BOGOR | LIPUTAN9NEWS
Perkembangan teknologi informasi telah mengubah secara drastis cara manusia menjalankan aktivitas ekonomi. Dari transaksi jual beli, pinjaman, hingga investasi kini telah bertransformasi menjadi digital, memanfaatkan platform seperti e-commerce, mobile banking, e-wallet, hingga fintech. Perubahan ini membawa kemudahan dan efisiensi, namun juga menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana pandangan Islam terhadap transaksi digital ini?
Inilah ruang lingkup kajian fiqih muamalah, yaitu cabang fiqih Islam yang mengatur interaksi sosial dan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam konteks modern, fiqih muamalah dituntut untuk mampu menjawab tantangan transaksi digital tanpa kehilangan nilai-nilai pokoknya.
Di era digital yang kita jalani saat ini, bisnis telah bergeser dari sistem tradisional ke sistem yang menggunakan teknologi. Kini,Perubahan ini memudahkan banyak hal,Fiqih muamalah adalah cabang fiqih yang membahas tentang cara berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang mengikuti prinsip-prinsip syariah.
Fiqih muamalah bersifat fleksibel dapat berubah seiring perkembangan zaman asalkan mengikuti kaidah-kaidah dasar keadilan, kejujuran, kerelaan (ridha), dan larangan riba, gharar (ketidakpastian), dan maisir (terlalu banyak spekulasi).
Transaksi Elektronik dan Tantangannya, iinilah beberapa bentuk transaksi yang kini marak di era digital antara lain:
- Pembelian barang via e-commerce (Shopee, Tokopedia, dll.)
- Pembayaran menggunakan dompet digital (OVO, DANA, GoPay)
- Pinjaman online melalui aplikasi fintech
- Investasi berbasis digital (cryptocurrency, saham online, dll.)
Meski praktis, transaksi ini menimbulkan tantangan dalam perspektif fiqih, diantaranya:
- Gharar (ketidakjelasan): Misalnya, deskripsi produk yang tidak sesuai kenyataan.
- Anonimitas pelaku transaksi, Tidak jelasnya identitas penjual atau pembeli.
- Potensi riba, dalam sistem pinjaman online dengan bunga tinggi.
- Kurangnya akad yang eksplisit, seperti Ijab kabul sering tidak terjadi secara verbal atau tertulis.
Dalam Al-Qur’an disebutkan
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَتَرَاضٍ مِّنْكُمْۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ٢٩
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Pendekatan Fiqih terhadap Transaksi Digital
Fiqih muamalah memiliki prinsip bahwa asal segala bentuk transaksi adalah boleh (ibahah), kecuali jika terdapat larangan yang jelas. Maka dari itu, selama unsur keadilan, kejelasan akad, dan kehalalan barang/jasa terpenuhi, transaksi digital dapat dibenarkan secara syariah.
Sebagai contoh pembayaran digital dianggap sah selama niat dan tujuannya jelas, serta tercatat secara digital.
Jual beli online dianggap sah jika konsumen sudah mengetahui spesifikasi barang, harga, dan terdapat persetujuan antara kedua belah pihak.Untuk menyikapi tantangan ini, para ulama kontemporer berpegang pada kaidah “Al-‘urf muhakkam” (kebiasaan masyarakat menjadi pertimbangan hukum) serta prinsip maslahah (kemaslahatan umat).Beberapa pendekatan fiqih terhadap transaksi digital antara lain:
- Transaksi online sah selama informasi produk, harga, dan syarat transaksi disampaikan secara jelas.
- Pembayaran digital sah, selama disertai pencatatan transaksi dan niat penggunaan yang halal.
- Akad elektronik seperti “klik setuju” bisa dianggap sah sebagai bentuk ijab-qabul modern, jika kedua pihak memahaminya.
Solusi Syariah di Era Digital
Beberapa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi tantangan ini antara lain:
- Digitalisasi fatwa: Otoritas keagamaan seperti DSN-MUI perlu menerbitkan panduan khusus untuk transaksi digital.
- Sertifikasi syariah: Platform e-commerce, fintech, dan layanan digital lainnya perlu disertifikasi sesuai standar syariah.
- Peningkatan literasi digital syariah: Masyarakat perlu dibekali pemahaman tentang hukum-hukum muamalah digital.
- Peran aktif ulama dan regulator: Untuk merespons inovasi teknologi melalui ijtihad kontemporer.
Studi Kasus
- Kripto dan NFT: Belum memiliki underlying asset yang jelas, dan fluktuatif. DSN-MUI masih menyatakan haram untuk sebagian besar jenis kripto.
- Pinjaman Online Syariah: Sudah mulai berkembang dengan akad-akad seperti murabahah dan ijarah, dan tanpa bunga.
- E-commerce Syariah: Beberapa platform seperti BerkahMart, Tokopedia Salam, mulai menerapkan filter produk halal dan metode pembayaran syariah.
Penutup
Perkembangan teknologi bukanlah ancaman bagi hukum Islam, melainkan ladang baru bagi penerapan nilai-nilai fiqih muamalah yang kontekstual. Dengan pendekatan yang bijak, kolaboratif, dan edukatif, fiqih muamalah mampu menjawab tantangan zaman dan menjadi landasan kokoh bagi transaksi elektronik yang halal, adil, dan bermanfaat. Perkembangan teknologi digital adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
Di era revolusi industri 4.0 dan menuju era society 5.0, manusia akan semakin tergantung pada sistem digital dalam setiap aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Oleh karena itu, hukum Islam tidak boleh bersikap stagnan ataupun kaku dalam menyikapi perubahan ini. Justru, fiqih sebagai instrumen hukum Islam yang dinamis dan kontekstual harus mampu memberikan solusi hukum yang relevan, realistis, dan maslahat.
Fiqih muamalah memiliki potensi besar untuk menjadi landasan utama dalam mengarahkan praktik transaksi digital agar tetap berada dalam koridor syariah. Nilai-nilai utama seperti keadilan, kejujuran, transparansi, dan kerelaan antar pihak adalah pilar-pilar universal yang juga dijunjung tinggi dalam sistem ekonomi digital modern. Maka dari itu, integrasi antara inovasi teknologi dan nilai-nilai fiqih muamalah harus dipandang bukan sebagai kontradiksi, melainkan sebagai peluang sinergi.
Namun, untuk mewujudkan hal ini tidak cukup hanya mengandalkan fatwa dan hukum tertulis. Diperlukan kerja sama aktif antara regulator, ulama, akademisi, pelaku industri digital, dan masyarakat pengguna. Regulator harus menghadirkan kebijakan yang mendukung transaksi digital syariah, ulama harus terbuka terhadap diskursus teknologi, pelaku industri harus menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial, serta masyarakat harus cerdas dan kritis dalam memahami hukum transaksi yang mereka lakukan.Literasi fiqih digital juga harus terus ditingkatkan melalui pendidikan, seminar, dan konten edukatif di media sosial agar prinsip-prinsip muamalah syariah tidak hanya diketahui, tapi juga diamalkan secara luas oleh generasi muda muslim.
Di sinilah pentingnya peran kampus, lembaga pendidikan Islam, dan para da’i untuk terlibat secara aktif dalam mensosialisasikan fiqih muamalah yang aplikatif.Pada akhirnya, fiqih muamalah di era digital bukanlah tentang mempertentangkan masa lalu dan masa depan, melainkan bagaimana menjaga nilai-nilai Islam tetap hidup di tengah derasnya arus modernisasi. Dengan memahami tantangan dan menjawabnya secara kreatif serta bertanggung jawab, kita bukan hanya menjaga kesucian muamalah, tapi juga turut membangun ekonomi Islam digital yang kuat, berdaya saing, dan penuh berkah.
Muhammad Akmal Syarif, Mahasiswa Jurusan Informasi STMIK TAZKIA Dramaga Gobor
























