Jakarta, LIPUTAN 9
Bulan Sya’ban adalah bulan antara dua bulan mulia, yaitu bulan Rajab dan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban tentunya mempunyai keutamaan yang begitu mulia dan akan sangat rugi jika dilewatkan. Disebut Sya’ban karena orang-orang Arab terdahulu yatasya’buna (berpencar dan berpisah) dibulan ini dalam rangka mencari air.
Ada juga yang berpendapat, di bulan ini sejumlah kabilah/suku berkelompok-kelompok (Tasya’ubil Qobaiil) ke dalam pasukan-pasukan penyerangan. Sebagian lagi berpendapat, dikatakan Sya’ban dikarenakan sya’aba yaitu yang muncul di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bentuk pluralnya adalah Sya’âbîna atau Sya’bânât. Karena bulan ini banyak keutamaannya.
Seperti yang kita ketahui, bulan Sya’ban merupakan bulan ke-8 menurut penanggalan Hijriyah. Menurut penanggalan Hijriyah yang diterbitkan Kementerian Agama RI, bulan Syaban dimulai pada tanggal 11 Februari 2024. Jumlah hari dalam bulan Syaban adalah 30 hari.
Pada bulan Sya’ban sudah menajdi tradisi bagi masyarakat Indonesia melakukan rangkain kegiatan rohani sperti ziarah kubur, menyenggarakan acara haul dan lain sebagainya. Lalu, selain Makam Walisongo makam siapa saja yang rekomended untuk dikunjungi sebagai wisata religi menjelang bulan suci ramadan?
1. Makam Hadlratussyekh KH Mahfudz Syafi’i
Makam Hadlratussyekh KH Mahfudz Syafi’i berada di Ponpes Al Istighotsah Bulak Kapal Jalan Puskesmas, RT.006/RW.001, Aren Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat.
KH. Mahfudz Syafi’i lahir di Jombang pada tanggal 11 Desember 1933 M, ayahnya bernama Syafi’i dan ibunya bernama Munfa’atun seorang petani yang taat beribadah. Beliau mempunyai 5 orang anak :
- KH. Mahfudz Syafi’i (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Istighotsah Bekasi Jawa
Barat) - KH. Hafidz Syafi’i (Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hidayah Telogo
Kanigoro Blitar Jawa Timur) - Hj. Hayatin Syafi’i (Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Genu Watu
Ngoro Jawa Timur). - Kyai Sobihi Syafi’i (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Tuban Jawa
Timur). - Mashunah (Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Pare Kediri Jawa Timur).
Pada tahun 1939 M, KH. Mahfud Syafi’i pada usia 7 tahun sebelum di khitan sudah dipondokkan oleh Bapak Syafi’i di Pondok Pesantren Seblak Tebuireng Jombang dan sekolahnya ke Madrasah Salafiyah Kyai Hasyim Asyari di kelas sifir tsani, karena terjadi agresi Belanda ke 2 pada tahun 1941 di Surabaya dan merambah ke Jombang, maka ketika KH. Mahfudz Syafi’i datang ke Pondok Pesantren Seblak sudah tidak ada santri yang tinggal di Pondok Pesantren, mereka semua pulang kerumahnya masing-masing karena ketakutan serangan Belanda.
Maka akhirnya KH. Mahfudz Syafi’i pulang kerumahnya di Genu Watu dan meneruskan pendidikannya di kampung Genu Watu diasuh oleh pamannya, yaitu Kyai Zamroji Saeroji. Berkat dorongan dari Kyai Zamroji Saeroji, pada tahun 1952 KH. Mahfudz Syafi’i berangkat mondok di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri bersama KH. Hafidz Syafi’i. Kemudian meneruskan lagi ke Pondok Pesantren Lasem Jawa Tengah dan pindah meneruskan ke Pondok Pesantren Kaliungu Semarang Jawa Tengah.
Dalam bidang ilmu syariat KH. Mahfudz Syafi’i berguru kepada:
- H. Syafi’i
- KH. Hasyim Ansyari Jombang
- KH. Zamroji Saeroji Kencong
- KH. Abdul Karim Lirboyo
- KH. Masduki Lasem
- KH. Mushlih Kali Wungu
- KH. Mahrus Ali
- KH. Marzuki
- KH. Zaenuddin Mojo Sari Nganjuk
Bidang Ilmu Thoriqoh (tarekat) dan Hakikat di bawah bimbingan langsung:
- Hadlratussyeikh KH Mustaqim bin Husein, Kauman Tulungagung
- Mbah KH Hasbullah Marzuki, Kutoanyar
KH. Mahfudz Syafi’i menghabiskan waktunya menuntut ilmu selama 30 tahun dari tahun 1939 sampai 1069 M. Sebelum KH. Mahfudz Syafi’i memasuki bahtera rumah tangga, beliau pernah hijrah dalam rangka menyampaikan ilmu ke Tuban. Disana beliau ikut berjuang membangun madrasah dan pesantren dengan nama madrasah Tarbiyatus Sibyan, sekitar tahun 1963 dan dalam waktu satu tahun kemudian beliau pulang ke Genu Watu, pada tahun 1964 beliau melangsungkan pernikahan. KH. Mahfudz Syafi’i Wafat tahun 2023. (Sumber: Liputan9news)
2. Makam Mbah Panjalu (Syeikh Ali bin Muhammad bin Umar)
Menurut beberapa sumber, Syeikh Panjalu adalah Prabu Borosngora putra dari Prabu Cakradewa. Sedangkan menurut Gus Dur, beliau adalah prabu Hariang Kencana atau Sayid Ali Bin Muhammad bin Umar (Mbah Panjalu).
Syeikh Panjalu atau juga biasa disebut Mbah Panjalu adalah seorang Ulama penyebar agama Islam di sekitar wilayah Ciamis, Jawa Barat.
Lokasi makam Mbah Panjalu berada di pulau Nusa Gede, di tengah sebuah danau yang berada di sebuah bukit yang masuk wilayah Ciamis Jawa Barat. Danau yang mengelilingi pulau kecil yang disebut Nusa Gede atau Larangan ini dikenal dengan sebutan Situ Lengkong Panjalu.
Letak makam Mbah Panjalu sendiri berada di kawasan hutan lebat seluas 57 hektare di tengah pulau kecil ini. Pulau Nusa Gede atau Larangan ini dikelilingi air yang berwarna kehijauan. Konon air di Situ Lengkong ini berasal dari mata air zam-zam di Mekkah.
Menurut sejarahnya, Situ Lengkong ini dibuat oleh leluhur Panjalu. Dahulu kala di Panjalu telah berdiri kerajaan Hindu yakni kerajaan Panjalu. Pada saat itu kerajaan ini diperintah oleh Prabu Cakradewa. Sang raja memiliki seorang putra yang bernama Borosngora. Raja menginginkan agar putranya pergi berkelana mencari ilmu sejati. Putra raja itu pun mematuhi perintah ayahnya.
Ia berkelana jauh mencari ilmu sejati sampai akhirnya ia sampai di tanah Mekkah. Di sana ia kemudian masuk Islam dan berguru kepada Sayyidina Ali bin Abi Tholib Karamallahu Wajhah. Setelah cukup lama, maka pulanglah sang putera mahkota ke tanah Panjalu dengan dibekali Air Zam-zam. Sang putra mahkota akhirnya menjadi Raja Panjalu menggantikan ayahandanya dengan gelar Sang Hyang Borosngora.
Konon, air Zam-zam yang dibawa dari Mekkah ditumpahkan ke sebuah lembah yang bernama lembah Pasir Jambu. Seiring dengan bertambah banyaknya air di lembah itu, maka terjadilah danau yang kini disebut Situ Lengkong Panjalu.
Untuk menuju lokasi makam Mbah Panjalu, dari dermaga, para peziarah harus menyeberangi danau dengan menggunakan perahu motor. Biasanya pada saat-saat ramai musim berziarah, pengunjung mesti antri untuk mendapat giliran naik perahu.
Rombongan napak tilas bulan Sya’ban 2023 sampai di Makam Mbah Panjalu, pada musim ramai ziarah, kami beserta rombongan sampai pada pagi sekitar jam 05.15 peziarah sudah cukup padat. Rombongan langsung sewa perahu untuk menyebrangi danau atau Situ Lengkong Panjalu lokasi Makam Mbah Panjalu. Karena saat ini musim dengan curah hujan tinggi, maka air danau sangat. setelah tiba rombongan langsung Ziarah dan silaturrahim dengan Mbah Panjalu (Sayid Ali Bin Muhammad bin Umar) (Sumber: Liputan9news)
3. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan
Syekh Abdul Muhyi Pamijahan diyakini sebagai waliyullah dan dihormati masyarakat pesantren. la merupakan mata rantai dan pembawa tarekat Syathariyah yang pertama ke pulau Jawa. Lebih dikenal dengari nama Haji Karang, karena pernah uzIah dan khalwat di Gua Karang. Di pintu gerbang makamnya yang terletak di Pamijahan Tasikmalaya, tertera tulisan Sayyiduna Syaikh al-Hajj Waliyullah Radhiyullahu.
Abdul Muhyi dilahirkan tahun 1650 di Mataram. Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga yang menyebut Kerajaan Mataram Islam. Ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda keturunan Raja Galuh Pajajaran yang saat itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa. lbunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke Syaikh Ainui Yaqin (Sunan Giri l).
Ketka masih anak-anak, Abdul Muhyi telah belajar di Ampel Denta untuk mendaras berbagai disiplin keilmuan pesantren. Pada tahun 1669 M, di usia 19 tahun, Abdul Muhyi merantau hendak menuiu ke Mekah, tetapi singgah di Aceh. Di Aceh Abdul Muhyi ternyata bertemu dan belajar kepada Tengku Syiah Kuala atau Syaikh Abdur Ra’uf as-Singkili. Berbagai disiplin keilmuan dipelajari Abdul Muhyi di Kota Aceh ini, termasuk tarekat Syathariyah dari jalur Syaikh Abdur Ra’uf. Sebagai guru besar Syathariyah, Syaikh Abdur Ra’uf ini berusaha mendamaikan wujudiyah dari lbnu Arabi dengan tasawuf lain yang berkembang di kalangan masyarakat Islam.
Setelah beberapa tahun di Aceh, Abdul Muhyi oleh gurunya diajak berkunjung ke makam seorang yang dikenal masyarakat sebagai Wali Quthb, Syaikh Abdul Qadir Jilani di lrak. Perjalanan diteruskan ke Mekah dan Madinah untuk menunaikan haji. Abdul Muhyi kemudian belajar di Makkah, tidak langsung pulang. Di Mekah Abdul Muhyi bertemu Syaikh Yusuf al-Maqassari, dan diduga kuat Abdul Muhyi belajar juga kepada Ahmad al-Qusyasyi, Ibrahim Kurani, dan Hasan al-Ajami,yaitu guru-guru dari AbdurRa’uf as-Singkili sendiri.
Abdul Muhyi kembali dari Mekah menuju Ampel Denta pada tahun 1678 setelah mendapatkan ijazah untuk men jadi mursyid tarekat Syathariyah dari gurunya. Sekembalinya dari Ampel Denta, sang ayah menikahkannya dengan putri bernama Ayu Bekta. Setelah menikah, bersama orang tuanya, Abdul Muhyi pindah ke Jawa barat untuk menyebarkan Islam, dan berusaha mencari sebuah gua yang ditunjukkan oleh gurunya, Syaikh Abdur Ra’uf as-Singkili.
Awalnya Abdul Muhyi dan keluarga menetap di Desa Darma Kuningan selama 8 tahun (1678-1685) atas permintaan masyarakat. Karena belum menemukan tujuan yang hendak dicari, sambil melakukan dakwah, Abdul Muhyi menuju ke Garut Selatan dan diminta masyarakat untuk tinggal di Pameungpeuk, Garut. Perjalanan diteruskan ke Lebaksiuh di dekat Batuwarigi. Di berbagai tempat tinggal ini Abdul Muhyi terus menyebarkan Islam secara santun dengan sentuhan hati sebagai seorang sufi. Di Lebaksiuh inilah Abdul Muhyi menemukan gua yang dikeramatkan dan wingit.
Gua ini dinamakan Pamijahan, karena tempat berkembang biaknya banyak ikan. Gua Pamijahan ini berbatu karang dan penuh dengan hutan lebat, dan karenanya sering disebut juga sebagai Gua Karang. Sejak saat itu, meski kadang-kadang masih tinggal di Lebaksiuh, Abdul Muhyi lebih dikenal sebagai Haji Karang. Gua ini menjadi tempat ’uzlah dan khalwat-nya, akan tetapi di tempat tinggalnya yang terakhir, ia membangun perkampungan baru bersama para pengikutnya di sebelah barat Kampung Ojong, dan dikenal dengan sebutan Safar Wadi. Di tempat ini dia membangun masjid dan padepokan sebagai pusat penyebaran lslam dan tarekat Syathariyah.
Sebagai guru Rohani, Abdul Muhyi dihormati masyarakat dan Keraton Mataram. Desanya diakui sebagai desa perdikan, yang artinya berhak mengurus urusannya sendiri secara mandiri, meskipun ada di wilayah Mataram. Meski memiliki hubungan dengan Mataram, hubungan dengan Keraton Cirebon dan Banten juga dibangun, termasuk setuju sebagian anak-anaknya menikah dengan para bangsawan dari Cirebon. Hubungan dekat juga terjadi dengan Kesultanan Banten, termasuk dengan guru Rohani di Banten, yaitu Syaikh Yusuf Tajul khalwaiti al-Maqassari, yang merupakan temannya ketika di Mekah. Ketika Syaikh Yusuf bergerilya di hutan-hutan melawan Belanda akibat keberhasilan Belanda memecah Keraton Banten, Syaikh Yusuf bersembunyi di tempat Syaikh Abdul Muhyi.
Di samping sebagai pendidik, mujahid dalam menyebarkan Islam, seorang yang dikenal memiliki kemampuan linuwih, Syekh Abdul Muhyi juga seorang penulis. Dia menulis kitab dalam disiplin tarekat Syathariyah. Syekh Abdul Muhyi meninggal pada 1730 M atau 1151 H dalam usia 80 tahun. Dia dimakamkan di Pamijahan, yaitu di Bantar Kalong, Tasikmalaya bagian selatan, Makamnya hingga saat ini menjadi makam yang sering diziarahi oleh masyarakat NU dan masyarakat Islam pada umumnya.
4. Mbah KH Chasbullah Marzuki Kutoanyar
Mbah Kakung atau Mbah Hasbulloh Marzuki adalah ayah dari istri KH. Mahfudz Syafi’i, yaitu Nyai Hj. Muhshonah Ch. (Ayah mertua sekaligus guru dari KH. Mahfudz Syafi’i). Beliau lahir di Kolomayan, Kediri, Jawa Timur pada hari Selasa Kliwon, 09 April 1901 M. atau 19 Dzul Hijjah 1318 H. yaitu putra dari pasangan suami istri KH. Marzuqi dan Nyai Kasiyam. Nasab KH. Hasbulloh bersambung kepada Seorang ‘Alim Hasan Besari, Ponorogo.
Pada saat kecil beliau mengaji dan sekolah di Pondok Pesantren Ploso, Kediri, Jawa Timur yang diasuh oleh KH. Imam Jazuli. Karena kondisi Ekonomi beliau, maka jarak Kolomayan–Ploso yang sekitar 7 km beliau tempuh dengan berjalan kaki setiap harinya dan mengaji serta sekolah dengan perlengkapan sederhana bahkan dengan pakaian yang hanya satu-satunya untuk di kenakan setiap hari. Pernah pada suatu saat beliau dikeluarkan dari kelas dan tidak boleh mengikuti pelajaran karena belum membayar iuran. Namun, karena kegigihan dan semangat beliau yang tinggi, beliau rela belajar diluar kelas dibawah jendela.
Saat telah beranjak dewasa, beliau dijodohkan oleh keluarganya dengan sepupunya sendiri yaitu Nyai HJ. Ummi ‘Afifah putri dari pasangan suami istri H. Ridwan dan Hj. Hasanah. Beliau menikah pada umur 42 tahun, sedangkan Nyai HJ. Ummi ‘Afifah berumur 13 tahun yang kemudian dianugerahi beberapa orang putra dan putri.
Mbah Hasbulloh wafat pada hari Rabu malam Kamis pukul 02:30 WIB pada 29 Maret 1995 M. bertepatan 27 Syawwal 1415 H., sedangkan istri KH. Hasbulloh yaitu Nyai HJ. Ummi ‘Afifah, dilahirkan di Tulungagung pada Minggu Pahing tanggal 12 Maret 1922 M. atau 12 Rojab 1340 H., dan wafat pada hari Rabu pukul 14:00 WIB pada 04 Mei 1994 M. bertepatan 22 Dzulqo’dah 1414 H. (Terjadi perbedaan didalam keluarga dalam menjelaskan waktu persisnya kelahiran dan wafat, namun waktu yang tertera adalah waktu yang mendekati akurat). (Sumber: Liputan9news)
5. Syeikh Mustaqim bin Husein Kauman Tulungagung
Hadlratussyeikh Mustaqim bin Husein adalah Mursyid Thoriqoh Syadziliyah wal Qodiriyah wan Naqsabandiyah Pondok Pesulukan Thoriqot agung (PETA) Tulungagung Jawa Timur. Hadlratussyeikh Mustaqim bin Husein lahir di desa Nawangan, kecamatan Keras, kabupaten Kediri, pada tahun 1901 M. Ayah beliau bernama Husain bin Abdul Djalil, yang merupakan keturunan ke 18 dari Mbah Panjalu atau Hariang Kencana atau Sayyid Ali Bin Muhammad bin Umar (Mbah Panjalu), Ciamis, Jawa Barat.
Ketika masih berusia 12-13 tahun, Hadlratussyeikh Mustaqim bin Husein mengabdi kepada Kiai Zarkasyi di dusun Tulungagung. Beliau mengabdi dan belajar membaca Al-Quran serta ilmu agama kepada Kiai Zarkasyi. Pada usia tersebut, Hadlratussyeikh Mustaqim bin Husein dikaruniai oleh Allah hati yang dapat berdzikir Allah, Allah, Allah tanpa berhenti.
Dari kekuatan dzikir yang demikian tadi, Hadlratussyeikh Mustaqim bin Husein juga dikaruniai oleh Allah ilmu sirri atau ilmu mukasyafah . Beliau bisa mengetahui ilmu ghaib, alam barzakh dan alam jin, serta keinginan-keinginan yang terbersit di hati orang lain. Pada saat itu, Allah selalu menjaga beliau dari sifat-sifat madzmumah (sifat yang tercela).
Setelah beliau dewasa, Hadlratussyeikh Mustaqim bin Husein dinikahkan oleh Kyai Zarkasyi dengan putri dari Mbah H. Rois yang juga berdomisili di Kauman, yang bernama Ibu Nyai Halimah Sa’diyyah. Mbah H. Rois hanya mempunyai 2 anak, yang pertama bernama Sholeh Sayuthi, yang terkenal dengan sebutan Wali Sayuti. Yang kedua bernama Ibu Nyai Halimah Sa’diyyah yang dinikahkan dengan Hadlratussyeikh Mustaqim bin Husein.
KH. Mustaqim bin Husain Wafat
Pada tahun 1970, pada hari Ahad tanggal 1 Muharram setelah Ashar, di mana di situ terdapat 4 orang yang menemani Hadlratussyeikh Mustaqim bin Husein yang sedang naza’. Salah satunya adalah Mayor TNI AD Shomad Srianto (mantan komandan KODIM Tulungagung). Pada saat naza’, Hadlratussyeikh Mustaqim bin Husein kelihatan nafasnya tersendat-sendat (idlthirob) dan sesak nafas. Akan tetapi sesak nafas beliau ini bukan berarti tanda-tanda su’ul khatimah. Menurut kitab Tanbihul Mughtarrin halaman 45, jika ada guru mursyid pada saat naza’-nya terlihat kesakitan dan sesak nafas/nafas tersendat-sendat, itu dikarenakan dua hal:
- Karena sangat senang akan bertemu dengan Allah.
- Karena rasa kasihan beliau kepada semua murid beliau, ingin memberikan pendidikan (tarbiyah) kepada para murid hingga mencapai ma’rifat billah.
Oleh karena itu, karena saling tarik menariknya dua hal tersebut, sehingga jasad beliau terlihat mengalami nafas tersendat-sendat. Baca Selengkapnya disini
6. Syeikh Sulaiman Popoh
Makam Waliyullah Pantai Popoh Campudarat Kabupaten Tulungagung Syekh Sulaiman di pantai Popoh Tulungagung. Syekh Sulaiman Waliyullah adalah tokoh agama Islam di pulau Jawa sebelum zaman Walisongo. Makamnya tidak jauh dari pantai Popoh, bahkan di tepi pantai Popoh.
Sebelum pemugaran dan pembangunan lokasi wisata Pantai Popoh. Makam Syekh Sulaiman posisinyaberada di bibir pantai. Awalanya makamnya hanya berupa gundukan tanah liat pinggir pantai. Sekarang, Makam sudah dipugar dengan nuansa pemakaman modern.
7. Petilasan Syeikh Subakir Blitar
Perjalanan Ziarah Sya’ban Menyambut Bulan Suci Ramadhan. Alhamdulillah sampai di Makam Syekh Subakir, Panataran Blitar Jawa Timur. Selesai silaturrahim dan ziarah, rombongan langsung ke Bangkalan Madura.
Mengunjungi Petilasan Syekh Subakir di Blitar, Ulama Asal Persia penyebar ajaran Islam di Pulau Jawa. Syekh Subakir adalah seorang ulama asal Persia, penyebar ajaran Islam di Pulau Jawa.
Syekh Subakir datang ke tanah Jawa atas utusan Sultan Muhammad I dari Kekaisaran Ottoman di Turki pada tahun 1404 M. Hikayatnya disebut dalam lontar kuno yang ditulis Sunan Drajad.
Tujuan Syekh Subakir di utus ke tanah Jawa adalah untuk menyebarkan ajaran Islam.
Syekh Subakir dipilih untuk dikirim ke tanah Jawa karena kemampuannya dalam berbagai bidang.
Tak hanya pandai di bidang keagamaan, namun juga memiliki kekuatan mampu menaklukkan para lelembut.
Dipercaya Pulau Jawa pada jaman dahulu dikuasai bangsa jin. Hal itu membuat tak seorangpun berani memasuki hutan belantara Pulau Jawa. Selengkap baca disini
8. Syaikhona Kholil Bangkalan
Syaikhona Kholil (biasa disebut Mbah Kholil) lahir pada hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M. Ia berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai Abdul Karim. Kiai Abdul Karim adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati yang merupakan kakek moyangnya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait yang membahas ilmu nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Sepulang dari Tanah Arab, Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli fiqh dan tarekat. Bahkan pada akhirnya ia dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Ia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal al-Qur’an 30 Juz). Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang. Mbah Kholil wafat pada 29 Ramadhan 1343 H atau 1925 Masehi. Selengkapnya Baca disini
9. Sunan Ampel
10. Sunan Gresik
11. Sunan Giri
12. Sunan Drajat
13. Sunan Bonang
14. Sunan Muria
15. Sunan Kudus
16. Sunan Kalijaga
17. Sunan Gunung Jati