LIPUTAN9.ID – Ikhwanul Muslimin ibu dari gerakan Islam di dunia telah melahirkan anak cucu di berbagai negeri Islam. Gerakan Islam yang lahir 2 tahun setelah NU berdiri ini menjadi inspirator perlawanan terhadap hegemoni politik dan budaya barat. Keruntuhan Khilafah Turki Usmani 1924 membuat umat Islam kehilangan simbol pemersatu. Perasaan sedih, pedih dan prihatin membuat Hasan Al Banna membangkitkan maruah umat, berdakwah dari warung-warung kopi, mimbar-mimbar masjid dan masuk ke kampus-kampus lalu membangun jama’ah kemudian menggorganisirnya dalam satu tanzhim Ikhwanul Muslimin.
Kini sudah 90 tahun Ikhwanul Muslimin hadir di tengah umat. Dari Mesir menyebar ke negara-negara Arab Maghribi, Arab Teluk, Suriah, Lebanon, Palestina, Asia Tengah, Selatan dan Tenggara, bahkan sampai ke Eropa dan Amerika. Hampir tidak ada negeri Islam yang tidak tersentuh oleh dakwah para ikhwan. Saat dan pasca perang dingin Ikhwan jadi musuh Amerika yang serius.
Ikhwan seluruh dunia merupakan satu kesatuan pemikiran, perasaan, manhaj dan tanzhim yang menerapkan strategi desentralisasi nama dan bentuk organisasi. Di Mesir dan Suriah, Ikhwan menggunakan nama “Ikhwanul Muslimin” sedangkan di negeri Islam yang lain mereka memakai berbagai macam nama yang menunjukkan visi, misi, dan nilai yang mereka perjuangkan. Satu prinsip dakwah Ikhwan yaitu dakwah ishlahiyah (perbaikan secara alamiah, bertahap, berjenjang, damai tanpa kekerasaan). Memperbaiki kehidupan umat manusia di dunia merupakan puncak dari gerakan ishlahiyah Ikhwan (ustadziatul a’lam). Untuk menuju puncak dakwah ini ada satu mihwar (lingkup) yang harus dilalui tidak lain dan tidak bukan, yaitu mihwar siyasi.
Di mihwar siyasi dakwah Ikhwan melembaga dalam bentuk partai politik. Ikhwan di Tunisia membidani partai An-Nahdhah, di Aljazair ada FIS, di Yaman tergabung partai Al-Ishlah, di Palestina ada Hamas, di Turki ada partai Refah kemudian ganti nama jadi partai Sa’adah yang dipimpin Erbakan. Mutarabbi (kader binaan) Erbakan, Erdogan mrmbuat partai Keadilan dan Pembangunan yang fenomenal. Di Sudan, Hassan Turabi memimpin partai Konggres Populer. Keberhasilan dakwah Ikhwan di Arab tampak dari pengaruh dan dominasi partai-partai Ikhwan di Arab. Mungkin kalau tidak ada intervensi dan konspirasi Barat, Arab sudah jadi “Ikhwanul Muslimin”.
Di Indonesia awal 1980-an, Ikhwanul Muslimin diinisiasi oleh Ust. Hilmi Aminuddin (HA). Kala itu umat Islam tertekan oleh politik Orde Baru yang anti Islam. Organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah saja dikebiri, diobok-obok dan dimarjinalkan. Hal ini berimplikasi pada terpisahnya umat dari ormas Islam. Di sisi lain pengurus ormas Islam harus berjuang keras untuk mempertahan organisasinya.
Namun perasaan beragama dan semangat berislam yang tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia tetap menyala-nyala. Api keberislaman tidak pernah padam. Ia mencari tempat penyaluran. Ust. HA datang membawa ideologi Ikhwan disambut generasi muda di kampus-kampus. Sebagai barang baru ideologi ini menarik, menawarkan gerakan Islam tanpa terikat lembaga formal, mengajak perbaikan umat dengan cara damai dan memiliki koneksi kesadaran politik dengan kaum muslimin di luar negeri yang sedang dizhalimi kaum kafir Barat, Salibis dan Zionis.
Dakwah/jama’ah Tarbiyah adalah sayap Ikhwanul Muslimin di Indonesia sebagaimana Hamas sayap Ikhwanul Muslimin di Palestina. Ini sudah rahasia umum. Mungkin karena alasan keamanan, muassis jama’ah Tarbiyah tidak pernah mendeklarasikan tanzhim mereka sebagai bagian dari Ikhwanul Muslimin. Tapi setidaknya, bagi kader Tarbiyah mereka sudah mafhum. Syaikh Yusuf Qardhawi menulis Partai Keadilan bagian dari jama’ah Ikhwan.
Dari bacaan saya itu, saya ngobrol, diskusi dan debat dengan teman-teman sekolah SMP-SMA. Baru kelas 2 SMA mengajak teman-teman liqa/halaqah bertepatan dengan berdirinya mushala dan pembentukan ekskul Kerohanian Islam (Rohis). Rohis sekolah kami sadari sebagai bagian dari Ikhwan. Aktivitas keikhwanan saya berlanjut sampai kuliah dengan segala dinamika internal dan eksternal, suka duka, manis pahit, dilalui.
Typical aktivis Ikhwan beragam. Mayoritas ikhwah merasa cukup dengan ilmu yang didapat dari Murabbi. Mereka lebih baik menyibukkan diri dengan amaliyah ikhwaniyah disamping menekuni bidang studi dan profesi masing-masing. Kebetulan saya bukan golongan ikhwah mainstream. Bukan ikhwan konvensional. Saya tidak merasa cukup dengan materi liqa. Masih banyak ilmu pengetahuan Islam yang ingin saya pelajari. Mengaji dan mengaji tidak berhenti di halaqah. Karena hampir semua buku Ikhwan saya pernah saya baca, pembacaan saya beralih ke buku-buku non-Ikhwan. Dari Islam Kiri sampai Islam Liberal saya kaji.
Barangkali hal ini yang membuat cara pandang saya terhadap kebijakan Ikhwan di kampus maupun di tingkat nasional kadang berbeda dengan teman-teman Ikhwah di kampus. Tahun 1998-2001 tahun-tahun pergolakan politik. Efek dari transisi demokrasi. Berimbas ke jama’ah Tarbiyah. Berujung kepada pembentukan Partai Keadilan (PK). Partai ini hasil voting karena ada Ikhwah yang tidak setuju jama’ah menjadi partai. Hasil voting ini lalu dikunci dengan doktrin “Jama’ah hiya hizb, hizb huwa jama’ah.” Dengan demikian tidak ada khilafiyah lagi. Pintu diskusi/debat sudah ditutup.
Tapi tidak tertutup bagi saya. Soal doktrin “jama’ah hiya hizb…” itu bermasalah. Masalahnya ada dua: Pertama, doktrin itu tidak sesuai dengan doktrin Ikhwanul Muslimin; Kedua, doktrin itu mempersempit ruang dakwah dan gerak jama’ah. Bagi saya tidak soal jama’ah membuat partai tapi sebagai salah satu wasilah dakwah. Namun dengan doktrin tersebut partai menjadi satu-satunya wasilah dakwah. Energi jama’ah akhirnya terkuras di partai, berdampak pada terbengkalainya wasilah dakwah yang lain. Termasuk dakwah kampus. Seperti biasa, teman-teman Ikhwah di kampus bersikap dingin terhadap topik diksusi yang saya lemparkan.
Dengan berdirinya Partai Keadilan diperkuat dengan doktrin “Jama’ah hiya hizb”, hawa politik dakwah kampus makin panas. Setelah sebelumnya lembaga-lembaga formal kemahasiswaan dikuasai Ikhwah, sekarang politik jadi panglima di dakwah kampus. Aktivis dakwah kampus stand by menunggu perintah Qiyadah untuk turun ke jalan ngedemo lawan-lawan politik partai. Akibatnya mushala kampus tidak terurus. Kegiatan kajian Islam monoton sepi peminat. Pelayanan lembaga kemahasiswaan yang dipegang Ikhwah, asal-asalan. Pokoknya suasana dakwah kampus jumud.
Akhirnya saya memilih meninggalkan jama’ah berhenti liqa setelah partai mau tidak mau harus mendukung Megawati jadi Presiden. Bagi saya waktu itu, Presiden wanita haram. Tidak ada kompromi.
20 tahun berada di mihwar siyasi, jamaah mengalami turbulensi. Mihwar ini yang penuh gejolak, konflik dan kontradiksi. Eksperimen dokrin “jama’ah hiya hizb” terbukti gagal. Perbedaan pendapat di kalangan elit jama’ah berlanjut. Ditambah kekalahan partai (tidak sesuai target) di pentas Pemilu dan Pilkada menyisakan perselisihan, pembelahan dan perpecahan. Kisruh internal disikapi dengan operasi intelijen. Amputasi kader bermasalah jadi solusi. Diperparah dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dari elit partai membuat sebagian elit partai dan kader merasa tidak nyaman nir-harapan atas masa depan partai (PKS).
Garbi (Gerakan Arah Baru Indonesia) besutan Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfudz Sidiq, dll kini lahir sebagai wadah baru Ikhwah di Indonesia. Garbi tunas baru, cucu ideologis Ikhwanul Muslimin. Generasi Ikhwan post Islamisme. Garbi gerakan arah baru Ikhwanul Muslimin di Indonesia.
Artikel pernah tayang juga di LTN NU Jawa Barat dengan judul yang sama; GARBI: Gerakan Arah Baru Ikhwanul Muslimin di Indonesia, pada 13 Juli 2023.
Ayik Heriansyah, Aktivis kontra terorisme dan radikalisme, Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT, Penulis artikel produktif yang sering dijadikan rujukan di berbagai media massa, pemerhati pergerakkan Islam transnasional, khususnya HTI yang sempat bergabung dengannya sebelum kembali ke harakah Nahdlatul Ulama. Kini aktif sebagai anggota LTN di PCNU Kota Bandung dan LDNU PWNU Jawa Barat.