LIPUTAN9.ID – Sebagai filsuf kontemporer yang acapkali dinilai kontroversial sekaligus melakukan terobosan, Jacques Derrida menempati posisi yang sangat unik dalam dunia intelektual dan pemikiran. Latar-belakang kultural Derrida telah memberikan suatu kerangka baru untuk menginvestigasi kembali gagasan humanisme dan pencerahan. Sesuai dengan pengalaman mengadanya, identitas muncul bagi Derrida sebagai batas-batas yang tidak stabil, tidak subtil, dan tidak ajeg.
Latar-belakang ini pada akhirnya menggarisbawahi tantangan pada perbatasan ragam territori: Eropa dan non-Eropa, dunia pertama dan dunia ketiga, Judaisme dan Kristianitas, Judaisme dan Islam. Dan dalam pandangannya tantangan yang sama sesungguhnya tengah dihadapkan kepada filsafat.
Pada titik ini intervensi-politis Derrida seringkali ditujukan sebagai sebuah ikhtiar untuk menemukan cahaya baru atas benua-benua yang tersembunyi. Melampaui konsep negara-kebangsaan. Karena menurutnya negara kebangsaan memiliki fungsi ganda: melindungi warga-negara sekaligus menghancurkannya. Negara melindungi diri sekaligus menghancurkan diri.
Pandangannya tersebut tidak lepas dari pengalaman negatif tentang politik dan negara dalam dunia modern yang nyatanya menjadi tragedi pembantaian warga-negara seperti kasus holocaust dan genocide. Dan karena itu tugas filsuf menurutnya adalah senantiasa bersikap kritis untuk menganalisa dan kemudian menarik konsekuensi-konsekuensi praktis antara warisan filsofis dan struktur juridis-politis.
Dekonstruksi dan Pengampunan
Intervensi dekonstruktifnya Derrida adalah suatu ikhtiar untuk membedah setiap diskursus yang tegak sebagai sebuah konstruksi filsafat. Ikhtiar ini sangat berciri individual dan bertujuan menggoncang stabilitas prioritas-prioritas struktural masing-masing konstruksi yang khusus. Dalam telisik-investigatif ini, konstruksi-konstruksi filsafat modern bergantung pada oposisi dan pasangan-pasangan konseptual yang tak tereduksikan seperti spiritual-material, universal-khusus, kekal-temporal, dan lelaki-perempuan.
Oposisi-oposisi tersebut dalam pandangan Derrida mendesakkan suatu tatanan hirarkis dan mengucilkan serta menyingkirkan apa atau sesuatu yang tidak sesuai dengan kategorisasinya. Contohnya adalah kebajikan di dalam skema kristiani seringkali diidentikkan dengan yang spiritual dan yang lelaki. Sementara keburukan berkenaan dengan perempuan dan yang material. Terlebih apa yang tidak tercakup dalam kategori hirarki oposisi-biner tersebut semisal lesbian dan homoseksual.
Selanjutnya apa yang didekonstruksi adalah segala kepercayaan, nilai, dan ide yang dikonstruksikan filsafat modern dan dijaga kesatuannya dalam skema konseptual hirarki oposisi-biner tersebut. Pertama, intervensi-dekonstruksi diawali dengan mengidentifikasi konstruksi-konseptual suatu bidang teoritis tertentu baik agama, etika, metafisika, atau pun teori politik yang menggunakan skema hirarki oposisi-biner.
Kedua, intervensi-dekonstruksi menginvestigasi penataan hirarki oposisi-biner tersebut. Ketiga, intervensi-dekonstruksi diteruskan dengan membalikkan atau menjungkirbalikkan tatanan hirarki oposisi-biner tersebut dengan cara menempatkan hirarki yang pada awalnya di bawah menuju ke atas, karena menurut Derrida seringkali penataan hirarki oposisi-biner tersebut lebih sebagai cerminan pilihan-pilihan strategis dan seksis atau pun ideologis ketimbang suatu deskripsi sifat-sifat yang intrinsik.
Yang terakhir atau yang keempat, intervensi-dekonstruksi kemudian memproduksi istilah ketiga untuk melampaui hirarki oposisi-biner tersebut, hingga tidak dapat dikenali lagi dengan cara membongkar struktur yang menyangganya yang dijadikan dasar penataan hirarki oposisi-biner tersebut. Dua gerakan intervensi-dekonstruksi yang pertama diikhtiarkan untuk menantang deskripsi konstruksi-konseptual. Sementara itu dua gerakannya yang terakhir bertujuan untuk merusak bentuknya dan kemudian membentuknya kembali dengan muatan cara pandang yang baru dan kemudian mentransformasinya.
Ikhtiar Derrida tersebut diniatkan untuk membawa filsafat pada kemungkinan batas-batasnya sebagaimana yang telah dilakukan Socrates dan Nietzsche dengan tujuan untuk menghindari sikap dogmatik dalam pemikiran. Pada konteks inilah Derrida sering dijuluki Penelope modern, Nietzsche-Socrates kontemporer.
Dengan kerangka itu pulalah Derrida membongkar konseptualisasi pengampunan yang selama ini dipahami dan dimengerti. Ia melangkah ke depan dengan mengatakan bahwa pengampunan seharusnya dimengerti sebagai tugas mokal untuk mengampuni sesuatu yang tidak terampuni. Karena menurutnya tanpa mengampuni sesuatu yang tidak mungkin terampuni, maka tak akan pernah ada kosa-kata pengampunan sama sekali. Sebab baginya pengampunan tidak dapat direduksi kepada batas legal dan moral yang manapun, akan tetapi hanya mungkin diapresiasi ketika dan bagaimana hal itu muncul.
Dengan demikian Derrida menghindari kerangka teologiko-politik untuk membincang pengampunan yang diakuinya sangat berakar pada tradisi Abrahamik yang diwariskan dalam politik sekuler Barat. Derrida menganjurkan suatu refleksi yang ketat tentang konsep pengampunan sejauh menyangkut perujukan dan penggunaannya dalam konteks-konteks sejarah dan budaya yang konkrit ketimbang sebagai entitas abstrak. Dengannya ia menamai ulang geo-politik pengampunan.
Lebih lanjut ia mengatakan ada dua jenis pengampunan. Pertama, pengampunan bersyarat yang syaratnya adalah dapat dikalkulasikannya hukuman. Yang kedua, pengampunan tanpa-syarat atau mengampuni hal yang tidak dapat diampuni. Pengampunan yang terakhir masuk dalam wilayah yang tak terukur dan tentu saja bersifat mokal. Yang datang dari ketakterdugaan atau pun keterkejutan yang menjungkirbalikkan garis perjalanan lazim yang ditempuh oleh sejarah, hukum, dan politik. Menurutnya tanpa pengalaman pengampunan tak bersyarat sesungguhnya tidak akan ada pengampunan sama sekali.
Langkah pertama intervensi-dekonstruksi untuk membongkar konsep pengampunan ini diawali dengan membongkar akar ke-Abrahaman tersebut sejauh menyangkut dimengerti dan dipahaminya pengampunan dan kemungkinan silih gantinya. Yang kedua adalah membongkar dan menginvestigasi sejumlah pasangan hirarki oposisi-biner yang memungkinkan standar-standar pembentukan konseptualisasi dan pemahamannya seperti: terbatas-tak terbatas, transenden-immanen, kekal-temporal, yang dapat diperbaiki-yang tidak dapat diperbaiki, yang dapat ditebus dan yang tidak dapat ditebus, yang mungkin-yang tidak mungkin.
Setelah memetakan pasangan hirarki oposisi-biner tersebut kemudian diteruskan dengan gerakannya yang ketiga: menunjukkan bahwa pasangan-pasangan tersebut disusun dan ditata secara hirarkis sesuai dengan motif dan semangat filsafat tradisional. Filsafat identitas atau filsafat subjek.
Dan hasilnya yang dipahami selama ini tentang konsep pengampunan diberikan secara terbatas pada kasus-kasus yang dapat ditebus atau kasus-kasus yang dapat diberikan silih gantinya, dan yang dapat diperbaiki. Setelah mengetahui ini Derrida melangkah pada gerakan intervensi-dekonstruksinya yang ketiga, yaitu dengan menyatakan bahwa aksioma ke-Abrahaman yang hanya mengampuni yang dapat diperbaiki dan dapat ditebus sungguh-sungguh didasarkan pada sebuah paradoks. Di satu sisi meniscayakan suatu pengampunan, tetapi di sisi lain mengandaikan silih ganti atau tebusan. Derrida kemudian menolak simetri pandangan tersebut, karena mengampuni dalam pandangannya adalah mengampuni intensi jahat (siapa) dan tindakan jahat (apa) persis seperti apa adanya (jahat itu sendiri).
Derrida kemudian membedah dan membongkar kembali kategorisasi apa yang disebut pengampunan bersyarat dan pengampunan tanpa syarat. Yang pertama memang cocok dengan hukum dan politik, akan tetapi menurutnya pengampunan jenis ini tereduksi dalam suatu terapi rekonsiliasi. Karena menurutnya ada suatu distingsi antara rekonsiliasi legal dan pengampunan. Dan mungkin saja ada korban yang tak dapat mengampuni meski setelah amnesti atau pun pembebasan. Pada konteks ini pengampunan merupakan teka-teki. Dengannya kita akan memahami dan menerima jenis pengampunan yang kedua, pengampunan tanpa-syarat.
Pun Derrida mengekspose dan membongkar ketidakmemadainya konsep pengampunan yang selama ini dimengerti dalam geo-politik sekuler Barat yang didesakkan oleh warisan ke-Abrahamannya. Pengampunan bersyarat dalam pandangannya hanya cocok dalam tataran hukum dan politik sekuler saat ini yang seringkali jatuh pada negosiasi-negosiasi pragmatis dan pertukaran yang setara. Argumen penalaran tersebut sebenarnya menawarkan suatu kemungkinan bagi penciptaan situasi kemanusiaan di masa yang akan datang (to come).
Melampaui Negara-Kebangsaan dan Kosmopolitanisme Politik
Perbincangan dan penalaran Derrida tersebut pada akhirnya adalah suatu ikhtiar untuk melampaui konsep negara-kebangsaan yang selama ini diterima, dipraktekkan, dan diapropriasi politik sekuler. Pun ketika ia membincang demokrasi, maka yang dimaksudkannya adalah demokrasi yang mungkin, yang secara simultan selalu merujuk kepada kemasadepanan. Demokrasi yang akan datang.
Akan tetapi demokrasi dalam artian ini menurutnya bukannya suatu bentuk demokrasi yang suatu hari akan hadir, juga bukan dalam artian ide regulatif dalam pengertian Kantian. Demokrasi bukanlah kategori rezim politik. Sebab bila dikatakan sebagai kategori rezim politik, demokrasi tidak lebih dari nama sebuah rezim. Karena menurutnya tetap terdapat sesuatu yang tidak mungkin dkarenakan aporia yang terkandung dalam kata demos, yang menurutnya merujuk pada pengertian keunikan setiap orang yang tak terkalkulasikan.
Demokrasi yang dimaksudkannya pada titik ini adalah membiarkan makhluk tunggal, di mana setiap orang hidup bersama tanpa harus ditentukan oleh kewargaan atau sebuah kondisi mereka sebagai subjek-subjek yang sah menurut hukum di dalam sebuah negara-kebangsaan. Cita-cita demokrasi yang dimengerti Derrida terletak diluar kosmopolitanisme politik dan kewargaan negara-kebangsaan. Demokrasinya Derrida adalah suatu ikhtiar untuk melampaui kosmopolitanisme politik.
Sulaiman Djaya, pekerja budaya