BANDUNG | LIPUTAN9NEWS
Dalam proses pemilihan rektor di lingkungan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), peran utama selama ini dijalankan oleh senat universitas dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, atau Kementerian Agama untuk PTKIN. Kedua pihak tersebut memiliki otoritas formal dalam proses seleksi dan penetapan calon rektor. Namun, untuk mewujudkan semangat demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas, perlu dilakukan penguatan mekanisme partisipasi dari seluruh unsur civitas akademika, terutama dosen dan tenaga kependidikan (tendik).
Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah penerapan sistem e-voting dalam proses pemilihan rektor. E-voting memberikan ruang bagi dosen dan tendik untuk terlibat secara langsung dalam memilih figur pemimpin kampus. Sistem ini tidak hanya efisien dan modern, tetapi juga mencerminkan prinsip keadilan, keterbukaan, kejujuran, dan partisipasi aktif. Ini menjadi simbol bahwa kampus bukan hanya ruang akademik, melainkan juga laboratorium demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan integritas.
Penerapan e-voting juga menjadi upaya pencegahan terhadap praktik-praktik tidak etis dalam pemilihan rektor, seperti transaksi jabatan, kolusi, nepotisme, atau lobi-lobi politis kepada pejabat kementerian yang manipulatif dan tidak jujur. Ketika suara civitas akademika menjadi bagian dari proses, maka legitimasi seorang rektor tidak hanya berasal dari struktur formal, tetapi juga dari dukungan moral dan politik akademik internal kampus.
Namun, bila e-voting secara menyeluruh belum dapat diterapkan karena kendala regulasi, teknis, atau infrastruktur, maka paling tidak kementerian terkait perlu membuka akses resmi secara daring (online) yang dapat digunakan sebagai media partisipasi dan penyampaian aspirasi dari dosen dan tendik. Melalui media online yang kredibel dan terverifikasi, seluruh elemen kampus dapat memberikan masukan terhadap figur-figur calon rektor yang telah diajukan oleh senat universitas.
Media daring ini akan menjadi kanal komunikasi yang sehat antara civitas akademika dan kementerian, serta memperkaya proses penilaian terhadap integritas, kapasitas, dan rekam jejak calon-calon rektor. Dengan demikian, kementerian tidak hanya mengandalkan pertimbangan administratif, tetapi juga memperoleh informasi langsung dari akar rumput kampus sebagai bentuk bottom-up governance dalam ekosistem pendidikan tinggi.
Perlu digarisbawahi bahwa baik melalui e-voting maupun media partisipasi daring, inisiatif ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan kewenangan kementerian, melainkan sebagai penguatan masukan yang objektif dan transparan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan keterlibatan yang lebih luas, diharapkan rektor yang terpilih adalah sosok yang memiliki legitimasi moral, diterima oleh seluruh komunitas kampus, dan mampu membawa perguruan tinggi menuju kemajuan yang lebih baik.
Langkah ini bukan hanya teknis administratif, melainkan bentuk perwujudan nilai-nilai demokrasi dan tata kelola yang baik (good governance) dalam kehidupan akademik. Kampus harus menjadi contoh bagi masyarakat dalam memperkuat budaya dialog, partisipasi, dan transparansi.
Wacana pemilihan Rektor model seperti ini perlu dipertimbangan oleh kementerian terkait, bahkan bila perlu disupport oleh bapak presiden Prabowo karena sangat terkait dengan implementasi kebijakan asta cita di dunia kampus.
Dr. H. Dudy Imanuddin Effendi, M.Ag, Wakil Dekan 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
























