BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Tunjangan rumah untuk anggota DPR RI sesungguhnya sudah diberikan pada bulan Oktober 2024. Pertanyaannya: kenapa amarah rakyat dan mahasiswa menyikapi hal tersebut baru meledak dan ramai di media sosial sejak Agustus 2025? Informasi tersebut memang muncul ke publik tak sengaja, sebagai insiden atau kebetulan, dipancing oleh lembaga sipil kredibel yang konsen dalam masalah korupsi.
Saat itu, di forum Indonesian Corruption Watch (ICW), politikus Partai Golkar Zulfikar Arse Sadikin mengeluh bahwa anggota DPR susah nyari uang halal. Keluhan tersebut langsung ditanggapi politikus PDIP Tb. Hasanudin, bahwa ada kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR RI tahun ini (2025) yang sampai nominal 100 jutaan. Pernyataan politikus PDIP itu langsung direspon dan dibenarkan oleh Wakil Ketua DPR RI dan politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Sufmi Dasco Ahmad. Sejak itulah publik jadi sadar betapa besar pendapatan anggota DPR RI dari APBN, sekaligus tidak transparannya pemerintah yang selama ini rajin menarik pajak dari rakyat.
Rasa jengkel publik bertambah pula ketika tersebar di jagat media sosial pernyataan Menteri Keuangan Kabinet Merah Putih Prabowo Subianto terkait gaji guru: Apakah harus keuangan Negara? Tidak mungkinkah melalui partisipasi masyarakat? Memang merupakan pernyataan bodoh seorang menteri, karena masyarakat sudah bayar pajak, yang ironisnya pajak rakyat yang diambil Negara itu justru banyak dikorupsi para elit. Bahkan dalam sebuah perbincangan, menanggapi hal itu, Rocky Gerung sampai berkomentar: Kalau di Perancis, Sri Mulyani sudah dipenggal kepalanya.
Di saat rakyat dibebani aneka pajak, anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI justru naik gaji berlipat-lipat serta mendapatkan tunjangan yang fantastis, di saat mereka juga tidak bayar pajak (yang dalam bahasa administratifnya: pajak mereka ditanggung Negara). Kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR yang fantastis itu adalah balasan Prabowo Subianto karena DPR RI telah mensahkan RUU TNI menjadi UU TNI dan sejumlah RUU lainnya yang memang diusulkan presiden.
Sri Mulyani bertanya: Haruskah semuanya ditanggung Negara? Tidakkah ada partisipasi masyarakat? Ia lupa bahwa yang selama ini diperas adalah rakyat melalui aneka pajak yang justru tidak banyak memberikan manfaat bagi rakyat, dan lebih sering digasak elit segelintir. Yang mestinya dilakukan adalah membenahi manajemen pemerintah itu sendiri agar korupsi bisa diberantas, bukan malah selalu menjadikan rakyat sebagai sapi perah ketika Negara mengalami kebocoran akibat korupsi yang gila-gilaan.
Jadi sekarang menjadi semakin terang dan jelas di mata rakyat, kemiskinan di Indonesia memang karena kebijakan ekonomi-politik yang memanjakan segelintir elit di saat tidak ada komitmen yang sejati memberantas korupsi, saat drama pemberantasan korupsi hanya jadi panggung pencitraan, bukannya menerapkan sistem yang akan berkelanjutan dan menciptakan efek jera yang sesungguhnya. Buktinya, sejumlah koruptor triliunan dibebaskan di HUT RI ke-80, semisal Setya Novanto yang malah saat dibebaskan disambut gembira oleh sejumlah elit Partai Golkar. Ditambah lagi, publik bertanya pula: uang triliunan yang konon disita dari para koruptor itu ke mana?
Mari kita bandingkan dengan zakat, sekedar tambahan saja, di mana dalam kasus ini, Sri Mulyani juga ngawur, bila dikelola dengan jujur dan amanah, zakat itu sampai kepada mustahiq, mereka yang berhak menerima manfaat zakat. Lagipula, penerima zakat adalah rakyat miskin, beda dengan pajak yang justru menyasar rakyat miskin dan memanjakan elit. Dan sesungguhnya, di luar pajak, melalui zakat, mayoritas masyarakat muslim sudah sangat berkontribusi secara material. Jadi sesungguhnya, penyakit kronis-nya ada di sistem dan manajemen pemerintahan itu sendiri yang masih tertinggal dibandingkan Negara-negara maju.
Kita pun memang perlu juga memahami dan membedah isi pikiran Sri Mulyani dan ideologi yang dianutnya, yaitu neoliberalisme. Ketika dia menganggap guru adalah beban Negara, logika Sri Mulyani memang logika kapitalisme, di mana yang tidak mendatangkan profit atau keuntungan untuk elit akan dianggap sampah. Sebaliknya, ia menganggap pejabat sebagai aset karena para elit pejabat dalam kapitalisme menjadi alat atau instrumen untuk memperkuat cengkeraman sistem, dan karena itu dalam logika Sri Mulyani, elit pejabat adalah investasi jangka panjang. Yah korporasi dan kapitalisme melakukan dan menguatkan cengkeremannya dengan menggunakan birokrasi.
Dengan demikian, Sri Mulyani tentu bukan orang lugu, semisal ketika ia menganalogikan pajak dengan zakat. Ia dengan sadar melakukan politisasi agama, membalut dan meligitimasi keserakahan kapitalisme dengan etik dan moral religius, berusaha menanamkan kesadaran palsu. Kenyataan jelasnya adalah bahwa pajak meski memang berasal dari rakyat, tapi diperuntukkan menjaga roda konsumsi para pejabat dan investor besar. Diambil dari rakyat miskin, tapi dikasih kontrak ke kelas kaya dan berkuasa.
Di awal memimpin setelah dilantik, Prabowo Subianto mengumumkan efisiensi, namun ternyata rakyat Indonesia di-prank, karena dalam kenyataannya tidak ada efisiensi, yang terjadi di lapangan justru penggemukan birokrasi dan kementerian hingga gaji dan aneka tunjangan fantastis anggota DPR RI. Yang tak kalah ngawur adalah obral tanda jasa di saat berlangsungnya demonstrasi mahasiswa dan rakyat pada 25 Agustus 2025, untuk orang-orang yang sebenarnya belum jelas reputasi dan sumbangsihnya secara signifikan yang mayoritas adalah mereka yang berada di lingkarannya.
Yang juga mendapat atensi atau perhatian sejumlah kalangan dan para aktivis adalah ketika Prabowo Subianto menyetujui kenaikan iuran BPJS. Iuran yang dinilai akan menambah beban rakyat setelah aneka pajak yang menyasar mereka. Artinya memang terjadi kesenjangan kebijakan antara kebijakan yang menguntungkan elit dan kebijakan yang merugikan rakyat. Di sisi lain, ironi yang tak kalah memprihatinkan ketika Bank Indonesia sebagai bank sentral, pun korup, dan membagi-bagikan uang ke sejumlah anggota DPR RI dengan jumlah nominal yang juga mencengangkan.
Demonstrasi mahasiswa dan rakyat sejak 25 Agustus 2025 dan kemudian berlanjut tanpa henti ke hari-hari selanjutnya, yang terbesar di Jakarta dan kemudian juga menyebar ke sejumlah daerah, mestinya sanggup melahirkan kesadaran dan keinsyafan kolektif: bahwa kebijakan pemerintah memang blunder, keharusan melakukan reformasi total dan utuh untuk membangun sistem dan manajemen pemerintah agar tidak memberi ruang sedikit pun bagi kesempatan dan peluang korupsi.
Jangan lupa juga, anggaran MBG (Makan Bergizi Gratis) itu dipotong dari anggaran pendidikan, yang artinya anggaran pendidikan dikurangi dan dikorbankan, bukannya mengorbankan biaya hedon para elit. Dan mirisnya, pemotongannya cukup besar, hampir mendekati 400 triliun. Tanpa kesadaran dan keinsyafan kolektif, bangsa ini akan terus mengulang kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya.
Sulaiman Djaya, Penyair