Banten | LIPUTAN9NEWS
“Banyak orang lebih nyaman dijadikan seperti ‘jongos’ atau babu –karena mereka mau bergerak dan bekerja kalau disuruh-suruh!
Kalau atasan mereka lagi sibuk, dan banyak urusan yang penting, maka mereka tidak sempat disentuh –itulah yang mereka tunggu-tunggu.
Sedangkan orang lain yang bukan atasan dia, tidak boleh menegur mereka, enak kan!?
Kalau kami adalah petani yang berjiwa jongos, kami tidak akan punya penyuluh yang ikut membiayai dan mengawasi kami. Maka jangan salahkan kami kalau belukar itu tumbuh dan meraja-lela di mana-mana. Dan siapa takut?!”
(Liem Oei Ping, Mengapa Semak Belukar Bisa Meraja Lela –April 2025)
Sore itu, Jum’at 25 April 2025, cuaca Kota Serang, Banten sangat cerah dengan suhu mendekati 40 derajat celcius. Terasa di jam dua siang meski waktu telah menunjukkan pukul 15.37 WIB saat saya sampai di Toko Krakatau Royal di Jalan Sultan Ageng Tirtayasa. Saya singgah sejenak di kantin yang terletak di salah satu sudut bagian dalam toko, menunggu tiga teman saya: Anggita (Gita), Tb. Abdul Rasyid (Acid), dan Ade Wahyu (Ade), sembari menghisap sebatang rokok kretek Djarum Coklat kesukaan saya setelah mencicipi satu buah pisang yang tersedia di meja bersama berbotol-berbotol air mineral.
Tanpa terasa, sekira jam empat sore lewat beberapa menit, teman-teman saya satu per satu berdatangan. Memang kami telah membuat jadwal bersama untuk berbincang dengan pemilik Toko Krakatau Royal, seputar kisah hidupnya dan sesekali tentang Toko Krakatau Royal yang sudah eksis sejak era awal 1970-an di kawasan Royal Kota Serang, Banten. Saya sengaja meminta bantuan teman-teman karena memang saya berniat untuk membuat sebuah buku biografi kecil tentang Liem Oei Ping, sebagai pemilik Toko Krakatau Royal, setelah sekian lama mengenalnya. Hanya saja, dalam bayangan saya, buku itu tidak ditulis oleh satu orang, yaitu saya, tetapi oleh banyak orang, terutama anak-anak muda yang mengenal Liem Oei Ping secara dekat.
Dua teman saya itu, Acid dan Anggita, kebetulan anak muda yang saya kenal memiliki minat pada kerja kreatif kepenulisan, di sela-sela kesibukan mereka sebagai aktivis dan pewarta. Melibatkan anak-anak muda untuk menulis bagi saya memang selalu menyenangkan. Saya bisa berbagi dengan mereka, sekaligus saya juga dapat menyerap informasi-informasi baru dari mereka, yang bisa saja saya abaikan sebelumnya. Alasan lainnya adalah karena saya juga memandang sangat penting regenerasi (keberlanjutan) intelektualisme dan dunia kreatif kepenulisan yang akan menjadi nafas dan gerak maju bangsa dan masyarakat.
Diskusi senja itu mulai pada pukul 16.17 WIB hingga adzan magrib berkumandang, yang dilanjutkan dengan makan bersama paska adzan magrib berlalu sekira 20 an menit. Menu makan yang kami santap pun cukup bersahaja: sate ayam dan sayur. Bertempat di lantai 4, di ruang yang memiliki alat penyejuk udara (air conditioning atau AC), kami berdiskusi, berbincang akrab dan santai, diterangi cahaya matahari senja yang menembus jendela kaca ruangan. Dengan suguhan pisang, kopi dan jus alpukat, saya meminta ijin keluar sebentar di sela-sela perbincangan karena ingin kembali menikmati rokok kretek Djarum Coklat kesukaan saya setelah menghabiskan satu gelas kopi tanpa gula, sembari memandangi panorama bangunan dan hamparan-bentangan langit senja di kawasan Kota Serang yang disentuh senja yang mulai redup.
Kami berbincang tentang banyak hal, dari mulai hal-hal yang di luar tema bahasan tujuan kedatangan kami hingga ke isu-isu politik terkini, tak cuma nanya-nya ihwal perjalanan hidup Liem Oei Ping dan perjuangannya mendirikan Toko Krakatau –yang namanya diambil dari gunung berapi yang berada di Selat Sunda, di antara pulau Sumatera dan pulau Jawa. Liem Oei Ping yang memang pengagum Bung Karno, sesekali mengisahkan pengalaman hidupnya sewaktu di masa-masa Bung Karno berkuasa sebagai presiden RI pertama.
Di usianya yang sudah sangat sepuh sejak kedatangannya ke Kota Serang di awal tahun 1960-an, ingatan Liem Oei Ping tentang sejarah Indonesia memang sangat kuat, di saat kisah hidupnya sendiri, sebagaimana yang diakuinya, justru tidak lagi dapat diingat secara akurat. Pak Wiping, begitu ia biasa disebut oleh anak-anak muda yang mengenalnya, memang selalu mengajarkan tentang arti penting sejarah sebagai bahan pelajaran dalam kehidupan kita. Sesekali ia juga mengisahkan cerita-cerita yang syarat makna dan hikmah untuk kehidupan sehari-hari, semisal cerita-cerita ketulusan, rela berkorban dan mau membantu mereka yang kesulitan dalam hidup.
Saat berjalannya perbincangan itu, Anggita-lah yang paling banyak mengajukan pertanyaan, termasuk terkait dengan isu-isu politik di masa silam Indonesia hingga yang terupdate di masa kepemimpinan Prabowo Subianto. Menanggapi pertanyaan-pertanyaan Anggita itu, Pak Wiping menekankan untuk selalu waspada akan adanya upaya adu domba dari kepentingan global (asing) kepada bangsa kita yang menginginkan perpecahan. Ia juga mengkritik orang-orang yang terlampau mencaci-maki dengan sebutan-sebutan yang kasar semisal dengan menggunakan kata bajingan dan yang sejenisnya untuk orang-orang yang pernah menjadi presiden Indonesia. Karena menurutnya, tidaklah pantas seorang warga Negara Indonesia mencaci-maki dengan sebutan dan umpatan di luar batas kepada para mantan presiden Indonesia.
Saya memang tidak bisa mengingat kembali secara detil dan utuh apa saja yang kami bincangkan di senja itu, karena saya memang tidak membawa alat perekam dan dokumentasi. Tugas itu telah dihandle oleh Anggita dan Acid dari Banten News, sedangkan Ade Wahyu bertugas mendokumentasikan perbincangan senja itu melalui jepretan-jepretan fotonya yang sudah dikenal selalu bagus dan menarik untuk dilihat.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan