LIPUTAN9.ID – Viral di media sosial seseorang dari kalangan Sumpek (sumbu pendek) ngamuk di salah satu masjid di Surabaya setelah melihat alat rebana (dufuf). Sumbu pendek sebutan lain dari kaum sawah (salafi-wahabi) karena pendeknya pemahaman mereka dan dangkalnya wawasan keislaman mereka. Mereka memotret satu dalil secara leterlek tanpa disertai ilmu yang mumpuni dalam meramu dan menggunakan (istinbath) dalil tersebut.
Kasus di Jawa Timur salah satu bukti dari sekian banyak kasus. Mereka ngamuk dan mengharamkan semua orang hanya karena melihat rebana yang diidentikkan dengan alat musik yang haram hukumnya.
Banyak dalil-dalil yang terkait dengan musik. Namun adakalanya dalil-dalil tersebut tidak dipahami secara tersendiri (mutlak). Tapi diposisikan secara moqoyyad. Artinya antara satu dalil dengan dalil lainnya saling menafsir dan melengkapi agar tidak kontradiksi.
Saya tidak akan mengutip semua dalil biar simpel bacanya. Yang penting mewakili (representasi) dari obyek masalah. Diantara dalil tersebut:
- Dari Ibnu Mas’ud : “lagi atau nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati” – HR. Abu Dawuf
- “Akan ada longsor, malih rupa, kerusuhan! “Kapan ya Rosul?”. “Apabila telah muncul biduwanita, alat musik, dan minuman keras ditengah umatku” – HR. Turmudzi
- Dari Aisyah ra : “Suatu hari (hari buats) aku bersama dua budak sedang berdendang. Saat itu Abu Bakar masuk dan marah dan berkata; di tempat Nabi ada seruling setan?. Rasul kemudian bersabda :”Biarkanlah keduanya hai Abu Bakar!” – HR. Bukhori-Muslim
- Dari Buroidah : suatu hari ada yang bernadzar, jika Rosulullah selamat dalam sebuah peperangan, ia akan menabuh dufuf dan bernyanyi dihadapan Rosul. Mendengar itu, Rosul bersabda :” Jika demikian nadzarmu tabuhlah, jika tidak jangan lakukan!” – HR. Ahmad dan Turmudzi
- Dari Abi Malik al-Asy’ari Rosul bersabda : Sekelompok umatku akan minum khomr -dengan penyebutan lain- kemudian ada biduwanita, kemudian pemusik mendatangi mereka. Lalu diadakanlah pertunjukan dihadapan mereka (pemabuk)!” HR. Bukhori dan Ahmad.
Dari gambaran dalil-dalil diatas bisa diurai aksentuasi hukumnya sebagai berikut:
Secara umum (am) bernyanyi dilarang sebagaimana riwayat Ibnu Mas’ud. Tapi larangan ini ditakhshis oleh hadits riwayat Siti Aisyah. Artinya bernyanyi untuk moment penting, hari raya, moment bahagia, nikah, hajat tertentu dan nadzar tertentu hukumnya diperbolehkan. Yang penting jangan menimbulkan syahwat, tetap santun dan tidak membuat lalai (lahwun) terhadap kewajiban.
Beberapa alat musik dilarang sebagaimana hadits Imam Turmudzi. Tapi hadits ini tidak bisa dipahami secara mutlak. Sebab posisinya muqoyyad (membacanya dikaitkan dengan dalil lain). Maksudnya, untuk bisa memahami substansi hadits tersebut, mesti membaca hadits lain yang secara substansial memudahkan kita memahami maksud disyariatkannya (maqhosid-syar’iyah) larangan tersebut.
Hadits Imam Turmudzi muqoyyad dengan hadits Imam Bukhori- Imam Muslim dimana alat musik itu menjadi media (kebiasaan kaum saat itu) pesta poranya para pemabuk dan gaya hidup glamor.
Oleh sebab itu, jika alat-alat musik menjadi media sebaliknya (bukan untuk pesta pora, glamour, hedon dan lain sebagainya), seperti mengiringi lagu-lagu religi, membangkitkan nasionalisme, patriotisme tentu tidak termasuk dalam kategori yang dilarang.
Hadits Imam Ahmad dan Imam Turmudzi tentang nadzar orang ingin bersenandung sambil menabuh tetabuhan, yang ketika hal itu disampaikan kepada baginda Rosul, beliau tidak melarang bahkan meminta untuk menunaikan hajat itu.
Inilah metode istinbath maqhosidi dalam mengkaji dalil.
Maka, urusan musik adalah urusan khilafiyah, jangan fanatik apalagi kaku, baik yang membolehkan maupun yang melarang. Golongan kibar-ulama yang melarang musik : Mujahid, Said bin Zubair, Qotadah dan lain-lain. Golongan kibar-ulama yang membolehkan musik : Imam Malik, Imam Jakfar, Daud ad-Dzahiri dan lain-lain.
KH. Khotimi Bahri, Syuriah PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor dan mengabdi sebagai Dosen Ushul Fiqh STEI Napala, serta Waktum Barisan Ksatria Nusantara