lalu, secara faktual harus melawan Anies Baswedan di pilpres 2024, sosok yang juga pernah Prabowo usung di pilgub Jakarta. Terakhir dikritik keras lantaran berkongsi dengan Jokowi. Tapi semua itu tak membuat Prabowo mundur dan surut ke belakangan. Sebaliknya, Prabowo mampu membalik keadaan dengan menang pilpres.
Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik dan Dosen Politik FISIP UIN Jakarta.