Jakarta | LIPUTAN9NEWS – DPR RI secara resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam rapat paripurna, di Gedung DPR Senayan Jakarta Pusat, Jumat (20/03/2025).
Pengesahan ini merupakan momen penting yang harus dikaji secara mendalam dan dipahami oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU). Mengingat implikasi strategisnya terhadap supremasi sipil, demokrasi, serta stabilitas sosial-politik di Indonesia.
Sebagai aktifis mahasiswa Nahdlatul Ulama, kita memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk mengkaji perubahan dalam undang-undang ini dengan mempertanyakan siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana kebijakan ini berpengaruh terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Jika menggunakan paradigma kritis yang menekankan bahwa hukum bukanlah entitas netral, tetapi merupakan produk dari dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang bisa memperkuat atau justru melemahkan kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, revisi UU TNI ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni bagaimana ia memengaruhi relasi kekuasaan antara militer, pemerintah, dan masyarakat sipil.
1. Tinjauan Kritis terhadap Substansi UU TNI yang Baru
Beberapa poin penting dalam revisi UU TNI yang perlu dikritisi adalah:
a. Kewenangan TNI dalam Ranah Sipil
Revisi UU TNI membuka peluang bagi militer untuk lebih aktif terlibat dalam urusan sipil dengan dalih pertahanan dan keamanan nasional. Hal ini terlihat dari perubahan pasal yang memberikan wewenang lebih besar kepada TNI dalam menangani ancaman non-militer, seperti terorisme, bencana alam, dan konflik sosial.
Dari perspektif paradigma kritis, perlu dipertanyakan apakah pelibatan TNI dalam ranah sipil ini merupakan langkah yang diperlukan atau justru menjadi ancaman bagi supremasi sipil. Sejarah mencatat bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil sering kali membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan dan menghambat demokratisasi.
b. Kedudukan dan Akuntabilitas TNI
Dalam revisi ini, kedudukan TNI tetap berada di bawah presiden dalam hal pengerahan kekuatan, sementara strategi pertahanan dan administrasi berada dalam koordinasi Kementerian Pertahanan. Secara normatif, ini terlihat sebagai upaya menjaga keseimbangan kontrol sipil terhadap militer. Namun, dalam praktiknya, adanya ruang bagi TNI untuk lebih leluasa dalam pengambilan keputusan operasional bisa memperlemah mekanisme check and balance.
Apakah ada mekanisme pengawasan yang cukup ketat untuk memastikan bahwa kekuatan militer tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik atau kelompok tertentu? Bagaimana mekanisme akuntabilitasnya terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh institusi militer? Ini adalah pertanyaan yang perlu dijawab secara jelas oleh pembuat kebijakan.
c. Potensi Kembalinya Dwifungsi ABRI
Salah satu yang menjadi kekhawatiran terbesar masyarakat sipil adalah kemungkinan kembalinya dwifungsi militer dalam berbagai aspek kehidupan sosial-politik. Kita harus belajar dari sejarah bahwa dominasi militer dalam pemerintahan pada era Orde Baru menyebabkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan menghambat demokrasi.
Meskipun dalam revisi UU ini tidak secara eksplisit menyebutkan peran TNI dalam bidang politik, beberapa klausul membuka peluang bagi militer untuk kembali berperan aktif di luar tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara. Misalnya, dalam bidang ketahanan nasional, TNI diberikan ruang untuk terlibat dalam urusan ekonomi, sosial, dan politik dengan alasan menjaga stabilitas negara.
Kita harus kritis dalam melihat implikasi ini. Jangan sampai dalih stabilitas negara dijadikan alat untuk mengontrol ruang gerak masyarakat sipil dan meredam kebebasan demokratis yang telah diperjuangkan sejak Reformasi.
2. Implikasi Revisi UU TNI terhadap Demokrasi dan Supremasi Sipil
Dalam perspektif keislaman, Nahdlatul Ulama selalu menekankan pentingnya keadilan sosial dan keseimbangan dalam kekuasaan. Salah satu prinsip yang dijunjung tinggi dalam tradisi ahlussunnah wal jamaah adalah konsep “al-adalah” (keadilan), di mana setiap bentuk kekuasaan harus memiliki sistem pengawasan dan tidak boleh digunakan untuk menindas rakyat.
Dengan adanya revisi UU TNI ini, kita harus mengawasi dampaknya terhadap:
1. Kebebasan Sipil: Apakah perubahan ini berpotensi membatasi hak-hak sipil, seperti kebebasan berpendapat dan berserikat?
2. Supremasi Hukum: Apakah ada jaminan bahwa militer tetap tunduk pada hukum yang berlaku dan tidak kebal hukum dalam kasus-kasus pelanggaran HAM?
3. Dinamika Politik: Apakah revisi ini membuka jalan bagi aktor militer untuk semakin masuk dalam ranah politik dan pemerintahan?
Paradigma kritis mengajarkan bahwa hukum bukan sekadar teks, tetapi juga alat kontrol sosial. Jika undang-undang ini tidak dikawal dengan baik, ada potensi bahwa ia akan digunakan sebagai instrumen untuk memperkuat kontrol negara terhadap masyarakat dengan justifikasi keamanan nasional.
3. Seruan untuk aktifis mhasiswa NU: Menolak Militerisme, Mengawal Demokrasi
Sebagai mahasiswa NU, kita harus bersikap proaktif dalam mengawal kebijakan publik yang berdampak luas terhadap demokrasi dan hak-hak sipil. Oleh karena itu, kami menyerukan beberapa poin berikut:
1. Menolak segala bentuk militerisme dalam ranah sipil. Negara demokratis harus memastikan bahwa kekuatan militer tidak digunakan untuk mengontrol masyarakat, melainkan hanya untuk fungsi pertahanan.
2. Memastikan mekanisme pengawasan yang kuat terhadap TNI. Harus ada transparansi dalam anggaran, kebijakan, dan operasi militer agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
3. Mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam evaluasi kebijakan pertahanan. Keamanan nasional tidak boleh menjadi domain eksklusif pemerintah dan militer, tetapi harus melibatkan masyarakat.
4. Menolak segala bentuk regulasi yang berpotensi mengembalikan dwifungsi militer. Jangan sampai revisi UU ini menjadi langkah mundur bagi demokrasi Indonesia.
5. Mengajak seluruh elemen mahasiswa untuk terus melakukan kajian kritis dan advokasi. Mahasiswa NU memiliki peran strategis dalam mengawal kebijakan publik dengan perspektif yang berbasis pada keadilan sosial dan nilai-nilai demokrasi.
Penutup
Revisi UU TNI yang disahkan hari ini bukan hanya soal perubahan regulasi, tetapi juga soal arah demokrasi Indonesia ke depan. Mahasiswa NU harus berdiri di garis depan dalam mengawal kebijakan ini agar tidak menjadi alat untuk memperkuat militerisme di Indonesia.
Sebagaimana yang diajarkan dalam tradisi NU, kita harus selalu bersikap kritis terhadap segala bentuk kekuasaan yang berpotensi menindas rakyat. Dengan semangat Islam rahmatan lil alamin, kita harus memperjuangkan negara yang demokratis, adil, dan berkeadaban.
Kawal Demokrasi! Tolak Militerisme!