Cirebon | LIPUTAN9NEWS
Belakangan masih saja ada anggapan oleh kelompok tertentu, bahwa tasawuf dan tarekat adalah ajaran yang keluar dari islam, atau bid’ah. Karena menurut mereka, hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad, serta tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an, atau paling tidak, ada anggapan pada mereka yang belajar hanya ilmu fiqih, sering kali memandang rendah para pembelajar ilmu tasawuf. Sebaliknya, mereka yang berkonsentrasi dengan tasawuf, kadang melalaikan hukum-hukum fikih.
Dikotomi semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi, kalau bisa memahami bahwa kedua disiplin ilmu itu sesungguhnya merupakan anak kandung dari induk ilmu-ilmu keislaman yang sebenarnya tetap satu. Meskipun dalam konteks tertentu, ada perbedaan nalar, sehingga Imam Al-Ghazali melalui Ihya (Ihya Ulumiddin) mencoba menawarkan jalan tengah, bahwa tasawuf dan fikih adalah satu kesatuan atau satu tarikan nafas bagi umat Islam.
Imam Al-Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam, salah satunya karena beliau punya jasa yang amat besar dalam memberikan argumen (hujjah) baik lewat dalil akal atau naqli. Keduanya berjalin berkelindan dengan rapi dan saling menguatkan ibarat simpul-simpul temali yang terikat dengan benar. Mengalahkan sekian banyak argumen kalangan, termasuk argumen para zindiq (anti-Tuhan). Selain Imam Ghazali, juga ada Syaikh Akbar Abdul Qadi Al-Jilani, dalam karyanya, “Al-Ghunyah”.
Salah satu yang menjadi dasar, bahwa tasawuf dan fiqih itu harus berjalan seiring dan senafas, saling mendukung dan melengkapi adalah hadis shahih, yang disebut hadist Jibril As,. Diriwayatkan, suatu ketika Nabi kedatangan tamu di suatu majelisnya, kemudian orang ini mendekati Rasulullah Saw., bahkan semakin dekat, sampai-sampai dia menempelkan kedua lututnya kepada lutut Nabi, kemudian meletakkan dua telapak tangannya ke atas dua paha Nabi, kemudian terjadilah tanya Jawab antara mereka berdua:
يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ الله : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ : أَنْ تؤمِنُ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya: “Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.” Nabi menjawab :”Islam adalah kamu bersaksi tidak ada yang berhak dipatuhi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan kamu menunaikan haji ke Baitullah, jika kamu mampu melakukannya,” lelaki itu berkata, ”Kamu benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Nabi menjawab: “Iman adalah, kamu beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan berIman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan.” Nabi menjawab:” Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihatNya, kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (Fath al-Bari li Ibn Hajr, (125/1).
Terkait dengan hadist ini, Imam al-Qurthuby (w 671 H) memberi tanggapan, bahwa hadits ini layak disebut sebagai induknya sunnah, itu dikarenakan kandunganya yang menghimpun aspek nilai-nilai islam, yang mencakut dhahir dan batin. (Syarh an-Nawawi ‘ala Shohih Muslim (160/1). Sementara menurut Imam Izzuddin bin Abdus Salam (W 660 H/1262 M), antara fiqih dan tasawuf adalah dua hal yang tak terpisahkan dari kenyataan hidup ini. Fiqih boleh jadi di wilayah publik, sementara tasawuf berada di wilayah privat.
Itu sebabnya setiap ibadah selalu melibatkan keduanya, seperti wudlu, shalat tidak akan sah jika tidak ada niatnya. Dalam kitab Al-Qawâ’id al-Kubrâ, Izzuddin bin Abdus Salam berkata, “Fiqih punya nalar sendiri, dan itu terukur, ilmiah, logis, sisi dhahir, sementara tasawuf atau aqidah boleh jadi tidak terukur, individualis, anlogis, tapi jalannya akan tetap sama dengan fiqih.” (Al-Qawâ’id al-Kubrâ: 1/6)
Dalam bahasa yang lain, fiqih hanya membahas kerangka dalam suatu ibadah, jika sudah menyangkut terhadap niat atau keikhlasan dalam beribadah itu adalah pembahasan ilmu tasawuf. Maka dari itu fiqih dan tasawuf sangat erat kaitannya.
Di sisi lain, tasawuf dapat menjawab kegelisahan umat muslim dalam beribadah. Tasawuf dapat juga memberikan nuansa kebatinan yang dapat membangkitkan suasana batin untuk menyampaikan kepada Allah Swt. secara naluriah. Karena sejatinya, dalam Islam semua aktivitas yang dilakukan oleh umat Islam dengan niat lillahitaala adalah suatu ibadah, dan sufi mengabdikan dirinya kepada Allah SWT dan melaksanakannya secara khusyu, tulus, dan ikhlas. Karena itu, Imam Malik sampai pernah berkata:
من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسّق ومن جمع بينهما فقد تحقق
Artinya: “Barangsiapa bertasawuf tanpa fiqih, maka akan menjadi zindiq, sementara barangsiapa berfiqih tanpa tasawuf, maka akan menjadi fasiq, dan barangsiapa mengamalkan keduanya maka akan mencapai hakikat.” (Hasiyah al-Adawi ala’ syarh al-Imam az-Zarqoni ala’ matn al-Aziyah fi al-Fiqh al-Maliki (195/3).
Fiqih yang dimaksud disini adalah:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang hukum syariat atas perbuatan-perbuatan dhohir, yang digali dari dalil-dalil secara terperinci” (Tajudin as-Subki, kitab jam’u al-jawami’ (1/42).
Sementara yang dimaksud dengan tasawuf oleh Abu al-Hasan asy-Syadzili (1258 M) adalah, bahwa tasawuf merupakan praktik-praktik ibadah untuk memperoleh amalan dan pelatihan diri untuk mengembalikan diri kepada Allah Swt, atau sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ma’ruf al-Karkhi (w 200 H):
التصوف الأخذ بالحقائق واليأس مما في أيدي الخلائق
Artinya: “Tasawuf adalah mencari kebenaran hakiki dan berpaling dari apa yang dimiliki makhluk” (Awafif al-Ma’arif, hal. 62).
Jadi agar semua amal perbuatan kita diterima Allah dan menjadi sebab masuk ke dalam jannah, maka dua syarat yang harus dipenuhi, pertama harus diniatkah lillahi ta’ala dan yang kedua harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang sudah digariskan syari’at.
Nabi Muhammad SAW adalah contoh dari suri tauladan yang paling baik dalam praktik penggabungan antara fiqih dan tasawuf dalam tingkah lakunya (akhlaknya). Beliau juga selalu menunjukkan dan memberi dorongan berbuat baik kepada sesama manusia, keluarga, memuliakan tamu dan tetangga.Nabi menjelaskan dalam salah satu sabdanya, bahwa manusia yang paling baik ialah yang paling baik perangainya.
Dalam hubungan ini bukan hanya tingkah laku lahir saja, melainkan juga sikap batin hendaknya selalu terkontrol dan cenderung kepada jalan kebaikan dan kebajikan. Praktik tasawuf Nabi Muhammad Saw. adalah berakhlak mulia yang selalu beliau terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Cerita dari Sa’id bin Hisyam: “Aku datang menemui A’isyah ra, lalu kutanyakan tentang akhlak Rasulullah SAW”. A’isyah ra menjawab: “Bisakah engkau membaca Al-Qur’an?” Kataku: “Bisa!” Ujar beliau: “Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an. Allah ridlo bersama keridlaan beliau, dan Allah niscaya marah bersama kemarahan beliau.” Rasulullah Saw bersabda:
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ
Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji lagi kotor” (HR. At-Tirmidzi).
Selain itu, pola kehidupan Nabi yang sederhana dan selalu ber-mujahadah juga menjadi tamtsil (teladan) bagi kehidupan para zahid dan sufi. Teladan yang mengantarkan pada fase-fase intuitif dan maqamat serta ahwal yang pada akhirnya akan mengantarkan si salik kepada terbukanya hakikat serta sampai pada jalan menuju Allah dengan pengetahuan yang hakiki (ma’rifat ilhamiyah-laduniyah) (M. Jalal Syaraf, 1984: 37-38).
Karena itu tak berlebihan Annemarie Schimmel (2000: 31) mengatakan, bahwa Nabi Muhammad Saw. merupakan mata rantai pertama dalam rangkaian rohani tasawuf. Serta mi’rajnya lewat berlapis-lapis langit kehadapan ilahi merupakan prototip kenaikan rohani para mistikus ke hadapan Allah. Maka, suri-teladan kehidupan sufi adalah dari kehidupan Nabi SAW. Kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai luhur yang dinukilkan melalui para sahabatnya. Kehidupan Nabi yang diupayakan oleh para sufi untuk dijadikan hiasan jiwa bagi mereka tidak hanya pada masa Nabi diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Namun, kehidupan Nabi sebelum bi’tsah pun menjadi bagian dari upaya mengolah pengalaman spiritual (tajribat/riyadlat) oleh para sufi.
Kita tahu bahwa bahwa kehidupan Nabi sebelum bi’tsah penuh dengan kejadian-kejadian yang memiliki nilai spiritual luhur. Semisal beliau ber-tahannuts dan ber-khalwat di gua Hira` dengan tujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam upaya memahami realitas masyarakat pada waktu itu. Dan dalam ber-tahannuts inilah pula Nabi menerima wahyu pertama dari Allah melalui Jibril (M. Jalal Syaraf, 1984: 35).
Sementara bagi Fazlur Rahman (1979: 128), dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menggambarkan pengalaman mistik Nabi, seperti dalam Q.S. al-Isra`: 1, Q.S. al-Najm: 1-12 dan 13-18, Q.S. al-Takwir: 19-25. Oleh karena itu, banyak amalan-amalan Nabi yang menjadi dasar dan unsur tasawuf yang diamalkan oleh para sufi. Semisal hidup dengan sederhana (zuhud), selalu beristighfar, berpuasa, dan bermujahadah (As’ad al-Sahmarani, 1987: 74-75).
Selain itu, meski Rasulullah adalah orang yang terjaga dari dosa (ma’shum) dan suci, namun tetap melakukan riyadlah dan mujahadah sebagai bentuk teladan kepada umatnya, bahwa untuk mencapai titik muthmainnah dan tingkatan dekat dengan Allah maka harus dibarengi dengan riyadlah dan mujahadah.
Dalam proses mujahadah, periode takhalli adalah yang pertama bagi Rasulullah, dimana hakikat lebih dominan karena pada waktu ini belum ada kewajiban-kewajiban yang bersifat syariat. Takhalli artinya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat buruk, seperti: sombong, dengki, iri hati, cinta kepada dunia, cinta kedudukan, riya’, dan sebagainya. Pada periode Makkah ini, jangan heran jika Rasulullah tetap sabar meski dilempari dengan batu dan kotoran serta dicaci maki.
Dari takhalli kemudian beranjak ke tahap tahalli, dimana Rasullah akan memiliki jiwa yang lebih bersih dan memandang segala sesuatunya itu digerakkan oleh Allah. Tahalli berarti menghiasi jiwa dengan sifat-sifat yang mulia, seperti: kejujuran, kasih sayang, tolong menolong, kedermawanan, sabar, keikhlasan, tawakal, kerelaan, cinta kepada Allah SWT, dan sebagainya, termasuk di dalahnya adalah banyak beribadah, berzikir, dan muraqabah kepada Allah SWT.
Sedangkan, pada periode Madinah Rasulullah istilahnya mencapai pada tajalli. Secara etimologi, tajalli berarti pernyataan atau penampakan. Tajalli adalah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan keagungan-Nya. Istilah lain yang memiliki kedekatan arti dengan tajalli adalah ma’rifah, mukasyafah, dan musyahadah. Semua itu menunjuk pada keadaan di mana terbuka tabir (kasful-hijab) yang menghalangi hamba dengan Allah Swt. Atau dalam arti lain, secara ruhani Rasulullah senantiasa ingat kepada Allah, namun beliau melengkapinya dengan aspek syariat. Itulah simbol takhalli, tahalli, dan tajalli yang dicontohkan oleh Rasulullah, dan ini dasar-dasar bertasawuf.
Karena itu, menurut As’ad al-Sahmarani, Nabi mengajarkan secara khusus kepada para sahabatnya, bagaimana agar mereka mempraktikkan secara bersama-sama, antara fiqih dengan inti ajaran tasawuf. Diantara yang paling terkemuka adalah Ali ibn Abi Thalib, yang menjadi garis penghubung antara Nabi dan hampir semua kelompok Tarekat Sufi melalui pengajaran secara rahasia (silsilah barzakhi) dari tiap-tiap generasi sufi sampai Nabi SAW. Selain Ali, ada pula Abu Bakar dan Salman al-Farisi yang kedua-duanya mempunyai peran penting dalam sejarah awal perkembangan ajaran tasawuf dan tarekat.
Di samping nama-nama sahabat di atas, masih banyak lagi para sahabat yang mengamalkan ajaran-ajaran tentang kesederhanaan, tawadlu’, dan amalan kerohanian yang lain. Semisal Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Khudaifah ibn al-Yaman, dan al-Barra` ibn Malik. Jadi inilah pentingnya belajar tasawuf disamping belajar fiqih. (As’ad al-Sahmarani, al-Tashawwuf; Mansya`uhu wa Mushtholahatuhu, Beirut: Dar al-Nafa`is, 1987, h. 82-104). Wallahu’lam bishawab.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.