A. Pendahuluan
Masyarakat Betawi, sejak dahulu -sejak Islam masuk ke wilayah ini- sangat kental dengan warna ahlussunah wal jama’ah, sebuah faham yang dikenal berkarakter moderat dan toleran, serta santun dan humanis dalam dakwahnya. Akan tetapi, melihat fenomena yang terjadi dalam dua dekade belakangan ini, warna tersebut seperti hilang dari masayarkat Betawi. Belakangan ini kita lebih banyak menemui penceramah-penceramah yang mengumbar kebencian dan caci maki di panggung-panggung dakwah dan media sosial. Kemunculan pendakwah-pendakwah dengan model seperti ini sebenarnya bersamaan dengan dengan kemunculan organisasi FPI di Jakarta pada awal-awal reformasi.
Sejak FPI berdiri sampai organisasi ini dibubarkan pemerintah pada tahun 2020, tak terhitung serangkaian aksi destruktif dan kekerasan dilakukan oleh kelompok ini. Ditujukan kepada tempat-tempat yang dianggap maksiat dan kelompok-kelompok yang tidak sepaham dengan mereka (misalnya, Jama’ah Ahmadiyah dan Kelompok AKKB). Belum lagi serangkaian demo-demo besar yang digalang oleh mereka serta selalu diatasnamakan Islam. Eskalasi demo itu makin besar sejak Jokowi terpilih menjadi presiden RI dan bertambah hebat sejak Ahok, seorang keturunan etnis Tionghoa Kristen, menjadi Gubernur DKI Jakarta. Puncaknya terjadi saat mereka menggelar aksi 212 di Monas beberapa tahun silam, yang diklaim dihadiri 7 juta umat Islam.
Aksi 212 melahirkan pendakwah-pendakwah radikal di Jakarta dan Indonesia pada umumnya. Ironisnya, cara-cara dakwah mereka justru digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Jakarta. Pemimpinnya dipuja-puja. Ulama-ulamnya dijadikan panutan. Tokoh seperti Habib Rizieq dan Habib Bahar dipuja setingggi langit, dan mereka siap mati untuk membelanya. Akibat cara-cara dakwahnya yang penuh kebencian dan penghinaan kepada individu atau kelompok yang berseberangan, keduanya sering berurusan dengan aparat keamanan (bahkan sampai kini keduanya masih mendekam di tahanan).
Menurut mereka, peristiwa 212 dianggap sesuatu yang fenomenal, tak mungkin bisa terulang kembali dalam waktu yang lama. Mereka merasa gerakannya didukung oleh mayoritas umat Islam Indonesia (padahal kenyataannya tidaklah demikian, terbukti calon presiden yang mereka dukung, Prabowo Subianto kalah dalam Pemilu 2019), karena itu, untuk menjaga eksistensinya, mereka mendirikan Persaudaraan Alumni 212. Kelompok inilah yang menggerakkan serangkaian demo-demo di Jakarta terkait dengan isu-isu agama.
Melihat fenomena di atas, apakah memang demikian kultur keislaman Masyarakat Betawi? Jawabnya, tidak. Bila kita mau melihat sejarah perkembangan Islam di Betawi. Apa yang kita lihat saat ini pada sebagian besar masyarakat Betawi, bukanlah kultur sejati keislaman masyarakat Betawi itu sendiri, tetapi hanyalah sebuah anomaly yang terbentuk karena faktor eksternal. Tulisan ini berusaha mengkaji kultur keislaman masyarakat Betawi dan faktor pembentuknya melalui tinjauan historis.
B. Strategi Kebudayaan Islam Wali Sanga
Kultur berasal dari bahasa Inggris, culture artinya “budaya” dalam bahasa Indonesia. Budaya menurut Koentjaraningrat, berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang berarti budi atau akal. Kebudayaan berhubungan dengan kreasi budi atau akal manusia. Dengan demikian kebudayaan adalah hasil kreasi dan daya cipta akal manusia. Definisi lain menyebutkan budaya adalah tradisi dan gaya hidup yang dipelajari dan didapatkan secara sosial oleh anggota dalam suatu masyarakat, termasuk cara berpikir, perasaan, dan tindakan yang terpola dan dilakukan berulang-ulang (Koentjaraningrat: 1992).
Sedangkan tradisi dimaknai sebagai segala sesuatu yang turun temurun dari nenek moyang. Tradisi dalam kamus antropologi sama dengan adat istiadat yakni kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan yang sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial (Ariyono dan Aminuddin Siregar: 1985).
Said Aqil Siraj dalam bukunya Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat Mutamaddun mengatakan, ulama-ulama yang membawa Islam ke Nusantara telah mengembangkan strategi kebudayaan Islam sehingga Islam tersebar dengan cepat tanpa mengalami benturan dengan kebudayaan masayarakat Nusantara yang beragam. Strategi Kebudayaan Islam yang dikembangkan Wali Sanga tersebut merupakan manifestasi dari ummatan washata atau pilihan jalan tengah. Konsep jalan tengah adalah sebuah pemahaman Islam yang bertumpu pada prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Ketiga prinsip ini menjadi dasar pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Abu al Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang akidah; Mazhab Empat dalam bidang fiqh; dan Abu Hamid Al Ghazali dalam bidang tasawuf atau etika keislaman.
Supaya Islam mudah diterima oleh sasaran dakwah, Wali Sanga juga mengembangkan strategi sebagai berikut: Pertama, fiqhul ahkam untuk mengenal dan menerapkan norma-norma keislaman secara ketat dan mendalam, agar mereka menjadi muslim yang taat dan konsekwen. Kedua, Fiqhud dakwah ketika sudah masuk ke dalam masyarakat. Ajaran agama diterapkan secara lentur, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tingkat pendidikan mereka. Ketiga, fiqhul hikmah (fiqh kearifan), ini tingkat yang tertinggi, sehingga Islam bisa diterima semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga kalangan bangsawan termasuk diterima kalangan rohaniwan Hindu dan Bhudda serta kepercayaan lainnya.
Selanjutnya, supaya Islam terserap dengan mudah ke dalam kalbu sasaran dakwah, Wali Sanga juga mengembangkan strategi sebagai berikut: Pertama, tadrij (bertahap) tidak ada ajaran yang dilakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian. Bahkan tidak jarang secara lahir bertentangan dengan Islam, mereka dibiarkan minum tuak, makan babi, atau mempercayai Sang Hyang, secara bertahap mereka diluruskan. Kedua, taqlilut taklif (memperingan beban), tidak langsung disuruh sembahyang atau puasa, tetapi semampunya saja, sehingga setiap orang mampu melaksanakan. Ketiga, ‘adamul haraj (tidak menyakiti), para wali membawa Islam tidak dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan kepercayaan mereka, bahkan memperkuatnya dengan cara Islam (Siraj: 2015).
Strategi dakwah Wali Sanga tersebut, disebut dengan pendekatan dakwah sufistik, yang dimaknai oleh Said Aqil Siraj sebagai penyampaian ajaran Islam dengan mengedepankan aspek esoterik dalam beragama, atau pendekatan dakwah yang mengedepankan nilai-nilai hikmah yang terkandung dalam hukum-hukum syariat Islam atau aspek eksoterik Islam (Siraj: 2012). Menyimpulkan strategi dakwah Wali Sanga, setidaknya ada tiga karakter utama pendekatan dakwah sufistik:
- Disampaikan dengan penuh kelembutan dan kesantunan. Artinya ajaran Islam disampaikan dengan tutur kata yang baik dan ditonjolkan dengan keteladanan. Tidak dilakukan dengan paksaan, caci maki, apalagi dengan kekerasan yang akibatnya menimbulkan permusuhan dan perlawanan dari mereka.
- Dilakukan dengan bertahap, menyesuaikan karakteristik, kepercayaan, kondisi sosial, adat istiadat serta tingkat intelektual sasaran dakwah sehingga hati mereka tersentuh, selanjutnya ajaran Islam mudah terserap ke dalam kalbu mereka.
- Toleran terhadap budaya dan tradisi masyarakat masyarakat sasaran dakwah. Artinya tidak menyakiti agama, kepercayaan, dan adat istiadat mereka. Demikian pula tidak berusaha untuk menghapus budaya dan tradisi mereka yang sudah berjalan lama, meski jelas-jelas bertentangan dengan Islam; akan tetapi membiarkannya untuk selanjutnya dimodifikasi sehingga sesuai dengan ajaran Islam.
Tiga karakter utama dakwah sufistik di atas tak lain adalah cara dakwah Rasulullah saw, sebagaimana tercermin dalam Ayat Al Quran serta beberapa hadis Rasulullah saw berikut ini:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)
فَقُوْلَا لَه قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّه يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى
“Maka berbicaralah kamu berdua (Musa dan Harun) kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS Tha-ha: 44)
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal”. (QS Ali Imran: 159)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً
Dari Abi Hurairah ra., dimintakan kepada Rasulullah saw untuk melaknat orang-orang musyrik, maka Nabi menjawab: “Sesungguhnya aku diutus bukan untuk menjadi pelaknat, tetapi aku diutus untuk menjadi rahmat.” (H.R. Muslim)
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه
Dari Jabir ra., saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lain merasa aman (tidak terganggu) dari lisan dan tangannya.”(H.R. al-Bukhari)
Yang melatarbelakangi Wali Sanga mengembangkan strategi dakwah demikian ialah karena mereka menyadari bahwa kenusantaraan atau keindonesiaan yang multi etnis, multi budaya dan multi bahasa ini buat mereka adalah anugerah Allah yang tiada tara. Belum lagi kondisi alamnya yang ramah, iklimnya yang sedang tidak ada musim yang ekstrem, tidak terlalu panas atau dingin. Ditambah dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya sumber daya mineral. Ini yang mereka pahami sehingga mereka syukuri, dengan tidak merusak budaya yang ada atas nama Islam dan sebagainya (Siraj: 2015). Ini sesuai dengan firman Allah:
هٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْۗ لِيَبْلُوَنِيْٓ ءَاَشْكُرُ اَمْ اَكْفُرُۗ وَمَنْ شَكَرَ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ
“Ini karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia.” (QS. An Naml: 40)
C. Awal Islamisasi di Betawi
Ada dua teori mengenai kedatangan Islam di Betawi, yakni teori Syaikh Qura dan teori Fatahillah. Ridwan Saidi dalam bukunya, Sejarah Jakarta dari Peradaban Melayu Betawi, menyatakan Syaikh Qura adalah ulama pertama yang menyebarkan Islam di tanah Betawi. Orang-orang setelah Syaikh Qura bukan penyebar Islam, tetapi penyiar Islam karena hanya melanjutkan usaha Syaikh Qura. Pendapat Ridwan Saidi ini lantaran ia berpendapat bahwa Jakarta, Bekasi dan Karawang merupakan kesatuan wilayah atau bagian dari Nusa Kalapa (Sunda Kelapa) berdasarkan peta yang dibuat oleh Pangeran Panembong atas perintah Prabu Siliwangi (Saidi: 2010).
Sementara teori kedua menyatakan, islamisasi awal di Betawi adalah sejak Fatahillah (orang Portugis menyebutnya Faletehan, sedangkan dalam naskah Purwaka Caruban Nagari disebut Fadhilah Khan), panglima perang dari Kesultanan Demak merebut Sunda Kelapa (nama pertama Jakarta) dari kekuasaan Pajajaran pada 22 Juni 1527. Ia kemudian mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Nama Jayakarta berasal dari bahasa Arab fathan mubina yang berarti “kemenangan yang nyata”. Di duga kuat Fatahillah mengambil spirit fathu makkah (pembebasan Kota Mekkah) oleh Rasulullah saw pada 630 M, atau tepatnya pada tanggal 10 Ramadan 8 H, yang menandai berakhirnya era paganisme di Arab. Tanggal 22 Juni selanjutnya secara resmi dijadikan sebagai Hari Lahir Kota Jakarta (Aziz: 2002).
Penulis tidak memusingkan manakah yang benar dari kedua teori itu, yang jelas baik Syaikh Qura maupun Fatahillah merupakan ulama yang berfaham ahlussunah wal jama’ah sebagaimana kita temukan profil kedua tokoh ini dalam tulisan-tulisan para sejarawan maupun peneliti. Namun penulis memilih memulai sejarah Islam di Betawi dari Fatahillah, sebab data-data tentang perkembangan Islam di Betawi pasca Fatahillah merebut Sunda Kelapa amatlah banyak. Begitu juga studi tentang Islam di Betawi juga banyak di mulai dari Fatahillah.
Latar belakang penaklukkan Sunda Kelapa sebagai berikut. Penguasa Demak, Sultan Trenggono (berkuasa 1521-1546) geram begitu mendengar Kerajaan Sunda Pajajaran yang waktu itu menguasai Nusa Kalapa (wilayah Jakarta dahulu), yang memiliki pelabuhan internasional bernama Sunda Kelapa, telah mengadakan perjanjian keamanan dan perdagangan dengan portugis pada 1522. Keberadaan Portugis di Sunda Kelapa adalah ancaman atas penyebaran Islam, politik dan perdagangan Kerajaan Demak yang saat itu sedang berada di puncak kejayaannya. Ia kemudian memerintahkan iparnya yang bernama Fatahillah memimpin pasukan Demak untuk membebaskan Sunda Kelapa. Dibalik itu juga, ia ingin membalas kekalahan Demak beberapa tahun sebelumnyadari Portugis saat menyerbu Malaka (sejak 1511 sudah dikuasai Portugis), yang menyebabkan kematian kakaknya, Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, putera Raden Abdul Fattah Raja Pertama Demak (Sagimun MD: 1988).
Siapakah sosok Fatahillah, ipar Sultan Trenggono ini? Mengutip buku Sejarah Jakarta Jilid 1 terbitan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta tahun 2012, berdasarkan naskah Purwaka Caruban Nagari, Ia adalah seorang ulama muda yang berasal dari Pasai (Aceh). Ketika Pasai dikuasai Portugis pada 1511, Ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju Demak karena mengaggap tanah airnya telah dijajah oleh kafir. Karena ilmu agamanya tinggi dan Sultan Trenggono pun suka dengan pribadi anak muda dari Pasai ini, dinikahkanlah ia dengan saudara perempuan Sultan Trenggono.
Sebelum menyerbu Sunda Kelapa, Fatahillah diperintahkan Sultan Demak untuk mengislamkan Banten terlebih dahulu. Sebelum sampai di Banten Ia singgah terlebih dulu di Cirebon untuk menemui gurunya, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon (kelak menjadi mertuanya). Bimbingan dan arahan dari Syarif Hidayatullah amat penting baginya sebelum mengislamkan Banten dan menyerbu Sunda Kelapa. Syarif Hidayatullah tidak hanya memberikan bimbingan, bahkan memberikan bantuan pasukan dari Cirebon. Sementara itu, di Banten Syarif Hidayatullah telah menempatkan puteranya Maulana Hasanudin yang saat itu sedikit demi sedikit mulai menguasai Banten. Setelah Banten berhasil diislamkan, berangkatlah Fatahillah bersama dengan 1967 pasukan gabungan Demak, Banten, dan Cirebon menyerang armada Portugis di Sunda Kelapa. Sunda Kelapa berhasil dibebaskan dan peristiwa itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 (Fadli HS: 2011).
Setelah menguasai Sunda Kelapa dan mengganti namanya dengan Jayakarta, Fatahillah kemudian membangun Kota Jayakarta dengan gaya Islam. Ia membangun Jayakarta meniru model Kadipaten di Jawa Islam. Sebagai pusat kota adalah alun-alun yang diapit oleh bangunan masjid di Barat, keraton atau dalem di Utara dan rumah patih Jayakarta di Timur.
Di masa pemerintahan Islam Jayakarta (1527-1619), masjid adalah basis penyiaran agama Islam di tanah Betawi. Kehadiran masjid selama sekitar satu abad sampai Jayakarta dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada 1619, memberi andil besar bagi proses islamisasi di Jayakarta, seperti pada umumnya fungsi masjid di kota-kota pelabuhan Jawa (Aziz; 2012).
Pemerintahan Islam Jayakarta dimulai ketika Fatahillah diangkat Sunan Gunung Jati menjadi Bupati pertama, yakni 22 Juni 1527 dan berakhir tanggal 30 Mei 1916, ketika Keraton Pangeran Jayakarta Wijayakrama dibumihanguskan oleh Jan Pieterzoon Coen, Gubernur Jenderal VOC. Sepeninggal Fatahillah yang wafat pada tahun 1570, tampuk pemerintahan Jayakarta dipegang oleh Tubagus Angke. Tubagus Angke adalah putera Pangeran Panjunan atau Maulana Abdurrahman bin Syekh Dzatul Kahfi dari Cirebon. Ia berkuasa dari 1570 sampai 1596. Setelah Tubagus Angke, kepemimpinan Jayakarta dilanjutkan oleh puteranya Pangeran Jayakarta Wijayakrama dari tahun 1596 hingga 30 Mei 1916 (Fadli HS: 2014).
Pada masa pemerintahan Islam Jayakarta, hubungan antara Jayakarta dengan Kesultanan Banten sangat erat, bahkan terjadi hubungan pernikahan antara Sultan-sultan Banten dengan penguasa Jayakarta. Tubagus Angke menikah dengan Ratu Pembayun puteri Sultan Hasanudin (Sultan Banten pertama, putera Syarif Hidayatullah). Pangeran Jayakarta Wijayakrama juga menikah dengan seorang sepupunya yang juga cucu Sultan Hasanudin. Jadi penguasa-penguasa Jayakarta masih terikat hubungan kekluargaan yang erat dengan penguasa Banten. Di bawah pemerintahan Tubagus Angke dan Jayakarta Wijayakrama daerah Jayakarta menjadi bagian dari Kesultanan Banten (Sagimun MD: 1988).
D. Awal Era Kolonial di Betawi
Era kolonial Belanda di Betawi dimulai ketika J.P Coen menyerang dan membumihanguskan Keraton Jayakarta pada tanggal 30 Mei 1619 dan mengganti nama Jayakarta dengan Batavia. Pada masa J.P Coen, Belanda memang menghancurkan istana Kesultanan Jayakarta serta pranata sosial keagamaan seperti masjid-masjid dan lembaga pendidikan Islam. Namun demikian, dari aspek dakwah, Islam berkembang ke berbagai wilayah pinggiran Jakarta sebagai penolakan (resistensi) terhadap kolonial VOC diikuti dengan lahirnya lembaga-lembaga keagamaan seperti masjid yang berfungsi sebagai tempat ibadah juga untuk pembinaan umat. Sejak itu kaum muslim menyingkir ke pinggiran Jakarta, terutama ke wilayah selatan dan timur yang dikenal dengan Jatinegara Kaum (Derani: 2013).
Di Jatinegara Kaum, sisa-sisa pasukan Pangeran Jayakarta Wijayakrama ini mendirikan masjid (sekarang bernama Masjid salafiyah) pada tahun 1620. Sepuluh tahun kemudian, sekitar 1630 berdiri pula masjid yang lain di Kebon Baru Cawang (Al-Atiq) dan di Tanah Abang (Baitul Makmur). Mengenai Masjid Al-Atiq di Cawang, tidak diketahui siapa pendirinya. Namun beberapa tokoh ulama yang memimpin masjid selama abad ke-17 itu dikenal antara lain Dato Wan dan Dato Makhtum. Mereka ini diduga berasal dari ulama Jayakarta yang menyingkir dan bersama mereka bergabung pula sebagian tentara Mataram yang melakukan penyerangan ke Batavia. Kedua masjid ini berdiri bersamaan waktunya dengan dengan usaha Mataram Islam semasa Sultan Agung untuk merebut Batavia antara tahun 1627-1629 (Aziz: 2005).
Pada tahun1628-1629 Sultan Agung dari Mataram mencoba menyerang Batavia, namun usaha ini gagal. Pada masa penyerangan Mataram ini, sebagian tentara Mataram yang kalah tidak kembali ke Mataram melainkan bergabung dengan pasukan Pangeran Jayakarta Wijayakrama dan melakukan serangan sporadis ke Batavia. Mereka yang dari arah laut bersembunyi dan mengatur siasat kembali dari Marunda dan Cilincing. Di kedua tempat inilah ditemukan Masjid Al-Alam Marunda yang diperkirakan berdiri pada tahun 1663 dan Masjid Al-Alam Cilincing yang diduga berdiri pada tahun 1665. Sedangkan yang dari arah darat umunya berbasis di daerah yang sekarang disebut Matraman (asalnya dari kata Mataraman) dan sebagian kecil di daerah Tanah Abang (Aziz: 2004).
Meski Pemerintahan Islam jayakarta sudah runtuh, namun untuk beberapa masa ke depan penyebaran Islam tetap dilanjutkan oleh sisa-sisa pasukan Pangeran Jayakarta Wijayakrama dan Pasukan Mataram. Mereka mendirikan masjid dan melakukan pengajaran Islam kepada masyarakat di masjid-masjid yang mereka dirikan tersebut. Sampai akhirnya orang-orang Arab Hadrami menetap di Betawi pada abad ke-18. Sebagai contoh, di daerah Kampung Sawah yang menyiarkan Islam adalah Syaikh Abdul Muhith bin Pangeran Cakrajaya, seorang Tumenggung Mataram. Ia mendirikan Masjid Al Mansur pada tahun 1717. Di daerah Pakojan, Islam diajarkan oleh seorang pangeran dari Mataram bernama Pangeran Dahlan yang mendirikan Masjid An Nawier pada tahun 1760. Secara nasab, ia masih keturunan Sunan Gunung Jati. Pengajaran Islam di Tanah Abang juga sudah lama berlangsung. Di daerah ini didirikan Masjid Al Ma’mur oleh KH. Abdul Murad Asyuro dan KH. Abdul Samad Asyuro di tanah milik mereka pada tahun 1760 (Fadli HS: 2011) .
Kedatangan orang-orang Arab-Hadrami pada awal abad ke-18, dan puncaknya abad ke-19 juga berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Betawi. Salah satu mubaligh dan penyiar Islam saat itu dari kalangan Arab-Hadrami adalah Habib Husain Al Aydrus. Ia mendirikan Masjid Kramat Luar Batang pada tahun 1735. Habib Husain wafat dalam usia antara 30-35 tahun pada 28 Ramadhan 1169 H, atau bertepatan 24 Juni 1751, dan dimakamkan di kompleks Masji Luar Batang juga yang kini disebut Masjid Al Anwar. Seorang Arab dari Hadramaut lainnya yang menyiarkan Islam di Batavia adalah Habib Ali bin Abdurrahman Ba’alawi. Ia mendirikan Masjid Al Mukarramah di Kampung Bandan Mangga Dua pada tahun 1715.
Metode dakwah pada abad ke-17 dan 18 di Betawi lebih bernuansa tasawuf dan tarekat. Ajaran Islam menyelinap ke dalam pertunjukan seni seperti Gambang Kromong dan Rebbana, juga melalui seni bela diri (silat Betawi), dan ilmu-ilmu kanuragan. Pertunjukan kanuragan dikembangkan menjadi kesenian Al-Madad (semacam pertunjukan ilmu kekebalan atau debus yang menjadi ciri khas Banten) yang biasanya diawali degan membaca tahlil, manaqib, dan ayat-ayat Al Quran. Hal ini sebenarnya ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa ayat-ayat Al Quran apabila diyakini dan diamalkan sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari ternyata jauh lebih mujarab daripada mantra-mantra. Cara ini sangat menarik untuk mengajak orang masuk Islam sehingga orang-orang Tionghoa banyak yang masuk Islam, seperti di daerah Tambora. Bersamaan dengan itu, di masjid-masjid dan langgar-langgar juga diajarkan ilmu fiqh, tauhid, al-Quran, dan hadis berdasarkan faham ahlussunah wal jama’ah (bermazhab Syafi’i dalam bidang fiqh, Al Asy’ari dalam akidah, dan Al Ghazali dalam bidang tasawuf), yang disampaikan dalam bentuk pengajian dan ceramah (Fadli HS: 2011).
Sampai disini kemudian menjadi jelas bahwa kerajaan Demak, Cirebon, Banten, dan Mataram, serta kalangan Arab-hadrami yang datang pertama kali di Betawi pada abad ke-18 memainkan peranan penting dalam proses islamisasi awal Betawi. Sebagaimana kita tahu, Demak, Cirebon, Banten, dan Mataram, merupakan kerajaan Islam yang didirikan oleh Wali Sanga atau penerus Wali Sanga. Maka, sudah tentu mewarisi tradisi keislaman Wali Sanga, yakni secara fikih bermazhab Syafi’i, secara akidah bermazhab Asy’ari, dan dalam bidang tasawuf mengikuti Mazhab Al Ghazali. Demikian pula dalam proses penyebarannya, juga mengikuti cara dakwah Wali Sanga.
E. Keberadaan Tarekat di Betawi
Menurut Alwi Shihab Wali Sanga adalah tokoh yang membawa Tarekat ‘Alawiyah ke Nusantara, dikarenakan mereka adalah keturunan Alawiyin. Dalam kitab Syamsu az-Zhahirah,-sebuah kitab induk catatan nasab ‘Alawiyin karya Abd al-Rahman al-Masyhur dari Tarim (1834–1902), Wali Sanga merupakan keturunan Abdul Malik Azhmat Khan di India. Abdul Malik Azhmat Khan adalah keturunan Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath yang kakeknya, Ahmad bin Isa Al Muhajir hijrah ke Hadramaut pada tahun 951 H. Habib Abdullah Al Haddad, tokoh sentral Tarekat ‘Alawiyah menyatakan bahwa wali Sanga memiliki komitmen tinggi dalam menerapkan ajaran-ajaran Tarekat ‘Alawiyah. Sikap, perilaku, dan sifat-sifat yang dimiliki Wali Sanga tercermin ajaran-ajaran Tarekat ‘Alawiyah (Shihab: 2005).
Mabda Dzikara, dalam tesisnya di UIN Jakarta tahun 2020, Jaringan Keilmuan Guru Thariqah ‘Alawiyah di Betawi Abad ke-19 dan 20, mengemukakan bahwa Tarekat Alawiyah adalah sebuah tradisi kesufian yang dibentuk oleh keluarga Bani Alawi yang memiliki ketersambungan nasab kepada Nabi Muhammad saw melalui Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Al Muhajir dimana istilah “Alawiyah” itu berasal. Perintis dan peletak dasar-dasar tarekat ini adalah Ahmad bin Isa Al Muhajir, kemudian dikembangkan oleh Al Faqih Al Muqaddam dan selanjutnya dimatangkan oleh Syaikh Abdullah bin Alwi Al Haddad. Ajaran-ajaran salaf Bani Alawi diturunkan dari generasi ke generasi (Dzikara: 2020).
Ajaran Tarekat ‘Alawiyah sederhana dan praktis. Tarekat ini lebih menekankan pada menghiasi diri dengan akhlak mulia dan menjalankan syariat secara konsisten. Tarekat ini tidak menerima ajaran tasawuf falsafi seperti Wahdatul Wujud-nya Ibu Al ‘Arabi, Ittihad-nya Yazid Al Busthami, atau Hulul-nya Al Hallaj. Habib Abdullah al Haddad melarang mempelajari kitab-kitab mereka karena hanya akan menimbulkan kebingungan, dan dakalanya seseorang mendakwahkan sesuatu yang dia sendiri belum mencapainya. Sebaliknya ia menganjurkan untuk mempelajarai ilmu-ilmu yang tercantum dalam karya-karya Al Ghazali. Pada kenyataannya, mazhab tasawuf Tarekat ‘Alawiyah lebih bermuara kepada mazhab tasawuf yang dibangun oleh Al Ghazali, yakni tasawuf sunni yang memadukan antara syariat dan hakikat (Shihab: 2005).
Kaum ‘Alawiyin dalam menyebarkan dan menyampaikan ajaran Islam senantiasa berpegang teguh kepada tradisi keluarga. Menurut Alwi Shihab, ada tiga ciri penting corak keberagamaan kaum keturunan ‘Alawiyin: Pertama, mengikuti mazhab Syafi’i. Kedua, dalam tarekat mengikuti Al Asyari. Leluhur ‘Alawiyin di hadramaut adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Mazhab syafi’i. Mereka mendirikan pesantren (ribath), menulis kitab dan menyebarkan kepada murid-muridnya. Karangan-karangan kaum Hadrami dan ‘Alawiyin tentang fiqh Syafi’i masih banyak digunakan pesantren-pesantren di Indonesia. Kitab Safinah an Najah karya Salim bin Sumair Al Hadrami dan Kitab Bughyah Al Musytarsyidin karya Abdurrahman Ba’alawi adalah contohnya. Kedua, mengikuti Mzhab Al Asy’ari dalam akidah. Kaum ‘alawiyin Hadrmaut dikenal kelompok yang berhasil menumbangkan dominasi mazhab Khawarij-Ibadhiyah yang dianut masyarakat Yaman pada umumnya sebelum abad keempat hijriyah. Namun setelah kedatangan Ahmad bin Isa Al Muhajir, leluhur pertama Alawiyin yang hijrah ke Hadramaut, keluarga dan anak cucunya telah menjadi kekuatan kultur yang berhasil menggeser dominasi mazhab Kharaij tersebut. Ketiga, mengikuti Tarekat ‘Alawiyah dalam bidang tasawuf. Tarekat Alawiyah merupakan tarekat yang dikembangkan oleh keluarga Alawiyin selama berabad-abad lamanya. Nama tarekat ini dikaitkan dengan nama pengembangannya yang keturunan ‘Alawiyin. ‘Alawiyin merupakan keluarga yang berasal dari keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Al Muhajir.
Bukti bahwa Wali Sanga kuat dipengaruhi oleh Al Ghazali adalah Kitab Primbon karya Sunan Bonang yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Bahkan lebih jauh kitab itu juga menjelaskan mazhab akidah dan mazhab fikih yang dianut oleh Wali Sanga. Kitab itu berisi nasehat-nasehat Sunan Bonang kepada muridnya Syaikh Abdul Bari. Pertama-tama pengarang merumuskan pemikiran dan pandangan-pandangan yang seluruhnya sesuai dengan aliran ahlussunnah wal jama’ah dan mazhab Syafi’i. Yaitu pandangan dan pemikiran yang mengajak kepada tauhid, menjauhi syirik, dan mengingkari kesesatan yang terdapat dalam kepercayaan-kepercayaan kebatinan dan kepercayaan-kepercayaan lainnya yang terbilang sesat dan kafir. Pengarang pertama-tama menguraikan makna tauhid yang murni, sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya, kemudian menegaskan bahwa manusia memiliki semacam kebebasan berikhtiar, persis seperti konsep Asy’ariyah. Pada bab penutup, pengarang memberikan wasiat bahwa seharusnya manusia selalu berupaya agar perilakunya sesuai lahir batin dengan ketentuan-ketentuan syari’at Allah SWT., berbuat berdasarkan cinta kepada Rasulullah saw dengan didorong oleh hasrat untuk mengikuti sunnahnya.
Kitab Primbon adalah bukti otentik bahwa Wali Sanga mengikuti leluhurnya, tokoh-tokoh ‘Alawiyin yakni secara fiqh mengikuti Mazhab Syafi’i, dalam akidah mengikuti Mazhab Al Asy’ari, dan dalam bidang tasawuf mengikuti pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali. Wali Sanga menjadikan ihya ‘ulum al din sebagai sumber inspirasi dalam melakukan dakwahnya, di samping kitab-kitab tasawuf andalan ahlussunah wal jama’ah lainnya, seperti Qut al Qulub karya Abu Thalib Al Makki, Al Washaya karya Al Muhasibi, dan Bidayah al Hidayah serta Minhaj al Abidin karya Al Ghazali. (Shihab: 2005)
Sejak kehadirannya di Nusantara memang tokoh-tokoh Tarekat Álawiyah tidak pernah mendeklarasikan tarekat ini sebagai sebuah lembaga ketarekatan sehingga membutuhkan pusat-pusat suluk dan zawiyah dalam proses penyebarannya. Dalam penyebarannya, Tarekat ‘Alawiyah bertransformasi ke dalam pengajian-pengajian dan pengajaran-pengajaran kaum Alawiyin di manapun berada (Dzikara: 2020).
Lepas dari perdebatan mengenai siapa figur yang mula-mula menyebarkan Islam di tanah Betawi, Syaikh Qura atau Fatahillah; pada kenyataannya Syaikh Qura secara nasab merupakan Alawiyin keturunan Jamaludin Husain Al Akbar dari Campa, yang merupakan keturunan Abdul Malik Azhmat Khan di India. Sedangkan Fatahillah dalam menyebarkan Islam di Betawi selalu mendapat arahan dan bimbingan dari guru sekaligus mertuanya Sunan Gunung Jati yang juga seorang Alawiyin. Secara nasab Sunan Gunung Jati sama dengan Syaikh Qura, yakni sama-sama keturunan Jamaludin Husain Al Akbar di Campa.
F. Pembentuk Kultur Keislaman Masyarakat Betawi
Pada permulaan abad ke-18 tarekat Alawiyah terefleksikan dalam figur Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus (w. 1756 ) di Luar Batang dan Habib Abdurrahman Ba’alawi di Kampung Bandan. Kedua tokoh ini menjadi sentral penyebaran Islam di Betawi pada saat itu. Kemudian pada abad ke-19 tercermin dalam “Tiga Serangkai” habaib Jakarta”, yakni Habib Ali Al Habsyi (1870-1968) Kwitang, Habib Ali bin Husein Al Atthas (1891-1976) Bungur, serta Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (1906-1969). Di masa ini ketiganya menjadi rujukan masyarakat Betawi serta menjadi guru dari banyak ulama besar Betawi. Pada masa-masa berikutnya hingga sampai pada abad ke-21 ini, Tarekat Alawiyah masih mendominasi pola pengajaran Islam di Betawi (Dzikara: 2020).
Penelitian Rahmat Zailani Kiki dari Pusat Pengkajian Islam (Jakarta Islamic Center) mengemukakan, di Betawi, Tarekat ‘Alawiyah tidak hanya didominasi oleh kalangan habaib saja, tercatat Guru Marzuki Cipinang Muara adalah satu di antara ulama Betawi yang menjalankan tarekat ini. Ia mengambil tarekat Alawiyah dari Syaikh Umar Syatha dari Syaikh Zaini Dahlan sewaktu belajar di Mekkah. Guru Marzuki disebut sebagai “gurunya ulama-ulama Betawi” karena banyak ulama besar Betawi yang menjadi murid-muridnya. Dalam satu keterangan ada sekitar 40 ulama Betawi terkemuka yang menjadi muridnya (Kiki: 2011).
Kultur orang Betawi adalah sangat menghormati orang-orang Arab, terutama kaum Arab-Hadrami. Penghormatan luar biasa orang-orang Betawi kepada para habaib, menurut Abdul Aziz bukan saja karena mereka adalah keturunan Nabi saw, melainkan mereka memandang bahwa orang-orang Arab adalah bangsa yang mulia dan kuat beribadah (Aziz: 2014). Mabda Dzikara memperkuat pernyataan Aziz ini, menurutnya para Sayyid bisa dengan mudah mendapat ruang penting dalam kehidupan sosial masyarakat Betawi tidak lain karena dianggap berasal dari bangsa yang mulia dan dari keturunan mulia pula, serta dianggap sebagai memiliki otoritas kegamaan. Inilah yang membuat para Sayyid mudah berasimilasi dengan penduduk dan budaya lokal Betawi (Dzikara: 2020).
Menurut Mabda Dzikara, proses asimilasi dan akulturasi kaum Arab-Hadrami dengan masyarakat muslim Betawi kala itu melahirkan kebudayaan betawi yang bernafaskan Islam seperti kesenian musik gambus dan marawis yang ditampilkan saat pernikahan, pakaian gamis berupa jubah panjang yang digunakan saat ritual-ritual kegamaan, pembacaan ratib dan maulid, atau penggunaan bahasa Arab yang disisipi lahjah Betawi seperti “ente” (kamu), “ane’ (saya), “harim” (istri) dan lain-lain. Kehidupan Hadrami sebagian besar telah terbentuk dalam simbol penting keagamaan di Betawi, sehingga secara tidak langsung mereka berusaha untuk mempertahankan secara kolektif prestisnya tersebut (Dzikara: 2020).
Kaum Alawiyin tetap memainkan peranan penting dalam pengajaran Islam dan pembentukan kultur kegamaan masyarakat Betawi, bahkan peranan itu masih kuat hingga saat ini. Kharisma, kealiman, serta karakter dakwah yang lembut dan santun khas tarekat Alawiyah Habib Umar bin Hafizh, pengasuh Pesantren Darul Musthofa, Tarim Hadramaut Yaman melalui murid-muridnya seperti Habib Munzir Al Musawa (wafat 13 September 2013) dan Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan (cucu Habib Salim Jindan) serta murid-muridnya yang lain, telah menyihir masyarakat Jakarta dan Indonesia pada umumnya selama satu setengah dekade belakangan ini. Habib Umar bin Hafidz sering berkunjung ke Indonesia untuk menemui murid-muridnya, dan dalam setiap kunjungannya selalu menghadirkan animo dan antusiasme yang besar bagi masyarakat Jakarta dan Indonesia pada umumnya. Saat ini Habib Umar bin Hafidz adalah magnet terkuat Tarekat Alawiyah, tidak hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.
Di samping Tarekat ‘Alawiyah yang sejak awal telah mempengaruhi kultur keislaman Islam di Betawi, menurut Ridwan Saidi Tarekat Qadiriyah juga sempat berkembang di Betawi. Para penyebar Islam di Betawi waktu itu banyak mengikuti Tarekat Syaikh Abdul qadir Al Jailani yang merupakan respons atas resi-resi Pajajaran yang memiliki ilmu batin, yang seringkali melakukan perlawanan terhadap Islam. Tarekat mempunyai lahan yang bagus di masyarakat Betawi karena pijakan kebudayaannya ada pada peri kehidupan resi. Namun Ridwan Saidi agak sedikit ngawur dalam pernyataannya ini karena menyamakan praktek ilmu batin dengan tarekat. Padahal ilmu batin dan ilmu kanuragan masuk ke dalam kategori ilmu hikmah (Dzikara: 2020).
Tarekat Sammaniyah juga berkembang di Betawi sejak abad ke-18. Di Betawi tarekat ini dibawa dan disebarkan oleh oleh. Syaikh Abdurrahman Al Batawi. Ia bersama tiga orang sahabatnya yakni Syaikh Abdusshamad Al Falimbani (1704-1789) dari Sumatera Selatan, Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1812) dari Banjar Kalimantan Selatan, dan Syaik Abdul Wahab Al Bugisi dari Sulawesi Selatan, belajar ke Haramain. Disana, mereka berguru langsung kepada Syaikh Muhammad Samman Al Madani, pendiri Tarekat Sammaniyah, serta ditunjuk sebagai Khalifah Tarekat Sammaniyah di Nusantara (Azra: 2005).
Tradisi pembacaan Ratib Samman dan Hikayat Samman yang populer di kalangan masyakarat Betawi sejak dahulu hingga kini, berhubungan erat dengan tarekat Sammaniyah. Tradisi tersebut dikembangkan oleh Guru Mughni Kuningan. Hal ini terungkap dari wawancara penulis dengan KH. Taufiq Rahmat, salah satu cucu Guru Mughni Kuningan, putera dari KH. Rahmatullah Mughni. Ia mengungkapkan berdasarkan penuturan dari orangtuanya, bahwa kakeknya, Guru Mughni Kuningan, senantiasa mengamalkan Ratib Samman, terlebih pada setiap malam peringatan nisfu sya’ban dan dalam keadaan genting (musibah, bencana,dan lain sebagainya) bersama para murid dan jama’ahnya. Tumbuh kembangnya Tarekat Sammaniyah dengan maraknya pembacaan ratib Samman di DKI Jakarta, khususnya Jakarta Selatan tidak terlepas dari usaha yang dilakukan Guru Mughni. Beliau menerima ijazah Tarekat Sammaniyah sewaktu beliau belajar di Mekkah (Rahmat: 2007).
Penulis juga berasumsi, keberadaan Syaikh Yusuf Al Maqassari (1626-1699) yang disinyalir sebagai pembawa Tarekat Khalwatiyah ke Nusantara serta sempat mengambil tarekat Rifa’iyah dari Syaikh Nuruddin Ar Raniry di Aceh, juga turut serta membentuk kultur keislaman masyarakat Betawi. Ia sempat tinggal lama di Banten selama pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (berkuasa 1640-1650) di penghujung abad ke-17, serta menjadi penasehat Kesultanan banten waktu itu. Ia memimpin pemberontakan orang-orang Banten melawan VOC di Batavia sepeninggal Sultan Ageng Tirtayasa yang ditangkap dan dasingkan oleh VOC (Azra: 2005).
Meski tidak ada data yang menyebutkan perihal jejak dakwah Syaikh Yusuf mengembangkan tarekat di Betawi, -sebagaimana juga tidak ada sumber resmi tentang jejak dakwah Syaikh Qura. Kesenian al Madad yang berkembang di Betawi pada abad 18 bisa memberi petunjuk akan hal ini. Al-Madad ialah semacam pertunjukan ilmu kekebalan menggunakan ayat-ayat Al Quran yang menjadi ciri khas Banten (Debus). Menurut Menurut Iis Sulastri dalam skripsinya yang berjudul Nilai-nilai Islam dalam Seni Tradisional Debus di Menes Pandeglang, UIN Jakarta tahun 2014, asal-usul kesenian ini berasal dari tradisi Tarekat Rifaiyah. Pada masa kesultanan Banten Al-Madad dijadikan sebagi media dakwah, dan ada masa sultan Ageng Tirtayasa dijadikan alat perjuangan untuk melawan VOC. Selain itu, Bukankah pemerintahan Islam Jayakarta saat itu berada di bawah kesultanan Banten? Bukankah islamisasi awal di Betawi melalui pendekatan politik kekuasaan, dan pada lazimnya rakyat mengikuti tradisi kegamaan pemimpinnya?
Di penghujung abad 19 hingga awal abad 20, seiring dengan dibukanya Terusan Suez, banyak ulama Betawi yang belajar ke Haramain dan sekembalinya ke Betawi menjadi ulama-ulama-ulama Besar. Pada masa ini dikenal kumpulan ulama Betawi yang disebut oleh Abdul Aziz sebagai “enam pendekar”. Mereka adalah Guru Manshur Jembatan Lima (1878 -1967)., Guru Marzuqi Cipinang Muara (1877-1934 M), Guru Mughni Kuningan (1860-1935), Guru Madjid Pekojan (1887- 1913), Guru Khalid Gondangdia (1874-1946), Guru Mahmud Romli Menteng (1866-1959). Mereka adalah ulama-ulama terkemuka di Betawi pada jamannya. Dari sinilah dimulainya jaringan intelektual ulama Betawi abad ke-19 dan 20. Mereka adalah mata rantai ulama Betawi pada masa itu, bahkan ulama-ulama Betawi masa kini secara genealogis keilmuan tersambung kepada mereka (Aziz: 2002).
Menurut Ahmad Fadli HS, sebagian dari mereka tidak diketahui mengamalkan tarekat tertentu, kecuali Guru Marzuki dan Guru Khalid Gondangdia. Namun demikian, dalam penelusuran Fadli HS juga, sanad kelimuan sebagian besar dari mereka berpangkal kepada Syaikh Ahmad Al Qusyasyi (1583-1661) dan Abdul Aziz Az Zamzami (w. 1662), yang tokoh kedua ini menurut Azra masih dalam satu jaringan dengan Al Qusyasyi. Terkait dengan Ahmad Al Qusyasyi, Azra menerangkan bahwa Ia adalah seorang ahli hadis dan tokoh tasawuf terkemuka di Madinah pada abad ke-17. Ia dikenal sebagai Syaikh Tarekat Syathariyah tetapi sebenarnya dia terafiliasi dengan hampir selusin tarekat.
Peranannya sangat besar dalam transmisi Tarekat Syathariyah ke berbagai penjuru dunia melaui murid-muridnya. Murid-muridnya yang terkenal antara lain: IbrahimAl Kurani (1614-1690), Abdullah bin Syaikh A-Aydarus (1618-1662), Hasan bin ‘Ali Al ‘Ajami (1639-1701), dan lain-lain. Al,Qusasyi merupakan simpul dari sanad keilmuan dan tarekat ulama-ulama Nusantara pada abad ke-17 dan 18. Sanad tarekat Nuruddin Ar Raniri, Abdurrauf Singkil, dan Yusuf Al Maqassari semua berpangkal pada sosok Ahmad Al Qusyasyi (Azra: 2005). Melihat kenyataan ini, maka sulit untuk mengatakan bahwa ulama-ulama Betawi tidak mengamalkan tasawuf, atau paling tidak kita menduga kuat mereka menggunakan pendekatan sufistik dalam mendakwahkan Islam.
Pendapat bahwa tasawuf dan tarekat tidak berkembang ada benarnya (Fadli HS: 2011), jika yang dimaksud adalah tasawuf falsafi dan tarekat yang disimbolkan dengan lembaga-lembaga kesufian yang membutuhkan tempat-tempat suluk dan zawiyah-zawiyah. Kenyataannya di Betawi memang tidak berkembang faham wahdatul wujud dan sejenisnya, sebagaimana di Aceh dalam figur Hamzah Fansuri atau di Jawa dalam figur Syaikh Siti Jenar dan Syaikh Mutamakkin yang menjadi locus tarekat falsafi. Justru yang berkembang di Betawi model tasawuf sunni yang lebih ala Al Ghazali, sebuah pemahaman tasawuf yang menggabungkan antara syariat dan hakikat, dengan menitik beratkan pada menghisasi diri dengan akhlak mulia serta konsisten menjalankan syariat. Model tasawuf ini menjelma ke dalam Tarekat Alawiyah dan Sammaniyah yang menjadi bagian dari tak terpisahkan dalam kebudayaan masyarakat Betawi.
G. Kesimpulan
Walhasil sampai disini pada akhirnya penulis mengambil kesimpulan bahwa sampai akhir abad 20, tasawuf melalui tarekat, (terutama Tarekat ‘Alawiyah dan Sammaniyah) adalah unsur utama yang membentuk kultur keislaman masyarakat Betawi. Maka berdasarkan hal ini penulis mengatakan kultur keislaman masyarakat Betawi adalah kultur sufistik, yang mengembangkan karakter moderat dan toleran, serta santun dan humanis dalam dakwahnya. Kesimpulan ini sekaligus mematahkan pernyataan bahwa tasawuf dan tarekat tidak berkembang di Betawi.
Meski kultur tersebut sudah hampir hilang pada sebagian besar masyarakat Betawi, namun jangan berkecil hati dulu. Harapan akan kembalinya kultur keislaman masyarakat Betawi seperti dahulu tentu saja masih ada. Saat ini masih banyak ulama Betawi yang terafiliasi dengan ormas Nahdlatul Ulama, juga masih banyak murid-murid Habib Umar bin Hafidz yang mengajarkan Islam di Betawi. Khusus untuk yang kedua, gantungan harapan kita lebih besar daripada kepada yang pertama, yakni mengembalikan lagi kepada saudaranya sesama ‘Alawiyin ke dalam rel Tarekat Alawiyah, sebagaimana tarekat ini telah membentuk karakter moderat dan toleran pada masyarakat Betawi.
H. Daftar Referensi
Aziz ,Abdul, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos, 2002)
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Akar Pembaruan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005)
Derani, Saidun, “Ulama Betawi Perspekttif Sejarah” dalam Buletin Al-Turas, Fakultas Adab dan Humanioria Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XIX No. 2, Juli 2013
Dzikara, Mabda, Jaringan Keilmuan Guru Thariqah ‘Alawiyah di Betawi Abad ke-19 dan 20, Tesis UIN Jakarta 2020, TareBooks, (Jakarta: 2020).
Fadli HS, Ahmad, Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abd 19 dan 20, (Jakarta: Manhallun Nasyiin Pres, 2011)
Kiki, Rahmat Zaelani, Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21, cet. I, (Jakarta: Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Islam Jakarta, Jakarta Islamic Center, 2011)
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992)
Rahmat, Taufiq, Mengungkap Kisah Wali Kutub Syeikh Muhammad Samman, (Jakarta: Yayasan Nurrahmah, 2014)
Saidi, Ridwan, Sejarah Jakarta dari Peradaban Melayu Betawi, (Jakarta: Perkumpulan Renaisance Indonesia, 2010).
Shihab, Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Iiman, 2009)
Sagimun MD, Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah, 1988)
Siraj, Said Aqil, Islam Sumber Inspirasi Budaya Menuju Masyarakat Mutamaddun, (Jakarta: LTN NU, 2015)
_____________ Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, cet. IV, (Jakarta: LTN NU, 2012)
Siregar, Ariyono dan Aminuddin, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985).
Sulastri, Iis, Nilai-nilai Islam dalam Seni Tradisional Debus di Menes Pandeglang, Skripsi Fakultas Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta Tahun 2014.
“Sejarah Jakarta (History of Jakarta)”, Jilid 1, Dinas Pariwisata dan Sejarah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,Tahun 2012
Oleh. KH. M.Imaduddin, Sekretaris Umum Majelis Dakwah Islam Nusantara (MADINA)