Jakarta, Liputan9 – Agama terdiri dari dua dimensi: dimensi lahiriah dan dimensi batiniah. Dimensi lahiriah adalah aspek eksoterik Islam, atau hukum-hukum syariat yang berbicara hanya seputar wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Semua aktifitas manusia tak bisa terlepas dari lima aspek ini dan kita sebagai hamba wajib mentaati lima aspek ini. Sementara dimensi batiniah ialah aspek esoterik Islam, atau nilai-nilai spiritual dan hikmah yang terkandung dari hukum-hukum syariat.
Keberhasilan islamisasi di Nusantara tanpa menimbulkan konflik dengan kebudayaan masyarakat Nusantara yang beragama ialah berkat pendekatan dakwah sufistik para pembawa Islam awal di Nusantara. Dakwah sufistik ialah mengedepankan aspek esoterik dalam beragama, atau pendekatan dakwah yang mengedepankan nilai-nilai hikmah yang terkandung dalam hukum-hukum syariat Islam atau aspek eksoterik Islam. Agama, menurut Said aqil Siraj, akan kehilangan sisi spiritualitasnya jika yang diajarkan hanya aspek eksoterik saja, cuma sebatas legal formal dan tekstualistik semata. Memahami Islam hanya sebatas tekstualistik dan legal formal saja akan melahirkan sikap ekstrem dan melampaui batas.
Contohnya ibadah puasa, bila anda memahami puasa hanya dari aspek eksoterik, yakni menahan lapar, haus, dan hal-hal yang membatalkan puasa mulai fajar hingga terbenam matahari, maka anda akan kehilangan sisi spiritualitas dan puasa anda akan kering makna. Memang puasa anda sah secara fikih, tapi tak ada nilainya di mata Allah. Rasulullah saw menyindir orang yang beribadah hanya mementingkan sisi eksoteriknya. Sabda nabi saw: banyak orang berpuasa tapi tidak mendapatkan apap-apa dari puasanya, melainkan hanya lapar dan haus”. Contoh lain,adalah ibadah haji. Haji adalah ibadah yang sarat dengan simbol-simbol. Bila haji hanya dipahami secara eksoterik, maka anda hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga, tanpa mendapatkan makna apapun dari ibadah badaniah ini. Haji secara spiritual adalah menghayati perjuangan Ibrahim dalam mentaati perintah Tuhan-nya. Haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya, dimana semua orang sederajat di hadapan Allah SWT.
Dunia sufi adalah dunia yang akrab dengan aspek esoterik Islam, karena itu mereka banyak menggunakan simbol-simbol dan perlambang dalam dakwahnya. Masjid Agung Demak yang dibangun oleh Wali Sanga yang memiliki tiga cungkup bertingkat, persis dengan Pura agama Hindu, melambangkan dari iman, islam, dan Ihsan. Bedug, ketupat, gamelan, yang diciptakan oleh wali Sanga sarat dengan makna-makna sufistik. Tembang ilir-ilir yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga penuh dengan makna sufistik, yakni mengingatkan seseorang akan kematian dan bekal apa yang akan dibawanya untuk menghadapi kehidupan akhirat. Begitu juga dengan tradisi slametan, sekatenan, sarat dengan dengan pesan-pesan kegamaan. Tentu saja yang bisa menangkap pesan-pesan tersebut hanya bagi orang yang berpikir, dan para sufi berada dalam golongan ini.
Mircea Eliade, seorang filsuf sekaligus pakar sejarah agama-agama dan fenomenologi agama dari Rumania mengatakan: bahwa semua kegiatan manusia melibatkan simbolisme, bahkan simbol adalah cara khusus untuk mengenal hal-hal religius. Oleh karena manusia adalah makhluk fana dan penuh keterbatasan oleh hal duniawi, maka manusia tidak dapat memiliki akses ke hal yang sakral, dan yang transeden. Simbol adalah cara ekspresi yang lebih berkualitas dibandingkan perkataan manusia. Simbol mampu menampung informasi yang sulit bahkan yang tidak mungkin diekspresikan. Simbol adalah tanda-tanda realitas transeden, memberikan pandanan yang jelas mengenai keberadaan yang sakral itu. Simbol memiliki keunikan karena memberikan pemahaman yang jelas mengenai yang sakral dan realitas kosmologis yang tidak ada manifestasi lain mampu menyatakannya.
Eliade menyebut contoh ka’bah. Walaupun di satu sisi ka’bah hanyalah seonggok batu, namun umat muslim tak akan beranggapan sesederhana itu. Ka’bah disucikan dan di agungkan dalam Islam. Ka’bah ketika disentuh oleh yang sakral maka objek yang profan ini akan berubah. Ka’bah bukan hanya sekedar batu biasa, tapi sebuah objek suci dan menakjubkan, dan didalamnya terkandung yang sakral.
Titik puncak kesempuraan beragama sesorang, kata Said Aqil Siraj terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam dan menyelaminya sehingga bersikap arif dan bijaksana (al hikmah) dalam segenap pemahaman dan penafsiran itu. Disnilah perlunya mengedepankan aspek sufistik dalam beragama, yakni aspek esoterik dari Islam. Pendekatan sufistik dalam beragama melahirkan sikap moderat serta tidak gegabah menuduh syirik, bid’ah, sesat, irasional, dan bodoh terhadap sebuah laku kebudayaan.
Ada sebagian orang mudah saja melontarkan tuduhan syirik, irasional, dan bodoh kepada Presiden Jokowi karena melakukan Ritual Kendi Nusantara atau kepada pawang hujan saat gelaran Moto GP di sirkuit Mandalika. Jika memahami makna tersirat dari Kendi Nusantara Anda tidak mampu, lalu bagaimana anda akan memahami wahdatul wujud-nya Ibnu Arabi yang sarat dengan simbol-simbol sufistik yang rumit. Dan kita sudah tahu dari kelompok mana tuduhan ini berasal. Yang jelas mereka kelompok anti budaya (baca: wahabisme).
Oleh: KH. M. Imaduddin, Sekretaris Majelis Dakwah Nusantara (MADINA)