LUMAJANG | LIPUTAN9NEWS
Orang lain, hanya bisa memandang kesuksesan seseorang pada saat wisuda dan tasmi’ tahfidz al-Qur’an, mereka tidak tahu dibalik kesuksesannya dalam menorehkan sebuah sejarah hidupnya menjadi seorang penghafal al-Qur’an.
Perjuangan para penghafal Al-Quran adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan keikhlasan. Mereka menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal, dalam menghafal, menjaga, dan mengamalkan isi Al-Quran. Namun, di balik perjuangan itu, terdapat banyak keutamaan dan pahala yang dijanjikan, baik di dunia maupun di akhirat.
Semangat menghafal bisa naik turun, membutuhkan kesadaran dan tekad yang kuat untuk terus menjaga motivasi. Menghafal tanpa memahami makna ayat bisa membuat hafalan kurang bermakna dan sulit diamalkan. Kehidupan sehari-hari yang sibuk seringkali menjadi penghalang untuk fokus menghafal.
Lupa adalah hal yang wajar, tapi perlu diatasi dengan muroja’ah (mengulang hafalan) secara teratur.
Penghafal Al-Quran diharapkan menjadi teladan dalam akhlak, sehingga godaan untuk bermaksiat harus dihindari.
Tidak semua lingkungan memberikan fasilitas dan dukungan yang memadai untuk menghafal Al-Quran.
Kebutuhan ekonomi dan tuntutan sosial seringkali menjadi beban yang menghalangi fokus menghafal.
Di daerah dengan kondisi sulit, seperti Palestina, menghafal Al-Quran bisa menjadi lebih berat karena situasi yang tidak menentu.
Kurangnya akses ke guru, tempat belajar, atau sumber belajar yang memadai bisa menjadi kendala.
Al-Quran akan memberikan syafaat (pertolongan) bagi penghafalnya di hari kiamat.
Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi penghafal Al-Quran.
Orang tua penghafal Al-Quran akan mendapatkan mahkota dan pakaian kemuliaan di akhirat.
Penghafal Al-Quran memiliki kedudukan yang tinggi di dunia karena kemuliaan ilmunya.
Penghafal Al-Quran akan mendapatkan kebaikan baik di dunia maupun di akhirat.
Hafalan Al-Quran yang diamalkan akan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.
Menghafal Al-Quran membantu membentuk akhlak yang mulia karena terinspirasi dari nilai-nilai Al-Quran.
Kisah para penghafal Al-Quran bisa menjadi motivasi dan inspirasi bagi orang lain.
Well, serba serbi kisah puteri kedua saya yang bernama mbak Aghisna Najwa Salsabila yang populer dengan panggilan Najwa atau Nana, cukup mengharukan pasalnya untuk mencapai target setoran hafalannya ia kadang dijemur dibawah terik matahari.
Segampang itu, pernah suatu ketika ia terjangkit penyakit cacar yang menular, sebagai langkah antisipatif pihak pengurus membuat kebijakan cukup ekstrim dengan merelokasi anak saya kegudang sendirian selama beberapa bulan. Selama digudang itu, ia manfaatkan untuk menajamkan hafalannya sehingga mampu menghantarkan dirinya menjadi peserta wisudawati tahfidz al-Qur’an 30 juz. Ini kadang tidak diketahui oleh orang lain. Mereka hanya menikmati hasilnya tidak pernah tahu proses perjalanan panjangnya yang cukup dramatis. Tapi seperti itulah, jika ingin mengabdi penghafal al-Qur’an yang mutqin, harus berbagi keluar dari zona nyaman jangan menjadi pribadi rebahan yang selalu hape-hapean dirumah.
Mengutip dari tulisan Muhammad Iqbal yang mengatakan bahwa tantangan terbesar dan terberat dalam menghafal Al-Qur’an memanglah tidak mudah, selalu saja ada rintangan dan ujian agar anak saya bisa benar-benar menghafalkannya. Salah satunya yang harus melewati semua rintangan tersebut adalah Aghisna Najwa Salsabil remaja 15 tahun yang berasal dari Kabupaten Bondowoso Jawa Timur yang tengah berjuang dalam melawan rasa malas dan terpaksa menghafal Qur’an di sebuah ponpes di Yahtadi Lumajang karena keinginan dirinya dan kedua orang tuanya. Najwa begitulah ia disapa adalah tiga bersaudara dari orang tuanya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Bondowoso sedangkan ayahnya seorang dosen dan praktisi serta penulis ratusa buku yang terbit ber-ISBN. Saudari sulungnya yang bernama Puteri Ani Nurisma, SM., al-Hafidzah saat ini baru selesai gelar sarjananya dan tahfidznya di Yogyakarta.
Syahdan, puteri saya itu mengaku, awal perjalanannya menghafal Qur’an merupakan keinginannya dan keinginan dari kedua orang tuanya. Bahkan, awalnya ia sempat apatis dan pesimis menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Namun hal itu berubah tatkala ia memasuki dan menginjakan kakinya di pondok pesantren Yahtadi Lumajang
Di tengah lingkungan dan teman-teman penghafal Qur’an, ia justru termotivasi untuk menuntaskan hafalan 30 juz di pondok pesantren tersebut. Meski demikian ia menuturkan bahwa pernah merasa malas dan bosan dalam menghafalkan Al-Qur’an. Akan tetapi, rasa malas dan bosan tersebut senantiasa kalah oleh kuat dan bulatnya motivasi dalam menghafalkan Al-Qur’an 30 juz serta orang tua menjadi alasan pertama untuk Najwa berusaha keras menjadi seorang hafidz Qur’an 30 juz.
“Ada rasa malas bosan bahkan terkadang menyerah untuk lanjut menghafal hafalan baru, tapi Najwa masih punya orang tua yang senantiasa mendoakan untuk Najwa dan menyemangati Najwa tatkala merasa bosan dan malas. Serta para ustadz dan teman Najwa juga selalu menyemangati Najwa di pondok,” tuturnya.
Najwa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah separuh hidupnya. Al-Qur’an menjadikan hidupnya lebih terarah, sehingga dirinya senantiasa semangat dalam menghafalkan dan mempertahakan hafalannya agar tidak hilang pergi dari pikiran dan hidupnya.
Kemudian Najwa teringat akan tafsir atau inti sari dari sebuah hadist yang membuatnya semangat menghafal Qur’an,bahwa barang siapa membaca Al-Qur’an kemudian mempelajarinya dan mengamalkannya maka ia akan diberikan mahkota oleh Allah disurga kelak. Sinarnya lebih terang dari pancaran sinar matahari. Saat itu disaksikan oleh seluruh makhluk hidup yang ada disana
Najwa atau Nana menerangkan lebih lanjut, bahwa untuk menghafalkan Al-Qur’an butuh banyak sekali pengorbanan dan perjuangan. Ia mengaku mengorbankan waktu tidur siang dan malamnya hanya untuk menghafal dan menjaga Al-Qur’an.
Najwa atau Nana memiliki cara tersendiri dalam menghafalkan Al-Qur’an, yaitu setiap malam ia menghafalkan sebanyak satu lembar kemudian mengulangnya kembali di siang hari sebanyak dua lembar. Sehingga setiap akhir bulan dapat dipastikan Najwa dapat menghafal dan menghabiskan lebih dari setengah juz Al-Qur’an.
Dan diketahui Najwa yang tergabung dengan komunitas santri penghafal al-Qur’an dibawah bimbingan guru tugas Lirboyo asal Probolinggo yang mengungkapkan bahwa santri-santrinya diarahkan dan digembleng setiap hari agar selalu lancar dalam menghafal dan mengulang hafalan Al-Quran.
Lika-liku Perjuangan Penghafal Al-Qur’an
Harus diakui, menghafal Al-Qur’an memang tidak semudah membalik tangan. Bagi yang belum terbiasa, aktivitas ini bisa jadi sangat membosankan bahkan jenuh, namun bagi orang-orang yang sudah mampu merasakan nikmatnya menghafal, hal ini terasa sangat menyenangkan laiknya seorang pujangga yang mendendangkan puisi-pusi untuk kekasih tercintanya.
Salah satu kemukjizatan Al-Qur’an yang bisa dirasakan oleh umat Muslim hingga hari ini adalah bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang masih terpelihara otentisitasnya dan bisa dihafalkan oleh semua orang, termasuk orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren sekalipun. Mengapa demikian? Jawabannya, karena Al-Qur’an adalah firman Allah yang terkandung bermilyar-milyar ilmu pengetahuan. Bahkan, Allah sendiri pun menjanjikan bagi siapa saja yang mengambil pelajaran (menghafalkan) teksnya akan diberi kemudahan. (QS. Al-Qamar: 17).
Alaa kulli hal, saya tertegun sejenak dan ingat pada awal perjalanan penuju ilmu seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Mas’ud yang lahir di suku Banu Hanzalah dari klan Quraisy di Mekah.
Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai seorang pemuda yang cerdas dan penuh semangat dalam mencari ilmu. Namun, hal yang paling membedakan dirinya adalah tekad kuatnya untuk mendalami ajaran Islam.
Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW telah mulai menyampaikan pesan Islam kepada penduduk Mekah. Abdullah bin Mas’ud, yang merindukan petunjuk, mendengarkan dakwah Rasulullah dan dengan cepat memutuskan untuk mengikuti ajaran-Nya. Dia adalah salah satu sahabat awal Nabi yang menerima ajaran Islam dan berkomitmen untuk memahami dan mengamalkannya.
Mendekatkan Diri pada Al-Qur’an. Salah satu ciri khas Abdullah bin Mas’ud adalah kecintaannya pada Al-Qur’an. Dia adalah salah satu dari sedikit sahabat yang diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi sering memanggil Abdullah untuk membaca Al-Qur’an dan menghafalkan ayat-ayat suci ini
Abdullah bin Mas’ud adalah seorang penghafal Al-Qur’an yang ulung. Dia menghafal setiap kata dan ayat dengan teliti dan penuh kesungguhan. Setiap kali wahyu baru turun, dia segera mencatatnya dalam hati dan ingatannya. Ketekunan dan kesabaran dalam menghafal Al-Qur’an adalah salah satu ciri khas utamanya.
Keluasan Ilmu dan Khidmatnya kepada Al-Qur’an. Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu adalah salah satu sahabat mulia yang memiliki keluasan ilmu tentang Al-Qur’an Al-Karim.
Dalam buku at-Tarikh al-Islami, Abu Masud al-Anshari berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengetahui ada orang lain sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang lebih mengetahui tentang Kitabullah daripada Abdullah bin Masud.”
Sebelumnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menasihati para sahabatnya untuk mempelajari Al-Quran dengan empat sahabat utama.
Beliau pertama kali menyebutkan Abdullah bin Masud di antara empat sahabat tersebut. Dia menyatakan, “Ambillah Al-Quran dari empat orang: Abdullah bin Masud, Muadz bin Jabal, Ubay bin Kaab, dan Abu Hudzaifah dari Salim.” Menurut HR Muslim, nomor 4504
Selain itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menyifati bacaan Al-Quran Abdullah bin Masud dengan cara yang sama seperti yang dilakukan ketika Al-Quran diberikan. Salah satu keistimewaan Ibnu Masud adalah keberaniannya untuk menunjukkan iman kepada orang-orang kafir Quraisy. Dia berkata,
“Barangsiapa senang membaca Al-Quran dengan benar sebagaimana ketika diturunkan, maka hendaklah ia membaca berdasarkan bacaan Ibnu Ummi Abd.” (HR. Ibnu Majah, no. 135).
Urwah bin Zubair mengatakan bahwa Abdullah bin Masud adalah orang pertama yang membaca Al-Quran dengan lantang di Makkah Al-Mukarramah setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Saat itu, beberapa sahabat Nabi bertemu dan berbicara tentang orang-orang kafir Quraisy yang tidak pernah mendengarkan Al-Quran di hadapan orang banyak.
Selanjutnya, teman-teman berselisih untuk menentukan siapa yang akan membacanya di hadapan masyarakat Quraisy. Ibnu Masud dengan cepat menyatakan kesiapan untuk melakukannya.
Namun, seorang teman mengatakan kepadanya, “Wahai saudaraku, kami takut mereka akan menyakitimu karena engkau tidak memiliki keluarga yang akan membelamu.”
Kami mengharapkan pria dengan kaum kerabat yang akan membelanya. Kemudian sebagian sahabat lain mengingatkan,
“Saudaraku, Sesungguhnya Allah akan bersamanya.”
Setelah keputusan dibuat, Ibnu Masud segera pergi ke tempat orang-orang Quraisy berkumpul. Di tengah orang banyak, dia membaca basmallah dengan lantang dan melantunkan ayat pertama dan kedua dari Surat Ar-Rahman
(الرَّحْمَنُ* عَلَّمَ الْقُرْآنَ).
Orang-orang Quraisy bersahutan, “Apa yang kamu lakukan, wahai Ibnu Ummi Abd?” saat ayat suci dibacakan.
Kaum kafir Quraisy berduyun-duyun menghampiri Ibnu Masud untuk mengeroyok dan memukulnya, tetapi Ibnu Masud tidak langsung menyerah dan pergi menjauh. Beliau tidak berhenti membaca hingga dia sampai pada ayat yang Allah ingin dia selesaikan.
Setelah kaum Quraisy meninggalkannya, Ibnu Masud dengan tergesa-gesa kembali ke sahabatnya yang masih ada.
Mereka berkata, “Wahai saudaraku, inilah yang kami takutkan akan terjadi padamu,” karena keadaan yang tidak baik.
Dengan tegas, Ibnu Masud menjawab, “Sekarang tidak ada lagi musuh Allah yang saya anggap lebih mudah dihadapi daripada mereka.”
Jika kalian menginginkanku untuk melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, maka besok saya akan melakukannya.
“Tidak perlu, saudaraku,” kata sahabatnya. Anda telah menyampaikan apa yang mereka benci.
Abdullah bin Mas’ud tidak hanya menghafal Al-Qur’an tetapi juga menjadi seorang ulama besar dalam Islam. Dia memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran-ajaran Islam dan berbagi pengetahuannya dengan umat Muslim. Para sahabat lainnya sering datang padanya untuk belajar tafsir Al-Qur’an, ilmu hadis, fiqh, dan aqidah.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud diangkat sebagai kepala pengajar di Mekah. Peran ini memungkinkannya untuk membimbing generasi baru Muslim dalam memahami Al-Qur’an dan ajaran Islam dengan benar.
Kisah Abdullah bin Mas’ud adalah cerminan dari seorang muslim yang sungguh-sungguh mendekatkan diri pada Al-Qur’an. Perjalanan hidupnya yang penuh dedikasi, penghafalan yang luar biasa, dan komitmennya terhadap ilmu dan ketakwaan telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Islam. Semangatnya yang abadi dalam mencintai dan menghormati Al-Qur’an menginspirasi kita semua untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam hidup kita.
Salam akal sehat, Yahtadi Lumajang, 30 Juli 2025
Dr. KH. Muhammad Saeful Kurniawan, MA, Penulis buku Desain Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Teori dan Praktik Penelitian
























